Lintang membuka mata dan menyadari tengah di ruang perawatan. Ibu dan ayahnya langsung mendekat dengan wajah cemas.
"Nak." Ibu Widuri seraya mengelus rambut Lintang yang mulai memanjang.
Otak Lintang berusaha mengingat apa yang terjadi sebelum dirinya berakhir di ranjang rumah sakit. Perlahan setiap kejadian tersusun satu-satu, begitu pula dengan emosi yang menyertainya. Sebagai anak yang selalu dilimpahi kasih sayang dan baru saja merasakan apa itu kehilangan. Dia merasa itu sangat menyakitkan. Apalagi orang yang diyakini dalam bayangannya adalah sang kakak.
"Apanya yang sakit?" tanya Ibu Widuri memastikan.
Mati-matian Lintang tersenyum, agar tak menampakkan kesedihan yang baru kali ini diterima. Namun, senyum ketegaran perlahan memudar. Teringat bagaimana tragis nasib kakaknya. "Sepertinya aku hanya kangen Ibu." Dia beralasan dan memegang tangan ibunya agar lebih meyakinkan.
Bukankah sejak awal pilihan hanya hidup dan mati. Lagipula dia sudah mengatakan bahwa sanggup menjalani apapun yang terjadi. Kematian hanyalah perpisahan biasa. Toh, dia tak memiliki banyak kenangan dengan kakaknya. Tak akan menyakitkan. Namun, kenapa dia merasakan kesedihan yang mendalam? Padahal saat kematian nenek juga kakeknya karena usia, bisa begitu tegar seolah sudah siap. Atau karena sedari awal dia menganggap bukanlah bagian keluarga, hanya orang asing yang kebetulan mendapat semua materi juga limpahan kasih sayang? Dan bukan saudara dalam arti sesungguhnya.
Tidak! Itu hanya kecelakaan, bukan kematian!
Mendengar jawaban, Ibu Widuri mengelus rambut Lintang dengan penuh kasih sayang. "Kalau begitu, makan dulu, Nak." Dia mengambil makanan yang sudah disediakan pihak rumah sakit di nakas. Ada bubur halus, sayur bayam, ayam juga tempe bacem. Tentu saja tanpa rasa.
Lintang tersenyum meyakinkan dan berusaha bangkit. "Aku bisa sendiri, Bu." Dia meminta piring pada ibunya yang langsung ditolak.
"Kamu pasti masih lemas. Biar Ibu saja."
Pak sastro hanya diam memperhatikan.
Sedang Gibran dan Dimas diam memperhatikan dari celah pintu yang terbuka.
"Bang." Dia menoleh pada Gibran. "Dokter bilang apa?"
"Hanya syok traumatik."
"Jadi?"
"Dia butuh keluarganya." Selesai mengatakan, Gibran berjalan menjauh. Diikuti Dimas yang tak lagi bertanya.
***
Beberapa hari berlalu sejak kejadian, Lintang sudah kembali ke rumah. Meski masih terpukul, dia sudah jauh lebih tenang.
"Pak, apa Lintang sudah cerita?" tanya Ibu Widuri pada suaminya ketika duduk di ruang tamu. Beberapa hari dia menyadari perubahan sikap anaknya, tetapi hanya jawaban jika lelah saja. Sangat kentara ada yang disembunyikan. "Dia jadi pendiam."
Pak Sastro menggeleng pelan lantas mencopot kacamata dan meletakkan di meja. "Dokter bilang dia syok. Mungkin beberapa hari jangan sampai keluar. Takutnya melamun seperti dulu."
"Kenapa bisa begini, Pak?" Wajah Ibu Widuri berubah sendu.
"Temannya bilang dia baru saja melihat korban kecelakaan. Mungkin dia teringat kejadian waktu itu."
"Ibu bilang juga apa. Seharusnya kita membuang semua hal yang berkaitan dengan Kakaknya. Bapak juga malah cerita. Memang kejadiannya sudah lama, tapi tahu sendiri apa yang terjadi pada Lintang setelahnya? Kalau sudah kejadian seperti ini, bagaimana?" Wanita paruh baya itu mengeluarkan segala keluh kesahnya. Sejak awal dia tak sependapat dengan sikap suaminya. Takut jika kejadian lalu terulang kembali dan benar saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Brother (Lintang dan Linggar)
AcakSejak awal, dia merasa ada yang ganjil dalam hidupnya. Hingga menemukan sebuah foto kakaknya yang sama sekali tak bisa diingat. "Jadi, cerita jika aku diadopsi sebagai teman Wahyu adalah kebohongan belaka? Juga kecelakaan yang menimpa Wahyu adalah k...