| Chapter 18 | : The Secret *Part.1*

15 2 0
                                    

Aku bangun dari lubang kegelapan. Kembali menatap atap yang sama. Kipas angin berputar pelan dan lampu-lampu minyak sudah padam. Ruangan rumah Muana tidak memiliki cahaya yang cukup.

Bangkit dari kasur yang sama seperti saat aku bangun sebelumnya. Keadaan sekitar sekarang sedikit berbeda. Entah kenapa cahaya terasa minim untuk masuk ke ruangan ini dan aku berada di dalam ruangan sendirian. Pintu utama tertutup beberapa meter dari tempatku berbaring. Tidak ada lagi anak-anak cacat itu yang suka menatapku dari sana.

Suasana begitu sepi senyap. Bahkan aku bisa mendengar suara angin menyapu dedaunan di luar sana.

Kemana Dilla? Apa dia tidak kembali lagi setelah ....

Aku tersadar sesuatu dan menatap kembali ke sekelilingku. Mangkuk sup itu telah lenyap di samping kasur tipis yang kutiduri sekarang, itu berarti Dilla sudah kembali dan membereskan semuanya.

Kini pandanganku beralih ke arah meja panjang di dekat dinding. Mencari benda bulat yang mengeluarkan asap tebal memuakkan. Akan tetapi aku tidak menemukan benda itu di sana.

Udara di ruangan ini pun sudah bersih. Asap itu hilang entah kemana perginya. Aku juga tidak tahu. Seingatku setelah banyak menghirup asap berbau busuk itu, aku kehilangan kesadaranku. Seharusnya aku meminta bantuan saja waktu asap itu semakin menebal. Baru terpikirkan sekarang.

Aku merasa gelisah karena Dilla tidak hadir setelah aku menunggunya hampir sepuluh menit. Keadaan di sekitarku sangatlah hening. Hal itu benar-benar mengganggu mentalku.

Cuaca pun sepertinya tidak secerah biasanya karena bisa aku saksikan dari dalam kalau cahaya matahari tidak tampak menerobos masuk melewati celah dinding kayu. Aku juga tidak tahu jam berapa sekarang dan berapa lama aku tidak sadarkan diri di sini. Dilla tidak membangunkanku. Dia malah membiarkanku terbaring sendirian dan bangun seperti orang bodoh.

Sudah tidak kuat lagi aku bersama dengan keheningan ini untuk lebih lama. Aku bangkit dan langsung merasakan pening. Segera kembali mendudukan tubuhku karena belum sepenuhnya mampu untuk seimbang.

Lidahku tidak selengket sebelumnya. Aku bisa menggerakan lidahku sedikit lebih leluasan namun ada rasa panas yang bersarang di tenggorokanku. Aku merasa haus. Tubuhku seperti terkena dehidrasi parah. Kulit tanganku berminyak dan juga lengket. Keringat membasahi punggung sampai membuat kausku lecek di bagian belakang.

Sekarang aku harus mencari minum untuk membasahi tenggorokanku yang tandus. Ruangan paling pojok adalah dapur. Seingatku Dilla mengambil sup dari dalam sana. Aku tidak mungkin salah atau pun lupa.

Perlahan mencoba untuk bangkit berdiri meski rasanya kepalaku berputar-putar pelan. Aku tidak mungkin bisa bertahan jika harus berdiam diri dan menunggu Dilla kembali. Apalagi aku tidak tahu kapan dia akan datang.

Setiap langkah yang kuambil seperti berjalan di atas rerumputan tajam. Berkali-kali aku mendesah dan memastikan kalau telapak kakiku tidak menginjak sesuatu di bawah sana. Lantai kayu tampak normal dan bersih. Aneh, karena aku merasa sakit setiap langkah yang aku ambil.

Pintu ruangan dapur itu tidak setebal pintu ruanganku. Sekali tarikan dari lubang knop setengah rusak membuatku mengernyit karena saat melihat ke dalam sana. Aku mendapati sesuatu yang tidak pernah terpikirkan ada di dapur. Itu bukan dapur yang seperti perkiraanku di awal.

Ruangan itu tidak cukup luas dari kamar tidurku di depan. Aku masuk ke dalam untuk lebih jelas melihat benda-benda asing apa saja yang ada di dalam sana. Memang ada lima mangkuk kotor di sebuah wadah dari plastik besar. Teko berisi air teh tergeletak di lantai. Semuanya kacau. Kotor dan berserakan. Daun-daun kering dan ranting pohon seukuran ibu jari hampir memenuhi setiap pojok ruangan.

Aku menangkap benda paling mencolok di ruangan yang sekarang tidak cocok harus kusebut dapur. Kehadiran satu kuali besar yang masih tertutup rapat membuatku penasaran. Aku mendekat karena ada dorongan besar yang tidak aku ketahui sumbernya. Instingku berjalan dengan sangat baik. Aku juga benar-benar dilanda bingung dan cemas, tapi rasa penasaran membuat suhu tubuhku panas.

Ketika kuali besar itu sudah berada di hadapanku. Tanganku bergetar ketika menyentuh bagian penutupnya yang terasa dingin. Kuali besi itu sudah seperti benda misterius yang tampak menyeramkan. Diam membisu namun seolah memiliki banyak rahasia.

Aku menarik tanganku karena tersadar apa yang sekarang kulakukan adalah sebuah kelancangan. Dilla pasti akan marah jika tahu aku membuat sikap yang tidak disukainya. Teringat kata-katanya sebelum pergi waktu itu membuatku berniat berbalik dan kembali berbaring di kasur tipis itu.

Baru beberapa langkah, berniat keluar dari ruangan. Aku tiba-tiba menangkap suara halus yang tidak jelas masuk ke indera pendengarku. Aku berbalik lagi untuk mencari sumber suara yang perlahan lenyap. Ruangan ini senyap seperti sebelumnya. Aku menyapu sekitarnya hingga pandanganku kembali jatuh ke arah kuali yang masih tertutup itu.

Tidak ada hal di dunia ini yang membuatku sangat penasaran. Kuali itu tampak memohon tanpa suara. Bagian bawahnya hangus karena sering digunakan. Aku teringat ketika aku makan dengan lahap.

Sup. Kuali besar itu tentu saja digunakan untuk membuat sup.

Napasku berubah memburu lebih dari sebelumnya. Dentuman yang seolah bisa kudengar dari detak jatungku sekarang. Telingaku diserang panas sementara telapak tanganku menggigil.

Tidak ada siapa pun di sini. Jika aku kembali sudah pasti rasa penasaran itu akan membuatku bermimpi buruk. Dilla tidak akan marah kalau aku memberinya alasan yang jelas nanti.

Ya, itu terdengar lebih baik.

Kedua kalinya aku melangkah ke arah kuali yang masih tergeletak di tengah ruangan. Tanganku sudah tidak seragu sebelumnya untuk mencengkeram bagian tutupnya yang berlubang. Jemariku masuk, memberi akses untuk memusatkan tarikan kuat hingga suara tutup kuali dari besi yang khas terdengar.

Tutup kuali memiliki berat yang tidak kubayangkan sebelumnya. Aku butuh kedua tanganku untuk menyingkirkan bagian atas dari kuali tersebut dan segera memindahkannya ke lantai.

Ruangan memang temaram. Aku tidak begitu jelas melihat isi di dalam kuali tersebut. Hanya berisi air dengan beberapa potongan berwarna gelap.

Aku menyapu sekitar dan menemuka jendela yang masih tertutup. Akhirnya aku melangkah untuk menjangkau tutup jendela dari kayu itu. Ruangan itu hanya memiliki jendela berbentuk persegi panjang yang cukup tersembunyi. Awalnya aku tidak melihat keberadaannya karena ada semacam wadah dari rotan menggantung di sebelahnya.

Aku berusaha melepaskan tutup jendela dari kayu tipis tersebut hingga sinar matahari yang cukup terang berhasil masuk ke dalam ruangan. Perlahan penglihatanku membaik. Rentina mataku mendapat pencahyaan yang memang seharusnya.

Angin yang ikut masuk dari lubang jendela membuat bulu-bulu halus di sekitaran tengkuk terasa meremang. Napasku terasa semakin memburu karena perlahan aku berbalik untuk kembali melihat isi kuali tersebut.

Seketika dadaku mencelos, tubuhku bergetar hebat dan kepalaku diserang pusing. Aku refleks mencari pegangan di belakang hingga tubuhku menempel di dinding penuh debu yang mulai berterbangan. Tepat ketika angin seolah berhenti bertiup. Aku yakin telah melihat hal yang paling mengerikan dalam hidupku.

Kuali itu ternyata berisi potongan tubuh manusia dengan bagian kepala yang mencuat lebih dari satu. Terlalu banyak kepala manusia di dalamnya.

Aku tidak mampu bergerak sampai tubuhku terduduk lesu. Tenggorokanku tidak berfungsi untuk mengeluarkan teriakan. Malah rasanya seperti terbakar. Batuk menjadi hal yang menyiksaku selanjutnya.

Sudah cukup semua mimpi buruk ini aku bahkan mulai dilanda mual. Lebih buruknya lagi kuali itu tiba-tiba bergerak dengan sendirinya hingga akhirnya tumpah dan mengeluarkan semua isinya ke lantai tepat di depanku.

Cairan yang kukira awalnya bening berubah keruh serta berminyak ketika menyentuh lantai. Persis seperti sup yang pernah aku santap.

Segera aku menutup mulut karena mungkin tebakanku tidaklah salah. Rasa mual semakin menjadi-jadi.

Dari semua bagian yang ada di dalam sana. Ada salah satu bagian kepala utuh tergeletak beberapa jengkal dariku. Aku tidak ingin melihatnya meski aku yakin wajah pucat itu adalah milik si anak perempuan berbibir cacat. Pada akhirnya, aku kembali masuk ke dalam kegelapan yang membuat kesadaranku lenyap.

*****

THE UNFORGIVEN : Hidden Secret Of Them ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang