Lintang berusaha menghalau segala kemungkinan yang ada dalam kepala. Namun, semakin dipikir, semakin penasaran. Dia menyambar jaket kulit dan berlalu keluar.
"Mau ke mana, Nak?" tanya Ibu Widuri mendekat.
"Maaf, Bu. Aku mau pergi. Sebentar saja." Lintang bergegas keluar dan menstarter motor.
"Iya, mau ketemu sama siapa? Berapa lama?"
Bersamaan dengan itu, suara mobil ayahnya berhenti di depan rumah. Disusul ayahnya yang datang menenteng dua kantong plastik kresek. Ditatap Lintang yang berniat pergi. "Ada apa, Nak?" Pak Sastro mendekat, melihat raut istrinya yang cemas.
"Cuma mencari angin saja." Lintang tak mau kedua orang tuanya curiga, dia tengah memastikan sesuatu yang berhubungan dengan kakaknya. Biarlah mereka dirinya masih berduka.
Mendengar jawaban anak lelakinya, dia mengalihkan pandangan pada istrinya yang seakan tak rela ditinggal. "Biar saja, Bu. Mungkin Lintang hanya cari suasana baru."
Lelaki yang memberikan kantong plastik pada istrinya itu meyakinkan, jika Lintang akan pulang dan tak perlu cemas berlebihan.
"Tapi kamu pulang kan?" Entah mengapa Ibu Widuri begitu ketakutan jika anaknya tidak akan kembali. Dalam artian melakukan hal yang tidak-tidak.
"Iya, Bu. Di sini adalah rumahku." Demi meyakinkan, dia memeluk ibunya. Entah sejak kapan dia bisa berakting dengan baik. "Hanya Ayah dan Ibu yang kupunya." Dia mengurai pelukan lantas mencium punggung tangan.
Ibu Widuri merasa jauh lebih baik, tetapi tetap mengikuti hingga luar gerbang. Memperhatikan anaknya yang perlahan menghilang.
Lintang melihat jam di pergelangan tangan. Sudah mendekati waktu Ashar. Tujuannya sekarang adalah bengkel. Memastikan apakah Dimas dan Gibran sudah berada di tempat.
Motor Lintang meliuk-liuk menyalip mobil juga truk. Sesekali dia menanti dengan tak sabar di rambu lalu lintas. Hingga akhirnya tiba di bengkel yang masih tertutup rapat. Diambil ponsel untuk menghubungi Dimas atau Gibran. Menanyakan di mana keberadaan. Masih sama seperti tadi. Tak bisa dihubungi.
Diputuskan menunggu. Satu jam, dua jam hingga waktu berganti menjadi Maghrib dan yang dinanti masih belum kelihatan batang hidungnya. Dia hampir menyerah, menunggu di depan bengkel sekian lama. Perutnya bahkan berbunyi beberapa kali dan panggilan di saku celana tak berhenti sedari tadi. Sayang, bukan dari Dimas atau Gibran, melainkan ibunya.
Menghela napas panjang, dia berniat kembali pulang. Namun, yang ditunggu akhirnya datang menjelang isya.
Dimas turun dari motor tanpa menyapa Lintang yang mendekat. Dia membuka pintu bengkel lantas memasukkan motor.
"Bang Gibran ke mana?" tanya Lintang ketika masuk ke bengkel. Dia mengedarkan pandangan, melihat tempat yang sudah ditinggalkan beberapa hari lalu. Dia mendekat ke meja yang biasa menjadi area Gibran. Tak ada puntung rokok atau gelas kopi.
"Kalau kamu mau mengambil bajumu, sudah kusiapkan di kamar." Bukannya menjawab pertanyaan, Dimas justru mengalihkan pembicaraan.
"Aku ingin bicara dengan Bang Gibran."
"Untuk apa kamu mencarinya?" Dimas berlalu menuju dapur dan Lintang juga mengikuti. Sungguh sikap yang jauh berbeda dengan saat masih bersama.
"Karena aku baru sadar, jika nama Gibran adalah namamu. Dimas Gibran Ardiansyah atau biasa dipanggil Ardi."
Dimas hanya mengambil air kemasan yang berada di kulkas lalu menarik kursi meja makan. Masih belum ada jawaban atau sanggahan yang diberikan. Yang dilakukan justru menggelontorkan air untuk menghalau haus di kerongkongan. "Akhirnya kamu menyadarinya. Dasar bodoh."
![](https://img.wattpad.com/cover/351579971-288-k814647.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Brother (Lintang dan Linggar)
De TodoSejak awal, dia merasa ada yang ganjil dalam hidupnya. Hingga menemukan sebuah foto kakaknya yang sama sekali tak bisa diingat. "Jadi, cerita jika aku diadopsi sebagai teman Wahyu adalah kebohongan belaka? Juga kecelakaan yang menimpa Wahyu adalah k...