bab 18

59 6 0
                                    

Lintang termangu di tempat setelah mendengar percakapan Dimas dengan Gibran. Siapa yang dimaksud dengan kematiannya? Apakah ... seketika dia teringat. Apa mungkin ada hubungannya dengan makam yang didatangi Gibran? Lalu apa yang dimaksud dengan rasa bersalah Gibran?

Jika memang yang dimaksud Kakaknya meninggal, apakah penyebabnya berhubungan dengan Gibran? Apakah kecelakaan yang pernah dibicarakan Dimas adalah penyebabnya? Ah, padahal dia sempat berharap bisa berjumpa dengan kakaknya, tetapi mendengar kata kematian. Harapan itu kembali meredup.

Seharusnya dia mencari berbagai macam informasi, bukan malah terjebak kebersamaan dengan rekan barunya. Mungkin karena selama ini selalu sendiri dan jarang diperbolehkan menginap di rumah teman, kecuali sangat penting. Jadi yang terjadi justru terlalu menikmati.

Menghela napas panjang, Lintang bergegas ke depan setelah mendengar Dimas menyebut namanya. Tersenyum dan berpura-pura tak mendengar pembicaraan mereka.

"Bang, kamu gak kasih Lintang gaji? Bagaimanapun dia bekerja dengan baik."

Gibran menatap Lintang.

"Aku gak butuh gaji, Bang. Hanya informasi mengenai Kakakku saja. Itu sudah cukup."

"Kamu dengar sendiri? Dia gak butuh gaji." Bukannya bertanya informasi apa yang ingin ditanyakan Lintang, Gibran justru berdiri dan pergi. Tak memberi kesempatan bertanya. Seolah menutup akses yang pernah dijanjikannya.

"Kupikir kamu sudah mendapat banyak kemajuan. Ternyata masih jalan di tempat."

"Yah, aku terlalu menikmati pekerjaan di sini sampai lupa." Lintang terkekeh kecil. "Jarang-jarang aku bisa tinggal jauh dari orang tua agak lama. Apalagi dengan orang baru seperti kalian."

"Kenapa aku merasa sedih mendengar ceritamu. Seperti sangat terkekang."

"Ini gak terlalu menyedihkan. Hanya saja ... hidup sendiri tanpa saudara juga rasanya agak sepi. Makanya saat tahu aku memiliki Kakak, rasanya aku gak sabar ingin berjumpa dengannya."

"Jadi apa alasan yang kamu berikan pada orang tuamu selama ini?"

"Di rumah teman, gak sepenuhnya bohong kan? Oh, ya bagaimana denganmu? Apa kamu juga punya saudara? Ngomong-ngomong kamu jarang cerita mengenai dirimu." Lintang mencoba mengalihkan topik pembicaraan. Tak mau Dimas mengorek informasi lebih dalam mengenai dirinya.

Dimas terdiam sesaat. Berpikir memberi jawaban. Seperti pertanyaan yang diajukan Lintang terlalu susah dijawab. "Ya, aku mempunyai saudara, tapi aku gak tahu apakah dia menganggapku atau gak."

Mendadak Lintang merasa iba. Namun, sadar bukan ranahnya untuk ikut campur. "Apa karena itu kamu gak pernah pulang."

"Untuk apa pulang? Di sini adalah rumahku."

Lintang tak paham, tetapi memilih diam.

Dimas bangkit, langsung bergegas bersiap. Walau dalam keseharian mereka sedikit jauh lebih akrab, kenyataan tak ada informasi pribadi yang didapatkan. Baik Dimas maupun Gibran. Semua tertutup. Hanya sedikit yang memang diceritakan.

Mungkin mereka sadar, dia datang hanya untuk mencari informasi mengenai kakaknya dan pergi. Tak ada gunanya mengakrabkan diri. Tidak akan saling menguntungkan.

Lintang menghabiskan gorengan dan bersiap-siap. Hari demi hari berlalu biasa. Lintang mulai tahu mendalam tentang mesin dan kerusakannya. Entah sudah berapa motor yang berhasil diperbaiki olehnya.

"Bang Gibran mau ke mana?" tanya Lintang mendekati Dimas ketika Gibran keluar, pagi itu.

Dimas hanya mengendikkan bahu. Tak ada kalimat keluar saat Gibran pergi, tentu dia tak bisa menebak ke mana. Lagipula jika ditanyakan juga belum tentu ada jawaban. Justru gertakan karena ikut campur urusan.

Brother (Lintang dan Linggar)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang