| Chapter 22 | : I Never Going Back

6 1 0
                                    

Ketika mataku terbuka saat tubuhku jatuh ke sebuah situasi yang kosong dan tenang. Aku menyapu sekelilingnya yang hanya ruang hitam tak bertepi.

Aku di mana?

Kakiku menapaki dataran yang sama hitamnya. Aku baru tersadar kalau luka-luka yang ada di tubuhku telah hilang, tidak berbekas bahkan sekarang keadaanku terasa jauh lebih baik.

"Apa aku sudah mati?"

Suaraku bahkan terdengar menggema di ruang hitam ini. Begitu senyap bahkan aku tidak mendengar suara dari napasku.

Baru saja aku akan berbalik ketika sebuah cahaya datang dengan kecepatan yang tidak bisa kuhitung. Menyergapku sampai aku menutup mataku dengan kedua tangan. Meskipun sudah terlindungi aku merasa kedua mataku diserang perih.

Kekosongan yang sebelumnya hadir terasa lenyap ketika tubuhku diterpa udara. Aku menyingkirkan kedua tanganku dari wajah dan mendapati dunia di sekitarku berubah.

Padang rumput pendek yang segar menggelitik telapak kakiku. Udara dingin dengan angin bertiup lambat. Aku mengangkat pandangn, melihat matahari bersinar tidak terlalu terik. Cuaca sangat cerah. Di depan sana, ujung padang rumput bertemu dengan bebatuan karang berwarna kelabu dan berakhir di birunya air laut membentang sekeliling.

"Andrew."

Aku sontak berbalik ketika suara memanggil namaku. Begitu terkejut ketika panggilan itu berasal dari seorang laki-laki dengan pakaian serba putih. Tubuhnya sedikit bercahaya.

"Martin?"

Penglihatanku jelas tidak salah saat mengamati sosok beberapa meter di depanku kini. Martin sudah berdiri dengan senyum tipis yang tidak pernah aku lihat lagi setelah dia ditemukan tidak bernyawa.

Aku mendekat hanya untuk memastika kalau sosok Martin di depanku kini bukanlah bagian dari mimpi atau halusinasi. Meski sebenarnya aku sadar kalau mungkin sekarang waktunya kami berdua bertemu kembali di alam baka. Tidak masalah kalau benar aku sudah mati. Aku akan menerima takdirku dan kembali kepada asal dengan damai.

Martin menerima pelukanku tidak kalah erat. Aku terkejut dengan fakta kalau sekarang keadaannya jauh lebih baik bahkan aku tidak lagi merasa canggung di dekatnya. Tinggi tubuhku tentu tidak setara dengan Martin. Mencium aroma mint serta campuran kamper yang aneh. Namun, aku tidak memikirkan hal sepele. Karena sekarang aku hanya ingin menumpahkan segala ketakutanku yang masih banyak tersisa.

"Kau merindukanku?" bisiknya.

Perasaan canggung itu muncul kembali. Tidak setenang ketika aku memeluknya. Aku pun sadar kalau mungkin perlakuanku berbanding terbalik saat kami masih hidup. Kami berdua sudah seperti tahanan dan si penjenguk yang malas datang. Berbeda dengan saat ini. Aku tidak ingin ditinggalkan sendiri lagi. Tidak ingin percaya lagi kepada orang asing seperti Dilla. Sudah cukup semuanya harus berakhir di sini.

"Kenapa kau kemari?"

Aku menatap heran kepada Martin atas pertanyaan baru saja. Padahal aku masih mencari cara untuk menjawab pertanyaan sebelumnya.

"Kenapa? Aku tidak boleh berada di sini? Lagipula aku sudah mati."

Awalnya aku terkejut karena suaraku terdengar merdu. Mungkin aku masih merasa mulutku terkunci akibat sup daging manusia itu.

Kedua alis Martin bergerak naik-turun. Aku bisa melihat ada lingkaran indah di kedua netranya yang tenang.

"Siapa yang bilang kau sudah mati?"

Lagi dan lagi aku dibuat heran dengan pertanyaannya. Martin tidak melihat kalau aku sudah berada di tempat yang kusebut alam baka ini. Bersama dengannya dan memakai ... tunggu!

THE UNFORGIVEN : Hidden Secret Of Them ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang