Gibran bersiap memelintir tangan Lintang seperti kemarin. Namun, sebuah refleks dari Lintang sungguh di luar dugaan.
Lintang lebih dulu memegang tangan Gibran dan langsung membanting tubuh ke lantai. Ketika menyadari perbuatannya, dia sedikit syok siapa yang dihadapi.
"Maaf, Bang. Itu tadi hanya spontanitas saja." Dia merasa gugup dan merasa bersalah dengan tindakannya. Dia mencoba membantu Gibran berdiri, tetapi ditepis dengan kasar.
Suara Gibran yang jatuh, membuat Dimas yang berada di kamar terbangun. Dia berjalan setengah berlari menuju sumber suara dan mendapati bosnya berusaha bangkit.
Dengan isyarat tangan, Gibran meminta kedua anak buahnya tak membantunya berdiri. Masih sanggup bangkit, walau harus menggapai kruk yang terjatuh di sampingnya.
"Apa yang terjadi, Lintang?"
Belum sempat Lintang buka suara, Gibran sudah lebih dulu menjawab. "Aku hanya ingin mencoba refleksnya." Dia bangkit dengan susah payah, lalu berjalan menjauh. Suara kruk yang beradu dengan lantai keramik, membuat Lintang semakin dirundung rasa bersalah.
"Bang Gibran mau menyodomimu apa?"
"Jaga mulutmu, Dimas!" Suara Gibran bernada kemarahan atas tuduhan pelecehan yang dilayangkan padanya. Walau sudah beberapa meter, dia masih bisa menangkap ucapan.
Dimas hanya tertawa kecil, menanggapinya. "Makanya cari cewek, Bang. Ingat umur! Biar ada yang jagain juga."
"Bicara lagi, kupotong gajimu!" Suara empasan pintu terdengar setelah Gibran menyelesaikan kalimatnya.
Dimas senang bisa menggoda Gibran, sedang Lintang tak tahu harus bereaksi seperti apa.
"Apa yang kamu lakukan sama Bang Gibran? Kok aku datang Bang Gibran udah di lantai." Setelah tawanya mereda, dia menatap Lintang seolah meminta penjelasan apa yang telah dilewatkannya.
"Hanya tindakan spontan saja." Lintang langsung kembali ke kamar, diikuti Dimas yang masih saja penasaran. Namun lebih memilih diam dengan pikiran yang liar.
Lintang tak mungkin cerita jika dulu pernah ikut ekstra bela diri. Ya, walau baru pengenalan dasar. Karena ketahuan ibunya yang tak mau dirinya menjadi anak yang memakai kekerasan. Akhirnya dia berhenti.
Dimas langsung mengempaskan tubuh di kasur. Tidur nyenyaknya terganggu karena keributan yang dia sendiri tak tahu oleh apa. "Apa kamu syok menyadari kalau Bang Gibran adalah seorang tunadaksa? Kalau ya, berarti sama. Aku juga kaget saat awal tahu." Dia memutar kepala, menghadap tembok.
"Apa itu bawaan lahir atau ...." Sebenarnya dia tak mau terlalu kepo apa yang terjadi pada Gibran, tetapi rasa penasaran menyeruak begitu saja. Dan mulutnya sudah menanyakan hal yang bukan urusannya.
"Katanya, dulu dia menyelamatkan orang yang hampir tertabrak mobil. Nasib, justru malah tertabrak dan kakinya terlindas ban."
Lintang diam, merasa prihatin tetapi juga kagum dengan tindakan Gibran yang heroik. Walau terkesan gegabah karena tak memikirkan satu kemungkinan, yaitu kehilangan dua nyawa sekaligus.
Namun, dia paham alasan mengapa Gibran melakukannya. Tentu tak bisa membiarkan orang mati di hadapannya, sedang dia bisa saja menyelamatkan.
"Orang yang diselamatkan, apa masih hidup?"
Dimas memiringkan tubuh dengan salah satu tangan menopang kepala. Dia memperhatikan wajah Lintang yang sendu mendengar cerita. Ah, anak itu terlalu perasa. Benar seperti yang dikatakan Gibran. "Mungkin."
"Apakah orang yang diselamatkan adalah Kakakku?" Mendadak Lintang teringat apakah kakaknya yang dimaksud?
"Mana kutahu. Kejadian itu sudah sangat lama dan aku juga belum ada." Dia meletakkan kepala dan bersiap tidur. "Tapi aku juga berpikiran, jika orang itu pasti berharga sampai dia rela menukar kehidupannya."
![](https://img.wattpad.com/cover/351579971-288-k814647.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Brother (Lintang dan Linggar)
RandomSejak awal, dia merasa ada yang ganjil dalam hidupnya. Hingga menemukan sebuah foto kakaknya yang sama sekali tak bisa diingat. "Jadi, cerita jika aku diadopsi sebagai teman Wahyu adalah kebohongan belaka? Juga kecelakaan yang menimpa Wahyu adalah k...