| Chapter 20 | : The Secret of Them

8 2 0
                                    

Kertas bergambar wajah Martin tiba-tiba tersulut api. Aku refleks melemparnya jauh ke lantai. Cukup terkejut karena sekarang tanganku bisa kukendalikan lagi. Api melahap gambar Martin dengan waktu singkat lalu berubah menjadi asap tipis ke udara. Bahkan tidak ada bekasnya di lantai.

Suara tawa yang amat nyaring membuat tubuhku menegang. Aku segera merapat ke dinding. Menempelkan punggungku. Berusaha memberi jarak dari asal suara tawa yang semakin dekat. Aku tahu pasti asalnya dari salah satu ruangan. Tirai kamar Muana tersingkap dengan gerakan pelan. Tidak ada jeda untuk berkedip saat memperhatikan sosok dengan gaun lurus hitam pekat menyentuh lantai muncul dari dalam sana.

Muana.

Wanita tua itu berpenampilan menyeramkan. Lingkaran matanya hitam seperti dipoles sesuatu. Kepalanya ditutup semacam kain hitam lurus sampai menyisakan wajah pucat pasi dengan senyum yang dua kali lebih lebar dari manusia pada umumnya.

"Halo, Andrew," sapanya.

Aku memperhatikan gigi-gigi hitamnya yang runcing. Dia memamerkan itu tanpa tahu malu. Muana telah menjadi monster. Dia mengangkat kedua tangannya sejajar dengan dada. Gaun hitam lengan panjang bergerak pelan. Di kedua telapak tangannya mencengkeram pisau dan sebuah kayu panjang berbentuk aneh. Bentuk manusia kalau aku tidak salah melihat.

"Kau pasti bertanya-tanya dengan semua kejutan yang telah kusiapkan ini bukan?"

Kejutan katanya? Cih. Aku langsung tidak menyukai Muana. Dia pikir aku terlihat bersenang-senang setelah mendapat semua yang dia sebut kejutan brengsek ini.

"Oya, aku lupa kalau kau tidak bisa bicara mulai sekarang," ucapnya lagi dengan nada santai. Senyum licik terbit di wajahnya.

Aku berusaha untuk mengeluarkan suaraku meski yang keluar hanya geraman kasar. Jika terus dipaksakan aku takut tenggorokanku akan terluka. Lagipula aku sudah sangat terpojok.

"Kasihan. Lihatlah dirimu sekarang, sebagai putera bungsu dari Raja brengsek itu kau berakhir semenyedihkan ini."

Menekan semua amarahku tidak mudah. Sebaliknya aku juga tidak dapat memberi perlawanan padanya. Muana sudah jauh di atas angin sekarang. Dia bahkan memberi tatapan merendahkan ketika aku masih berusaha mengeluarkan suara.

Sebenarnya aku tidak terima mendengar ayahku dihina seperti itu tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa selain membayangkan langkah selanjutnya yang akan Muana ambil terhadapku.

Pisau ditangannya nampak sangat lapar. Aku yakin kalau pisau itu juga yang telah berjasa memotong bagian-bagian dari ke tujuh anak malang itu sebelum dijadikan sup.

"Dilla sayangku! Kemarilah sayang! Sepertinya kita harus menjelaskan kepada bocah bodoh ini tentang keburukan keluarganya."

Tidak lama Dilla muncul dari ruangan yang sama dengan Muana. Pakaian mereka pun sama bahkan ada tanda merah mengkilat di dahi Dilla.

Aku menatapnya dengan marah. Suhu tubuhku naik dan kedua cuping telingaku memanas. Mengais udara untuk menekan segala perasaan marah yang seolah menyelubungi tubuhku. Berani-beraninya dia membohongi diriku. Selama aku hidup sendirian, baru sekarang aku merasa kecewa sekaligus benci kepada seseorang dan orang itu malah menampilkan wajah tersenyum tanpa dosa.

Sekarang aku menyesal telah mengikuti ajakannya untuk pergi. Kalau dulu aku tahu dia tengah merencanakan siasat buruk ini di belakangku sudah pasti aku tidak akan menggubris segala macam godaannya, tapi sayangnya menyesal itu selalu muncul di adegan terakhir.

"Jangan menatapku seperti itu. Oh ayolah, aku sudah banyak berkorban juga membuang waktuku demi membawamu kemari. Jadi, tolong tersenyumlah sedikit saja."

THE UNFORGIVEN : Hidden Secret Of Them ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang