bab 20

81 9 0
                                    

Setelah beberapa menit ayah dan ibunya pergi ke pasar sore, Lintang bergegas keluar. Tempat yang dituju pertama kali tentu kamar ibunya.

"Maaf, Dad." Lintang bermonolog ketika hendak membuka kamar ibunya.

Tak menunggu lama, dia segera membuka lemari dan mencari sesuatu di antara tumpukan baju. Tak ada berkas apapun. Kini, dia beralih ke laci juga tas. Nihil.

"Bodohnya aku. Ini sudah sangat terlambat untuk mencari informasi." Meski mulutnya begitu pesimis, dia tetap saja mencari di meja kerja ayahnya. Namun, hanya ada foto-foto Wahyu juga dirinya saat masih kecil.

Hampir setengah jam tak ada yang ditemukan.

Menghela napas dalam. Dia menyudahi dan menutup kamar. Tak banyak waktu, dia bergegas ke gudang yang sudah berubah. Kardus yang kemarin berisi tumpukan buku sudah lenyap. Tentu saja diloakkan.

Di pojok ada lemari usang yang segera dibukanya. Melihat tumpukan berkas, dia segera memilah apakah ada yang berhubungan dengan kakaknya. Begitu banyak bundel berkas. Dia membolak-balik untuk melihat apa isinya.

Tahu tengah berkejaran dengan waktu, dia memilih salah satu dan segera keluar tanpa melihat apa isinya. Jangan sampai kedua orang tuanya mempergoki apa yang diperbuat. Apalagi sudah berlalu satu jam.

Benar saja, setelah Lintang kembali ke kamar dan menyimpan berkas. Mobil orang tuanya masuk. Tak beberapa lama suara kedua orang tuanya terdengar.

Lintang berusaha menguping pembicaraan, tetapi tak ada hal yang mencurigakan. Hanya mengenai perkara belanjaan juga basa-basi yang sama sekali tak menyangkut kakaknya. Ah, sudah pasti mereka melakukan di dalam mobil.

Dia berjingkat ke ranjang setelah menyimpan berkas ke lemari. Berpura-pura istirahat, dia justru tertidur pulas dan baru bangun menjelang Maghrib. Itu pun dibangunkan oleh ibunya.

"Kamu pasti capek sekali, Nak. Gak usah dipaksain cari kerjanya, nanti sakit. Istirahat saja di rumah untuk sementara."

"Iya, Bu. Kalau seminggu ini gak ada informasi lowongan, mungkin aku akan pulang dulu."

Ibu Widuri tersenyum. Lalu mereka menikmati malam dengan bercengkerama. Hingga Lintang melupakan berkas yang diambil.

Lintang kaget saat bangun. Dikarenakan matahari sudah terlampau tinggi, artinya dia lewat dari jam.kerja di bengkel. Memang statusnya hanya membantu, tetapi rasanya sungkan jika harus telat.

Dia bergegas bersiap dan sarapan. "Kenapa Ibu gak bangunin aku?"

"Lo memang kenapa, Nak? Memang ada tes wawancara apa kok harus bangun pagi?"

Seketika Lintang yang tengah mengunyah nasi goreng tersadar. Ibunya tak tahu jika dia membantu pekerjaan di bengkel. "Oh, iya. Kebiasaan, Bu. Di sana bangun pagi." Lintang terkekeh menyadari tindakannya.

Pak Sastro yang tadi duduk di teras, ikut bergabung ketika mendengar suara anaknya.

"Ini Ibu udah siapin bebek rica-nya. Ada telur asin juga sama daging." Wanita yang memiliki hidung agak pesek itu duduk lantas menyodorkan rantang.

"Makasih, Bu."

"Makan yang banyak, Nak." Ibu Widuri mengelus bahu Lintang dengan senyum terkembang. Setelah kejadian tempo hari, ada ketakutan jika anaknya akan menjauhinya. Memang cinta yang dulu diberikan sebatas iba. Namun, seiring bertambahnya waktu, rasa sayang semakin besar bahkan rela melakukan apa saja demi melindungi.

Selesai sarapan dan bercengkrama sebentar, Lintang lekas ke kamar mengabari Gibran jika datang agak siang. Tak lupa meminta maaf karena tak bisa membantu.

Brother (Lintang dan Linggar)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang