"Sakit banget kah kakinya?"
Aku menoleh karena suara lembut Mirah yang berada di sebelahku. "Enggak terlalu, hehe. Udah dioles krim panas," balasku sambil menyengir.
Kini kami berdua sedang duduk berjarak di teras depan ruang OSIS, menunggu kedatangan pembina yang akan memimpin pertemuan setelah kelas sembilan bubar nanti.
"Maafkan aku, ya." Suara Mirah melirih. Kepalanya menunduk.
Aku jadi tak enak, lekas membalas, "Enggak, Mir. Ini bukan salah kamu." Meski memang kakiku sakit, tetapi aku tak menyalahkan Mirah karena ini adalah salahku sendiri yang menjerit sampai ketahuan Candra dan dihajar Kak Tantan.
Terdengar helaan napas Mirah. "Aku minta maaf karena kemarin sembarangan pegang-pegang kamu. Aku sangat menyesal. Astaghfirullah." Nada suara Mirah di ujungnya terdengar frustrasi. Dia bahkan sampai mengusap wajah, menunjukkan penyesalan. Mengingat dia anak Rohis, pasti Mirah sangat memerhatikan syariat dan merasa bersalah karena melanggar larangan Allah.
Aku makin merasa tak enak. "Enggak apa-apa mungkin, kan situasinya kemarin genting. Lagi pula kita kan enggak pegangan langsung ke kulit, kehalang kain bajuku," ucapku sembari menggaruk tangan, berusaha menenangkan.
Mirah tak menanggapi. Dia terus menunduk memainkan tangan di pangkuannya.
"Anu ... kamu sendiri enggak apa-apa?" Kemarin kan aku meninggalkan dia sendirian di hadapan para cowok kasar. Aku khawatir dia mendapat hal yang tidak enak.
Mirah mulai mengangkat wajahnya, tetapi tidak memandangku, dia malah melihat ke depan. "Setelah kamu pergi Candra marah."
Bola mataku melebar. Jangan-jangan Candra menyakiti Mirah. Astaghfirullah Lais! Enggak boleh negatif thinking.
Sebelum aku menanggapi, Mirah melanjutkan. "Tapi cuman lewat ucapan. Dia enggak main kekerasan fisik. Itu pun enggak lama, dia sama orang-orang yang disogoknya langsung pergi pas orang tua kami pulang."
"Alhamdulillah." Aku cukup lega. Entah bagaimanapun hubungan keluarga mereka, aku tak mau kepo, yang penting aku tahu Mirah baik-baik saja.
"Eh, itu Pak Syam." Mirah bangkit begitu melihat pembina OSIS yang datang bersama beberapa anak cowok yang membuntutinya.
...
Tanganku mendingin. Bukan karena cuaca di luar sana, melainkan karena atmosfer di ruang OSIS yang terasa begitu menegangkan.
Jadi, setelah pagi tadi aku melapor pada Pak Syam tentang penyuapan yang Candra lakukan, kini setelah jam pulang Pak Syam mengumpulkan aku dan Mirah sebagai saksi dengan para tersangka untuk melakukan sidang yang disaksikan kakak kelas sembilan yang baru purnabakti.
"Jadi, benar orang dalam video itu kamu?" Pak Syam memandang Candra sembari menunjuk layar yang menampilkan video bukti yang kemarin kuperjuangkan sampai sakit kaki.
Omong-omong, ternyata isi tas yang kemarin Mirah gantungkan di gerbang rumahnya adalah ponselnya dan ponselku yang anti goresnya retak karena terjatuh. Semalam Mirah menghubungiku di Instagram untuk memberi izin membuka ponselnya sekaligus menyerahkannya pada Pak Syam pagi tadi.
Candra tak membuka mulut. Cowok berambut jambul itu memasang ekspresi datar. Sok dingin. Seolah tak menunjukkan rasa bersalah.
"Kamu tak menyangkal, berarti kamu memang mengakui bahwa yang ada dalam bukti dan yang dikatakan saksi adalah benar." Pak Syam meneruskan. "Bagaimanapun tindakan kamu ini tidak bisa dibilang baik. Penyogokan adalah perbuatan tercela. Ketika kamu melakukannya, kamu harus siap menanggung konsekuensinya."
Pak Syam beralih melihat Kak Tantan dan teman-temannya. "Kalian juga, menerima sogokan itu tidak benar. Sebutuh apa pun akan apa yang menjadi sogokan, jangan pernah diambil. Berat tanggung jawabnya."
Tangan Pak Syam menunjuk Kak Tantan. "Apalagi kamu, Tantan. Udah kelas sembilan, harusnya kamu bisa ngasih contoh yang baik ke adik kelas dalam pertemanan kamu."
"Maaf, Pak." Berbeda dari Candra yang tetap terlihat angkuh, Kak Tantan sesekali menunduk dengan mimik menyesal.
Setelah hening sejenak, Pak Syam mulai menyampaikan keputusannya. "Sebagai sanksi, kalian semua harus membersihkan lapangan dan taman tiap pulang sekolah selama satu bulan. Khusus untuk Candra, kamu dicopot dari jabatan sebagai ketua OSIS dengan tidak terhormat."
Setelah ketukan tangan Pak Syam pada meja, tanda keputusan final, kupikir sidang akan dibubarkan. Terlebih beliau juga sudah menyuruh para pelaku untuk pulang. Namun, ternyata Pak Syam malah membuka pembahasan baru. "Mengenai ketua OSIS baru, dengan terbongkarnya masalah ini, itu menunjukkan bahwa ada ketidakadilan untuk dua calon lainnya yang dicurangi. Jadi, kita akan mengadakan pemungutan suara ulang, calonnya dua kandidat sebelumnya, Lais dan Mirah."
"Maaf, intruksi, Pak." Tiba-tiba Mirah mengangkat tangan.
"Ya, Mirah, ada apa?"
"Saya mengundurkan diri dari pencalonan selanjutnya."
Pak Syam mengerutkan kening. "Kamu mau keluar juga dari OSIS?"
Mirah menggeleng. "Tidak, Pak. Saya masih mau menjadi pengurus OSIS, tetapi saya tidak siap untuk menjadi ketua."
"Kalau gitu, berarti tinggal Lais, ya." Pak Syam mengusap dagu, memberi jeda yang entah kenapa membuatku berdebar. "Daripada sayang membuang-buang biaya untuk perangkat pemilihan, ya sudah, Lais langsung diangkat saja."
Hah? Aku mau diangkat ke mana?
"Haman!" Pak Syam memandang jajaran kakak kelas. "Segera pinpin persiapan pelantikan ulang. Lais sebagai ketua dan Mirah wakilnya."
"Siap, Pak."
"Ada yang keberatan?"
Sementara Mirah mengatakan "tidak" dengan lantang, aku malah serasa melayang.

KAMU SEDANG MEMBACA
Lais (Bukan) Singa
Fiksi RemajaDi tengah menurunnya citra OSIS SMP Leorasi di mata kebanyakan siswa, Lais nekad maju menjadi calon ketua OSIS demi memperbaiki keadaan. Melawan Candra yang terkenal sebagai atlet karate dan Mirah yang merupakan inti rohis. Namun, karena pembawaan L...