Aku menatap jendela luar yang mempertontonkan kerumunan orang-orang di bawah sana, lebih tepatnya depan istana. Mereka semua tengah menghadiri acara pemakaman Martin yang berlangsung hari ini. Konvoi mobil pengawal hingga bala tentara memenuhi area depan istana yang luas. Aku masih mengamati mereka dengan seksama.
Rangkaian bunga-bunga diletakan di dekat tangga panjang menuju ke pintu gedung. Bersama dengan garis pagar besi yang memisahkan orang-orang dan jalan untuk konvoi mobil. Mereka semua benar-benar memenuhi lahan yang terlihat menyempit.
Meski terlihat penuh warna oleh kehadiran ribuan buket bunga tapi warna kusam seolah memenuhi raut orang-orang di sana. Aku hanya bisa menggambarkan mendung sudah hadir di langit Tora hari ini. Matahari terlihat bersinar terik tapi warna pakaian mereka menarik segala sukacita dari cuaca siang ini menjadi mendung muram. Aku tidak menyukai apa yang terlihat sekarang di mataku. Pemandangan di bawah sana hanya menambah rasa sesak tanpa bisa aku cari penyembuhnya.
"Apa kau akan tetap di sana sampai mereka semua pergi?"
Aku menemukan Dilla telah duduk di atas tepian kasurku. Dari wajahnya yang tenang, aku tidak melihat sisi ceria dan tengil di nada suaranya. Matanya sedikit sayu tapi aku tidak tahu apa yang dirasakan Dilla sekarang sama sepertiku.
"Kenapa melihatku seperti itu?"
Aku mengalihkan pandangan ke atas. Melihat langit yang masih mempertontonkan warna biru pudar serta kehadiran awan berbentuk serat-serat putih yang tipis. Wajah Martin tib-tiba tergambar di sana.
Dadaku terenyuh untuk sesaat. Rasa sesak dan aliran darahku menghangat. Martin tidak akan kembali lagi setelah ini. Tiga bulan yang lalu tiada artinya sampai dia tidak akan kembali lagi dan berniat mampir ke adik asingnya ini meski hanya sekilas.
Aku merutuki sikapku malam itu padanya. Menyakitinya sama saja menambah luka baru.
"Berhentilah menangis, wajahmu makin terlihat jelek tahu!"
Aku memberinya tatapan tidak suka. Punggung tanganku segera mengusap sisa air mata yang hampir jatuh. Cukup sensi kalau dia malah mengomentari keadaanku sekarang.
Kembali melihat kerumunan orang-orang di bawah sana. Mereka pasti menangisi kepergian Martin yang sangat dicintai. Kepergiannya meninggalkan banyak luka dari yang kulihat.
"Jangan menangis, Andrew, cup, cup, cup."
"Kau tidak akan pernah tahu rasanya kehilangan salah satu saudaramu."
Aku masih ingat ketika Panuluh mencurigai gerak-gerikku beberapa jam yang lalu. Dia memang cukup mahir membaca aroma kebohongan seseorang. Tentu saja begitu, karena dia adalah orang pintar. Cukup sulit agar Panuluh benar-benar percaya padaku. Syukurlah Panuluh akhirnya pergi setelah mendapat jawaban asal dariku.
"Martin tidak pernah lagi datang kemari Panuluh. Kau pasti tahu kami berdua tidak dekat. Memangnya apa yang aku berusaha sembunyikan darimu?"
"Kau bertanya bagaimana rasanya kehilangan seorang saudara?"
"Ya."
"Kau salah, Andrew. Kau tidak tahu segalanya tentangku dan aku tidak ingin menceritakan semuanya karena untuk apa pentingnya orang-orang tahu lukaku? Apa mereka semua akan perduli?"
Kini pemandangan di luar tidak membuatku tertarik. Justru fokusku jatuh ke Dilla semuanya. Sepertinya kami berdua akan kembali tenggelam dalam sebuah perdebatan lagi.
"Kalau mungkin ada yang perduli, apa kau akan tetap mengurung diri?"
Dilla terlihat menambahkan sebuah senyum sebelum menjawab, "Bukannya pertanyaan itu lebih cocok untukmu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
THE UNFORGIVEN : Hidden Secret Of Them ✔
Rastgele🎖: Top 5 Writora 2023 - Take Your World © KANG ZEE present • (#) BOY'S IN THE NIGHTMARE • THE UNFORGIVEN : Hidden Secret Of Them • THE 6TH FULL NOVEL '2023' • Mystery, Thriller, Fantasy • Completed Andrew terlahir dengan kutukan buruk di dalam...