| Chapter 3 | : Tell Me What?

17 8 9
                                    

"Apa aku harus bersumpah agar kau percaya? Aku tidak akan menyakitimu, jadi berhentilah berdiri seperti patung!"

Aku menimbang ucapannya untuk ke sekian kalinya, tapi tetap saja aku belum merasa bisa menerima kehadirannya. Di kepalaku hanya ada beberapa kata untuk mewakili sosoknya.

Dia orang asing. Manusia aneh. Si mulut frontal.

"Dari mana kau bisa tahu tempat ini dan bagaimana kau bisa masuk ke dalam kamarku?"

Dia tampak menghela napas lelah, padahal aku juga merasa hal yang sama. Kakiku juga keram kalau terus saja berdiri seperti sekarang ini. Jarak kami terpaut sekitar enam meter, kalau aku tidak salah mengira.

"Pertanyaan itu lagi. Apa kau tidak memiliki yang lain? Baik, baik, aku akan menjawab semuanya asal kau bisa berhenti untuk memperlihatkan wajah takutmu itu padaku?"

"Kau hantu?"

Aku kira pertanyaanku barusan tepat karena Dilla langsung terdiam sesaat. Air mukanya berubah keruh, terlihat sangat tidak bersahabat sekarang.

"Sembarangan! Jaga ucapanmu!"

Dia berteriak cukup kencang hingga membuatku terkejut. Selain itu, di luar apa yang aku baca selanjutnya. Dia berdiri dengan gerakan cepat kemudian berjalan menghampiriku.

"Jangan mendekat!"

Aku memberi peringatan agar dia tidak melewati batasannya jika tidak ingin dirinya celaka. Namun dia tidak menggubris kalimatku. Malah dengan tanpa memikirkan apa yang dilakukannya karena aku tidak bisa memperingatinya lagi. Lebih dari itu sentuhan tangannya yang dingin mendarat tanpa rasa takut di atas kulit tanganku dan untuk pertama kalinya aku disentuh oleh seseorang. Apalagi seseorang itu adalah manusia asing yang beberapa saat lalu baru bertemu.

"Sepertinya aku harus memakai cara ini padamu!"

"Lepaskan! Kau bisa celaka!"

Berusaha melepaskan tangannya dari tubuhku tapi nyatanya kekuatan Dilla lebih kuat dariku hingga tubuhku cukup mudah dilempar ke atas kasur.

Aku panik hingga berusaha untuk mengatur tubuhku yang sekarang telah berada di atas kasur milikku sendiri. Sekarang aku merasa semakin takut kepadanya.

"Duduk di sana dengan nyaman! Setelah itu, kau bisa bebas bertanya apapun padaku!" ucap Dilla dengan nada lebih tinggi namun aku menangkap itu bukan nada kemarahannya. Tapi mencoba mengatur betapa keras kepalanya diriku, mungkin.

Aku juga tidak akan memberi jarak dan memperlakukannya seperti orang asing. Kalau saja dia tahu apa yang selanjutnya akan dia alami.

"Kau akan mati karena menyentuhku!"

Ucapanku barusan pastilah akan membuatnya terkejut. Tentu saja, siapa juga orang yang akan mau menyentuhku kalau tidak mau mati konyol di tempatnya sekarang. Namun sebaliknya, dia tampak santai. Seolah ucapanku barusan sudah seperti omong kosong orang tua yang tengah menceritakan adab-adab usang zaman dahulu dari leluhur agar kehidupannya anaknya bisa lebih baik. Aku tahu semua itu karena membaca buku yang memuat segala macam adab-adab di dunia ini yang jatuhnya hanya menjadi takhayul serta mitos belaka.

"Begitukah?"

"Apa?"

"Kau bilang aku bisa mati setelah menyentuhmu?"

"Ya, kau seharusnya mendengarkan ucapanku lebih detail!"

Baru pertama kali aku mengobrol dengan seseorang dengan nada saling mengejek seperti ini. Berbeda ketika aku bersama dengan Panuluh. Waktu kami dihabiskan untuk mengajar. Meski Panuluh bisa dikatakan satu-satunya teman di hidupku selama ini dan sampai hari ini. Berbeda dengan manusia asing bernama Dilla di hadapanku sekarang ini. Aku yakin kami tidak akan pernah cocok untuk menjadi teman.

THE UNFORGIVEN : Hidden Secret Of Them ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang