"Maaf, ya. Bosku sepertinya dalam kondisi yang kurang bagus. Biasanya dia gak pernah begini." Dimas masih saja membela bosnya, berharap Lintang tak menyebarkan apa yang terjadi. Bisa bahaya jika karena satu kesalahan bisa berefek buruk. Walau mereka sudah memiliki pelanggan yang loyal, siapa tahu ke depannya? Namanya juga usaha. Mempertahankan kredibilitas jauh lebih utama.
Lintang mengangguk, tak ada niat menyebarkan apa yang terjadi sekarang. Emang dipikir dia perempuan apa? Yang baru saja mendapat gosip terhangat untuk disebarkan? Biar saja. Jika bukan karena sepeda motornya mogok di tengah jalan, dia juga tak akan datang ke bengkel itu. Hanya sebuah kebetulan saja.
Salahnya juga tak membaca tulisan yang ditempel dan mengganggu waktu istirahat. Sudah pasti merasa terganggu. "Jadi berapa, Mas?" tanyanya ketika Dimas sudah selesai melakukan pengecekan juga mengganti spare part.
Dimas berdiri, mempersilahkan Lintang masuk menemui bosnya yang akan menghitung berapa pembayaran.
Mau tak mau Lintang masuk. Dia bertanya tanpa keraguan seolah sudah melupakan sindiran yang tadi ditujukan padanya, "Berapa totalnya, Bang?"
Lelaki yang dipanggil 'abang' mendongak. Bukannya lekas mengatakan nominal yang harus dibayar, dia justru bersedekap setelah menyandarkan punggung ke kursi. Dipandangi Lintang yang memakai celana hitam dengan kemeja putih, khas melamar kerja, barulah menyodorkan kertas. Tak ada ucapan yang keluar. Pun permintaan maaf.
Lintang mengambil kertas dan melihat berapa. Dengan tergesa dia membayar. Tak mau berlama-lama, karena perutnya juga sudah kelaparan.
"Jika kamu masih mengandalkan uang orang tuamu, setidaknya belajarlah mengurus motor sendiri."
Ucapan lelaki itu membuat Lintang yang sudah melangkah pergi, sontak tertahan sesaat. Tanpa berniat bersitatap, dia berkata, "Untung Anda bukan orang tua saya, karena mereka gak pernah keberatan." Dia melenggang pergi.
Semilir angin membawa kesejukan, menghilangkan kedongkolan yang masih bersarang di hati Lintang. Tak lolos interview, motor bermasalah dan pemilik bengkel yang menjengkelkan. Bisa-bisanya menjejalkan nasehat yang memuakkan pada pelanggan yang tak dikenal. Benar-benar cari perkara.
Motor mulai memasuki perumahan yang berada di tepi kota Jogja. Seorang satpam tersenyum ramah, menyambutnya. Hanya berapa kali belokan, dia sudah sampai di depan rumah. Setelah membuka gerbang dan memasukkan ke garasi, seorang wanita paruh baya yang memakai gamis menyambutnya di teras. Seolah sudah menunggu sedari tadi.
"Bagaimana tesnya, Nak?" tanyanya, penasaran.
Lintang mencopot helm dan berjalan mendekati ibunya yang tak beranjak dari kursi. Bukannya menjawab pertanyaan, dia memilih bungkam. Menghempaskan diri di sofa setelah mencium punggung tangan.
Sang ibu seolah bisa menduga apa yang terjadi. "Ibu bilang juga apa! Tunggu saja tahun depan. Sekarang gak usah ngoyo cari kerjaan. Kalau cuma jajan, Ayah juga masih bisa kasih."
"Iya." Tentu sebagai orang tua yang menginginkan kehidupan anaknya terjamin hingga hari tua, Lintang memaklumi saja permintaan ibunya untuk mengikuti tes cpns. Namun, melihat beberapa temannya sudah mendapatkan pekerjaan, tentu dia juga ingin menghasilkan uang sendiri. Menunggu setahun baginya terlalu lama.
"Ibu ini terlalu memanjakan Lintang! Selalu saja menyuruh Lintang jadi pns. Mbok biarin saja mencoba hal baru. Masih muda, biar merasakan banyak hal." Pak Sastro -ayah Lintang- yang baru saja keluar, ikut duduk di samping Lintang. "Justru kalau Ibu gak rela, Lintang jadi susah dapat kerja."
Mendengar kata manja, seketika Lintang teringat ucapan pemilik bengkel. Apa benar dia manja? "Dad, bisakah ajari aku memperbaiki motor?"
Pak Sastro, lelaki dengan kumis tipis yang mulai memutih, menoleh mendengar permintaan anak lelakinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Brother (Lintang dan Linggar)
AcakSejak awal, dia merasa ada yang ganjil dalam hidupnya. Hingga menemukan sebuah foto kakaknya yang sama sekali tak bisa diingat. "Jadi, cerita jika aku diadopsi sebagai teman Wahyu adalah kebohongan belaka? Juga kecelakaan yang menimpa Wahyu adalah k...