Aku melihat sekitarnya dan memastikan di mana sekarang aku berada. Atap kayu dengan kipas angin kecil berputar halus. Lampu-lampu minyak yang menempel di hampir setiap dinding kayu tidak asing di mataku. Aku sekarang berbaring di ruang tengah rumah milik Muana.
"Dia siuman!"
Aku terlonjak ketika suara salah satu anak perempuan dengan bibir cacat sebelah itu begitu nyaring. Dia berdiri di dekat pintu bersama ke enam anak lainnya. Mereka memenuhi lubang pintu utama rumah Muana tanpa ada satu pun yang berniat masuk ke dalam.
Beberapa detik kemudian Dilla muncul dari salah satu ruangan yang belum pernah kumasuki. Dia membawa nampan berisi mangkuk dan gelas. Aku yakin ruangan itu adalah dapur.
"Kapan aku dibawa kemari?"
"Sudah kubilang jangan pergi kemana pun sebelum aku kembali. Kau tidak dengar perkataanku dan akhirnya terjadi seperti ini, 'kan."
Dilla mulai mengoceh sambil meletakan nampannya di samping tempatku berbaring yang hanya berupa kasur tipis serta selimut. Dia mengaduk sup di dalamnya yang masih sama seperti sup kemarin malam. Aku segera bangkit dan mendudukan tubuhku dengan posisi nyaman. Badanku terasa masih ngilu di beberapa bagian.
Kepalaku kembali mengingat-ingat kejadian sebelum aku tidak sadarkan diri. Mulai dari memetik buah redmare, memakannya lalu suara Panuluh muncul kemudian aku muntah.
"Panuluh," sela Dilla membuatku tersadar.
"Kau bilang mendengar suara Panuluh di hutan? Apa yang terjadi di sana? Katakan padaku?"
Nada ucapannya terdengar memaksa. Padahal aku masih berushaa mengais memori sebelum aku pingsan. Aku tidak suka dengan tatapan Dilla yang seakan menuntut kebenaran saat dirinya tidak ada di sana. Namun, aku harus tetap menyadari kalau dia bisa leluasa membaca pikiranku.
"Ya, entah dari mana asalnya. Aku pun tidak tahu."
"Setelah itu?"
"Aku pusing, seluruh tubuhku sakit dan aku ... muntah. Kau pasti melihat isi muntahanku di sana, 'kan?"
"Ya."
Perubahan reaksi yang kutemukan di wajah Dilla membuatku aneh. Tidak seperti ketika membahas tentang ketika aku mendengar suara Panuluh. Padahal aku masih sangat syok kalau mengingat isi muntahanku di sana. Sungguh menjijikan.
"Kau tidak perlu membicarakan apa yang kau muntahkan di sana. Sekarang kita tahu Panuluh tengah berusaha menghubungimu lewat telepathy."
"Lalu?"
Dilla mendorong makanan buatannya supaya lebih dekat. Segelas air yang keruh itu berupa teh dengan uap mengepul ke udara. Aku sedikit mencium aromanya.
"Aku sedang tidak ingin makan."
Sungguh, mengingat isi muntahanku pada saat itu sudah mampu membuat seleraku hilang. Aku tidak ingin mual lagi karena hal itu sangat menjijikan. Aku benci muntah dan melihat makananku keluar dari tenggorokan.
"Kau harus makan. Satu-satunya cara agar bisa membuat kontak Panuluh gagal terhadapmu."
Terdengar sangat janggal di telingaku. Aku tidak sepenuhnya mengerti tentang cara mereka bergelut dengan dunia sihir.
"Apa maksudmu?"
Bergantian aku menatap sup itu dan wajah Dilla yang memperlihatkan raut keras; memaksa dan tidak suka.
Helaan napas keluar dari bibirnya. Tubuhnya mengendur sedikit. Kami berdua masih berada di lantai utama. Aku di atas kasur lantai dan Dilla di lantai dengan nampan di tangannya.
"Lebih baik kau lakukan apa yang kuperintakan. Ini demi kebaikanmu. Kalau sampai Panuluh menemukanmu di sini, apakah kau dapat membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya?"
Aku meminta penjelasan lebih lagi tentang pertanyaannya. Karena aku tidak tahu seburuk apa nantinya kalau mungkin Panuluh berhasil datang kemari. Nasib ke tujuh anak itu salah satu opsi yang mencuat di dalam benakku sekarang.
"Aku tahu apa yang tengah kau pikirkan sekarang. Justru kalau kau masih bersikeras untuk melawan ... jangan salahkan dirimu sediri kalau nanti kau akan melihat kami semua yang ada di sini terkena hukum penggal."
"Itu tidak mungkin!"
Fakta itu sangatlah gila. Dari mana Dilla mendapatkan kalimat-kalimat mengerikan itu. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya bagaimana melihat orang-orang yang telah membantuku keluar berakhir tewas. Aku benci ucapannya dan gambaran yang terlintas di benakku.
"Kalau begitu, kau cukup mengikuti apa kataku, Andrew."
Suara Dilla yang pelan namun terdengar tajam di telingaku seketika membangunkan bulu-bulu halus di pundakku. Aku terkejut dia memiliki nada bicara seperti itu; terdengar dingin dan kejam. Diakhiri dengan senyum tipis misterius sebelum beranjak pergi dari hadapanku. Dilla kembali ke ruangan yang tadi kusebut dapur. Tanpa kata-kata lagi darinya. Dia pergi meninggalkanku sendirian dalam diam yang mencekam.
Aku menoleh untuk memastikan ke tujuh anak itu sudah tidak ada di ambang pintu. Mereka semua pasti mendengar obrolan kami berdua dan benar saja.
Anak-anak cacat itu ternyata masih di sana, menatapku dengan tatapan yang dalam. Terkesan dingin dan datar tanpa emosi di dalamnya. Kemudian satu persatu dari mereka berjalan mundur meninggalkan ambang pintu serta tatapan yang terasa menggantung kepadaku. Ada apa dengan mereka?
Benar-benar menyeramkan. Hari ini semua orang tiba-tiba berubah aneh. Aku sangat tidak nyaman dengan keadaan seperti sekarang ini. Suasana berubah sepi senyap. Aku juga tidak melihat Muana selain hari di mana aku datang ke perkampungan tersembunyi ini. Sepertinya dia masih berada di ruangannya.
Tatapanku jatuh pada sup yang masih utuh tidak tersentuh. Teringat ucapan Dilla tadi, terpaksa aku harus menyantap sup itu. Meski rasanya masih lezat aku merasa ada yang aneh. Lidahku masih bisa merasakan rasa gurih dari kuah sup akan tetapi tekstur kuahnya agak berbeda. Lidahku seperti diselimuti cairan lengket dari sup.
Dilla muncul lagi ketika aku berniat menghentikan suapanku. Dia menatapku sambil berdiri.
"Rasanya tidak enak?"
Aku meraih kembali sendok itu karena merasa canggung dengan tatapan datar Dilla padaku. Menyantap dengan perasaan yang ganjil kalau semakin sering aku menelan kuah sup itu maka rasanya lidahku lengket di dalam sana.
Setelah menelan dua suapan, aku mencari cara untuk mencarikan suasana tidak nyaman ini.
"Aku ... tidak melihat Muana ... hari ini?"
Susah payah aku menggerakan lidahku yang seperti hendak menempel ke langit-langit mulut. Ucapanku pun terganggu karena hal itu.
Dilla berjalan mendekat namun arahnya tidak menuju kepadaku. Pandangannya lurus ke ambang pintu utama yang masih terbuka lebar.
"Kau tidak perlu tahu dan lebih baik cepat habiskan supnya. Aku akan kembali sebentar lagi."
Kepergiannya masih meninggalkan hal ganjil. Sifatnya tidak seperti biasanya. Aku menatap sup yang sudah tidak memiliki daya tarik di mataku. Aroma lain menyambut indera penciumanku. Aku mencari asal bau yang semakin lama semakin menyengat.
Aku menemukannya tidak perlu waktu lama. Di sana, di atas meja panjang dekat dinding benda bulat yang berlubang di atasnya dan mengeluarkan asap tipis. Asap itu keluar dengan begitu lurus kemudian menyebar ketika sudah menyentuh atap. Baunya sangat asing dan mendadak paru-paruku terasa menyempit. Benda berasap itu seperti menusuk indera penciumanku.
Lama kelamaan pening datang sampai aku berusaha menutup lubang hidungku. Asap itu perlahan menebal. Aku berusaha untuk bangkit demi menghindari bau yang memuakkan ini. Namun seakan asap itu tahu aku akan berniat pergi. Gumpalan-gumpalan yang tercipta lebih besar mengurung tubuhku. Pandanganku mengabur karena asap memenuhi ruangan. Suara nyaring pintu tertutup dengan paksa hampir mengeluarkan jantungku.
Panik karena ruangan seperti tengah kebakaran tanpa ada api. Mataku perih dan dadaku sesak. Aku tidak kuat lagi untuk mencari cara keluar dari sini. Suaraku tertahan di tenggorokan. Lidahku lengket tidak bisa kugerakan. Sementara asap itu semakin menebal, aku merasa semua asap masuk ke mataku hingga kegelapan menelanku lebih dalam lagi.
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
THE UNFORGIVEN : Hidden Secret Of Them ✔
Random🎖: Top 5 Writora 2023 - Take Your World © KANG ZEE present • (#) BOY'S IN THE NIGHTMARE • THE UNFORGIVEN : Hidden Secret Of Them • THE 6TH FULL NOVEL '2023' • Mystery, Thriller, Fantasy • Completed Andrew terlahir dengan kutukan buruk di dalam...