"Awas, ya!"
Suara penuh peringatan itu membuatku hanya bisa menghela napas. Bahuku merendah di hadapan Kak Diza yang berdiri tepat satu meter di depan sana sambil berkacak pinggang.
"Lais Muzaki! Dengar nggak?!" Lagi, Kak Diza bersuara keras, setengah berteriak. Wajahnya bahkan sudah agak memerah, bukan merona apalagi tersipu malu, reaksi itu justru timbul karena kekesalan yang kutahu pasti sudah dipendamnya sedari tadi duduk di meja makan.
"Sahutin tuh!"
Tubuhku agak oleng karena sikutan cukup keras yang mampir di pinggang kanan. Refleks aku menoleh dengan mata mendelik. Namun, Zoya yang menjadi sasaran malah cengengesan. Lidahnya melet-melet, memberikan ejekan tanpa suara. Dasar adik menyebalkan.
Padahal waktu masih pagi begini, bahkan matahari belum sepenuhnya menampakkan diri, tapi Zoya dengan mulusnya telah sangat berhasil menciptakan huru-hara untukku. Saat sarapan tadi dia kembali membongkar aibku untuk yang sekian ribu kalinya.Aargh! Sia—
Si aduh, astaghfirullah. Tidak boleh mengumpat, Lais. Intinya aku kesal pada Zoya yang dengan entengnya membocorkan prosesi wawancara ketos yang aku jalani dengan ... tanpa hati.
"Kakak nggak mau tahu, ya, pokoknya kamu harus bertanggung jawab!"
"Sat, Kak!" Kucekal lengan Kak Diza. Dia harus segera diberhentikan. Soalnya pilihan kata dan suaranya itu makin meresahkan. Mana posisi kami di teras lagi, kalau tetangga dengar terus salah paham kan gawat, bisa berabe. "Tolong tenang dulu. Santai .... Jangan emosian dong, aku kan nggak berbuat kejahatan."
Kak Diza melepas tanganku kasar dengan mata dengan bola mata yang sangat melebar. Seram. "Ya, kamu nggak jahat, tapi nakal! Bisa-bisanya mau buat kacau wawancara sendiri. Pake bikin jawaban melantur segala. Buat apa coba?!"
Aku meringis. Teringat kemarin lalu, sesaat setelah pendaftaran calon ditutup dan hasil akhirnya hanya ada tiga calon, lalu tanpa jeda lama tahap wawancara dimulai. Kali ini panitianya guru, dua orang, pembimbing organisasi juga pembina kesiswaan.
Pertanyaannya basic-basic sebenarnya, nggak jauh dari yang tes tulis, cuman tentang motivasi maju dan beberapa pengetahuan tentang berorganisasi. Pembedanya adalah saat pertanyaan terakhir, mereka nanya kalau kepilih nanti apa yang akan dilakukan untuk mengatasi siswa yang melanggar aturan.
Pertanyaan yang nggak aku duga, sih. Soalnya selama ini motivasi aku cuman berkaitan ke kepengurusannya aja, aku pengen membenahi kinerja mereka. Lupa, kalau ada yang lebih krusial yaitu buat mengelola siswa seluruhnya. Mana ratusan lagi.
Ya, randomlah kujawab, "Aku akan berburu." Keinget sama ucapan Logan dan Kak Diza, mereka kan bilang aku harus jadi singa. Singa bisa memburu mangsa, kan?
Kagetlah tuh para guru. Mata mereka kayak mau loncat gitu. Menatap aku horor. Karena nggak enak aku ralat dengan terbata-bata, bilang maksudnya mau ngumpulin mereka buat ngasih peringatan atau sanksi gitu.
Diketawain dah aku sama semua orang di ruangan itu, para guru plus dua calon lainnya. Jadilah pas keluar berita kejadian itu nyebar dan sampai ke telinga si Zoya yang kemudian ngebocorin ke Kak Diza barusan banget pas lagi sarapan. Sampai makanan aku nggak habis karena hilang selera. Udah keburu takut aku sama reaksi Kak Diza.
Dari awal Kak Diza kan udah wanti-wanti banget supaya aku melakukan yang terbaik. Dia juga udah ngelatih aku dengan serangkaian acara simulasi wawancaranya. Maka, pas tahu aku jawab asal nyeplos, ya, dia ngambek. Bilang aku nggak serius niat majunya.
Padahal mah emang iya aku nggak serius. Niatnya kan cuman buat gagalin Candra jadi calon tunggal, yang ternyata emang udah gagal karena Mirah. Maka, harusnya aku udah bisa lepas tangan, mundur. Maka, wawancara itu kulakukan semau aja supaya gagal seleksi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lais (Bukan) Singa
Novela JuvenilDi tengah menurunnya citra OSIS SMP Leorasi di mata kebanyakan siswa, Lais nekad maju menjadi calon ketua OSIS demi memperbaiki keadaan. Melawan Candra yang terkenal sebagai atlet karate dan Mirah yang merupakan inti rohis. Namun, karena pembawaan L...