| Chapter 5 | : Cool With You

19 5 9
                                    

Dilla tidak muncul sampai malam mulai larut. Aku bahkan tidak bisa untuk terpejam sedikitpun. Setiap kali aku mencoba untuk menutup mata, rasa gelisah itu merayap ke dalam pikiranku. Apalagi beberapa jam yang lalu Martin datang kemari. Setelah hampir tiga bulan lebih, dia muncul untuk menemui adiknya ini. Meski pada akhirnya kami berdua bertengkar untuk pertama kalinya.

Hal itu benar-benar mengganggu ketenanganku malam ini. Rasa bersalah seolah menancap dalam dadaku ketika isi kepalaku terus saja mengulang kejadian tersebut.

Martin tidak salah, dia sudah baik datang untuk menemuiku. Sebaliknya aku yang memulai pertengkaran.

Kalimat-kalimat itu terus berputar-putar dalam benakku tanpa henti. Tanpa pembelaan untuk diriku sendiri. Aku lebih sering kecewa dan menyalahkan sifatku yang mudah kesal ini.

Aku bangun dari kasur untuk melihat waktu sudah memasuki pukul sepuluh malam. Lampu kamar sudah aku matikan hingga tersisa cahaya dari lampu meja yang redup. Begitupun dengan lampu ruangan lain. Aku memang lebih suka ruangan dengan cahaya yang minim, tapi bukan berarti gelap adalah hal yang menyenangkan.

"Dilla?"

Tidak pernah sedikitpun tercetus dalam benakku untuk memanggil makhluk aneh itu di waktu seperti ini. Biasanya aku sudah nyaman sendirian merasakan semua opsi-opsi di kepalaku. Semenjak Dilla muncul, aku sedikit merasa bahwa seseorang akan berperan cukup penting dalam setiap masalah hidup jika sudah merasa tidak mampu menahan tekanan dari setiap masalah.

"Dilla?"

Aku menggeser bokongku hingga sampai di pinggiran kasur. Merasakan dinginnya udara malam ini yang berhasil masuk ke kamarku. Aku menatap ikatan benang merah di tanganku. Mengingat cara Dilla mengikatnya tanpa rasa canggung. Kepalaku menerawang ke arah sudut kamar di mana lampu meja seukuran semangka normal itu menyala sangat redup.

Sejenak aku berpikir bahwa Dilla adalah orang yang cukup baik ketika menghadapiku. Meski tetap saja, Dilla adalah makhluk asing yang bahkan aku tidak tahu bagian lain dari latar belakangnya itu.

"Lihat dirimu."

Suara itu mampu membuat tubuhku bergetar karena terkejut. Aku segera menyapu sekitarnya hingga menemukan Dilla sudah berdiri di depan tirai yang menutupi jendela kamar. Remang-remang cahaya bulan di luar membuat bayangan tubuhnya terlihat jelas.

"Kau datang!" kataku cukup lega pada akhirnya.

"Aku sedikit terkejut ketika kau memanggilku dengan cara itu," ucapnya santai.

"Jadi, kau bisa datang saat aku panggil seperti tadi?"

"Enak saja! Kau kira aku Jin Botol!" ketusnya dengan nada tidak terima.

"Aku tidak sedang menyamakanmu dengan Jin!"

Dilla mengibaskan ujung rambutnya dengan jari-jari tangan. Aku pikir dia tengah berusaha mengusir malu.

"Bisa iya atau tidak. Itu sama sekali tidak penting. Aku hanya penasaran bagaimana kau bisa bersikap seperti itu terhadap kakakmu?"

"Kau tahu Martin?"

"Aku tahu dia tapi dia tidak akan tahu aku. Sudah aku bilang hanya beberapa orang saja di keluargamu yang mengingatku, mungkin."

"Siapa saja?"

"Nanti juga kau pasti akan tahu, tapi apa kau selalu seperti itu ya setiap ada keluargamu yang datang kemari?"

Aku menghela napas panjang. Rasanya tidak enak ketika hal yang ingin segera kau enyahkan dari pikiranmu justru orang lain malah dengan mudah mengungkitnya.

"Mungkin iya, padahal aku punya alasan untuk itu," kataku pelan.

"Apa mereka tidak mengerti alasanmu melakukannya?" tanya Dilla. Nada suaranya terdengar sedikit lebih lembut.

"Mungkin begitu."

Pandanganku jatuh pada lipatan selimut putih yang sudah kusut di bagian sisinya tepat di sampingku. Tidak ada corak apapun di sarungnya, sama persis seperti hidupku yang monoton ini. Bahkan sekarang aku sadar kalau setiap benda di ruanganku hampir tidak memiliki warna yang bisa menggugah semangat hidup pemiliknya.

"Itu tidak benar."

Aku mengangkat pandangan untuk memastikan bahwa Dilla masih hadir dalam pembicaraan yang terasa hambar akan sukacita ini. Sebenarnya aku membenci sekaligus ingin didengar dalam waktu yang bersamaan. Biarlah dikatakan egois kalau memang aku menginginkan perhatian.

"Tidak benar kalau kau terus saja mempersalahkan dirimu sendiri dalam setiap aspek kehidupanmu. Jika mereka tidak tahu, seharusnya kau jangan perduli dengan ketidak tahuan mereka tentang perasaanmu. Toh, hidupmu bukan untuk menyenangkan hati mereka."

"Kalau kau terus saja begini. Aku percaya kebahagiaan tidak akan bertengger di hatimu. Kau dengar itu?"

Aku hanya bisa mencerna semua kalimat-kalimat yang keluar dari mulut Dilla sebagai deretan mantera ajaib. Meskipun terdengar ketus diakhir kalimatnya tapi berat di dadaku selama ini terasa diangkat perlahan. Sebagian namun ada cukup ruang untuk menampung yang namanya 'kebahagiaan' itu.

Jika saja aku tidak segan untuk mengatakan 'terima kasih' atas ucapannya maka aku tidak akan merasa canggung dan akhirnya membuang muka dari tatapannya.

"Ya sudah, jangan berterima kasih kalau tidak mampu, cukup ikuti saja permintaanku," ucap Dilla dengan tawa mengejek.

Dia memang manusia jadi-jadian kalau aku bilang sekarang. Kadang bersahabat tapi tidak jarang menjadi menyebalkan. Detik selanjutnya aku malu sendiri karena sadar kalau isi hatiku dapat dibaca olehnya.

Dilla tertawa pelan sambil menepuk-nepuk dadanya pelan.

"Sebaiknya kau cepat tidur, besok teman dukunmu itu pasti repot membangunkanmu!" serunya sambil menggerak-gerakkan tirai di jendela sampai menutupi seluruh tubuhnya di sana.

Sebenarnya aku ingin membalas ucapannya sebelum Dilla kembali menghilang, hanya menyisakan gerakan melambat dari tirai tebal yang menyentuh lantai itu kembali ke bentuk semula.

Dasar tidak tahu sopan santun! Pergi saja tidak pamitan!

Aku sadar sekaligus malu sendiri teringat Dilla bisa mendengar ucapan di batinku lagi. Mungkin sekarang dia tertawa-tawa sendirian setelah mendengarnya.

Rasanya tenggorokanku mulai tandus sehabis berdebat kecil dengan Dilla. Meski dia yang lebih mendominasi setiap topik pembicaraan kami, tapi justru memberiku banyak pilihan untuk menetralkan egoku. Setidaknya merasa untuk menjadi apa adanya dan menerima diriku sendiri mulai aku rasakan sekarang.

Langkahku menapaki lantai marmer yang tidak pernah sedingin malam ini. Penghangat ruangan berdengung halus di pojok ruangan. Aku sudah keluar dari kamarku menuju lemari es untuk mencari air. Segera aku ambil sebotol dari dalam lalu meneguknya pelan sebari berjalan kembali ke kamarku. Sebelum itu terjadi, sebuah suara yang tidak asing membuatku berhenti bergerak.

Otakku lebih cepat menginterupsi agar mengalihkan semua fokus tubuhku ke arah pintu yang sekarang sudah bergerak ke dalam dengan pelan.

Pencahayaan di ruangan utama tidak segelap di dalam kamarku. Ada empat lampu dinding berbentuk kotak mungil yang memancarkan sinar agak redup, tapi cukup untuk membuat pemandangan di ruang utamaku ini terlihat baik.

Pintu utama telah terbuka lebar dan orang yang melakukannya muncul dengan deru napas memburu. Aku menatapnya cukup terkejut, apalagi melihat kondisinya sekarang. Kemeja tipis berwarna biru gelap penuh peluh keringat serta kotor oleh tanah. Begitupun dengan celana lipit hitamnya yang sama kotornya.

Aku beralih menatap wajahnya yang ternyata masih menatapku seperti awal kemunculannya dengan wajah sayu serta luka lebam di pipi.

"Martin?"

*****

THE UNFORGIVEN : Hidden Secret Of Them ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang