"Nak, kamu kok agak kurus? Kamu makan gak di rumah temanmu?" tanya Ibu Widuri seraya mengelus rambut Lintang yang duduk di ruang tamu, menikmati Minggu pagi. Di hadapan mereka, jus buah segar dengan bikang ambon terhidang di meja kaca beralasakan taplak putih.
Lintang menoleh, melihat pancaran kasih sayang dari sorot mata ibunya. "Bu, aku hanya sedikit kurus, bukan sakit. Gak pa-pa."
"Tapi kurus itu bikin mudah sakit. Makanlah yang banyak." Ibu Widuri mengambil bikang ambon dan menyodorkan pada Lintang yang langsung mengambil tanpa menolak.
Di seberang meja, Pak Sastro hanya melihat tanpa mengeluarkan sepatah kata. Biar saja istrinya menyalurkan kerinduan pada anak lelakinya setelah seminggu resah.
"Bu, temanku suka dengan bekal buatan Ibu--"
"Nanti Ibu bawakan lebih banyak. Kalau habis kamu tinggal bilang, biar Ibu dan Ayah antar ke rumah temanmu."
"Gak usah, Bu." Buru-buru Lintang menolak. Dia tak mau kedua orang tuanya tahu jika dirinya membantu di bengkel demi mencari informasi. "Nanti uang saku Ayah gak habis-habis."
"Tapi kamu beneran makan kan? Jangan sampai bilang makan, tapi malah puasa." Ibu Widuri hanya takut jika putranya menjadi seperti anak perantauan, yang suka berbicara sebaliknya agar tak membuat orang tuanya khawatir. Karena hal itu, selama ini dia tak mau berjauhan demi memastikan gizi yang cukup.
Lintang mengangguk sebelum memasukkan bikang ambon ke mulutnya.
"Ya, sudah. Yang penting kamu senang. Mau berangkat jam berapa? Biar Ibu siapkan."
"Sore ini."
Mendengar jawaban, wajah Ibu Widuri berubah sendu. Namun, dia berusaha tak menampakkan kekecewaan. Mungkin sudah waktunya menerima perubahan. Anaknya sudah sepenuhnya dewasa dan mempunyai kehidupan yang diinginkan. Dia tak bisa mengikat dengan alasan orang tua. "Biar Ibu siapkan lebih dulu kalau begitu." Baru saja hendak bangkit, pergelangan tangannya sudah ditahan oleh Lintang.
"Nanti saja, Bu. Masih banyak waktu." Lintang memohon agar ibunya kembali duduk seraya tersenyum. "Aku masih ingin bersama Ibu." Tentu ucapan Lintang hanya sebagai penenang.
Mau tak mau Ibu Widuri kembali duduk. Toh, dia juga masih merindukan Lintang yang biasa ada di rumah.
"Kenapa cepat sekali? Apa gak bisa besok pagi? Ibumu masih kangen."
"Aku lupa gak minta kunci, Dad. Takutnya kalau pagi temenku sudah berangkat. Kalau bawa bekal kan minimal harus ditaruh dulu juga." Terpaksa Lintang berbohong. Padahal alasan yang sebenarnya karena tak mau berlama-lama di rumah. Informasi sekecil apapun sangat berarti baginya sekarang. Namun, dia tak sanggup mengatakan.
Jika bukan karena ibunya yang memohon agar pulang, tentu dia lebih memilih bertahan di bengkel.
Pak Sastro diam. Tak lagi melanjutkan perdebatan. Dia mengambil jus buah dan mengalihkan perbincangan.
Lintang berniat meminjam kunci gudang lagi untuk mencari petunjuk, seperti surat yang terselip seperti kemarin. Namun, menimang sudah pergi seminggu lamanya. Sudah pasti buku-bukunya disingkirkan atau disimpan. Dia ragu bisa menemukan bukti lain.
Jam sudah menunjukkan pukul tiga lewat. Lintang sudah bersiap kembali ke kota. Dia keluar dan mendapati ibunya tengah menyiapkan bekal.
"Banyak sekali, Bu." Lintang melihat isi rantang yang akan dibawa lantas menarik kursi. Dia duduk berhadapan dengan ibunya yang masih sibuk menyiapkan bekal.
"Biar gemuk lagi. Ibu gak suka lihat kamu kurusan, kayak gak bahagia." Ibu Widuri memasukkan kering tempe ke dalam mika dan meletakkan di samping rantang yang belum tertutup.
KAMU SEDANG MEMBACA
Brother (Lintang dan Linggar)
De TodoSejak awal, dia merasa ada yang ganjil dalam hidupnya. Hingga menemukan sebuah foto kakaknya yang sama sekali tak bisa diingat. "Jadi, cerita jika aku diadopsi sebagai teman Wahyu adalah kebohongan belaka? Juga kecelakaan yang menimpa Wahyu adalah k...