"Bang Gibran ke mana?" Lintang celingukan, mencari Gibran yang tak kelihatan batang hidungnya sedari tadi.
"Pergi. Kalau kamu mau pulang, nanti kusampaikan. Sepertinya dia pergi agak lama." Setelah semalam mengatakan akan pulang, tentu Dimas sudah menduga jika Lintang hendak berpamitan dengan Gibran.
"Tunggu sebentar saja." Lintang kembali duduk di samping dimas yang asyik dengan gamenya.
Lima menit, sepuluh hingga setengah jam berlalu, tak ada tanda kedatangan Gibran. Lintang semakin gelisah karena ponselnya terus bergetar, pertanda ibunya tengah menanyakan sampai di mana.
"Pulanglah! Ibumu sudah menunggu itu." Dimas melirik Lintang yang sedari tadi memegang saku celana, di antara ingin mengangkat ponsel atau tidak.
Lintang menghela napas panjang lantas melihat ponselnya. Dia bangkit seraya meminta Dimas menyampaikan permintaan maaf karena tak bisa izin secara langsung.
"Sudah dibilang juga, kamu mau pulang atau ngapain gak usah izin."
Ya, Lintang paham. Gibran juga sudah memberi tahu, tetapi rasanya tetap tak sopan. "Di sini Bang Gibran adalah orang yang jauh lebih tua, tentu aku harus menghormati keberadaannya."
"Ya, nanti aku beri tahu Bang Gibran." Akhirnya Dimas menjawab kekhawatiran.
Lintang tersenyum sebagai ucapan terima kasih dan berlalu keluar. Di belakang Dimas mengikuti dengan ponsel masih di tangan. Begitu motor berjalan menjauh, barulah menutup pintu bengkel.
Sepanjang perjalanan, Lintang masih saja memikirkan kejadian beberapa hari silam. Sambutan dari Gibran memperkuat dugaan jika bosnya diasuh oleh keluarga kakaknya jauh sebelum kejadian naas menimpanya. Kalau ya sudah pasti orang tuanya akan terkejut atau yang lebih parah meminta untuk tak lagi berada di bengkel.
Baru asyik dengan pikirannya, pandangan tertuju pada sebuah mobil lawas yang dikenali, memasuki pelataran kafe yang berada di seberang jalan. Sontak dia menepi, memperhatikan plat nomor. Mirip sekali dengan milik ayahnya. Padahal dia berniat melanjutkan perjalanan. Namun, rasa penasaran memenuhi benak. Apalagi pandangannya menangkap motor Gibran terparkir di depan kafe.
Apa ini hanya kebetulan saja? Seingatnya, Gibran bukan lelaki yang suka nongkrong di kafe hanya untuk minum kopi. Dan ayahnya hampir tak pernah keluar karena temannya yang lebih sering mengunjungi. Jika memang bertemu, tak mungkin di kafe yang notabene terlalu gaul.
Sedikit mencurigakan.
Teringat beberapa kali dibohongi ayahnya, dia berpikir apakah mungkin ayah dan Gibran saling mengenal? Dan keduanya bersekongkol menutupi keberadaan kakaknya? Bisa jadi.
Akhirnya dia memutar motor, walau tak memarkir di depan kafe. Justru di sebuah tempat fotokopi. Begitu masuk, dia celingukan, berharap kehadirannya tak diketahui. Baik oleh Gibran atau ayahnya. Ekor mata berhasil mencari keberadaan Gibran yang ternyata berada di pojokan. Duduk bersama ayahnya. Sungguh di luar dugaan. Padahal saat bertemu beberapa hari silam, mereka seolah tak mengenal dan sekarang jauh berbeda. Agar bisa duduk lebih lama, dia memesan segelas kopi.
Beruntung, kemarin saat kembali ke bengkel tak memakai jaket kulitnya dan memilih hoodie. Jadi dia bisa menyembunyikan wajah seraya mengamati di kejauhan.
Ponsel di saku celana meronta-ronta, tentu saja panggilan dari ibunya. Tak dihiraukan, justru mematikan suara juga getaran. Sekarang fokusnya hanya pada pertemuan ayah dan Gibran.
Pikiran Lintang merunut kejadian yang terjadi sekarang. Bagaimana bisa ayahnya menghubungi Gibran? Atau jangan-jangan sejak awal mereka sudah saling kenal dan berpura-pura di hadapannya. Semua kemungkinan bisa saja terjadi.
![](https://img.wattpad.com/cover/351579971-288-k814647.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Brother (Lintang dan Linggar)
De TodoSejak awal, dia merasa ada yang ganjil dalam hidupnya. Hingga menemukan sebuah foto kakaknya yang sama sekali tak bisa diingat. "Jadi, cerita jika aku diadopsi sebagai teman Wahyu adalah kebohongan belaka? Juga kecelakaan yang menimpa Wahyu adalah k...