bab 26

70 6 0
                                    

Lintang masih tak menduga jika kepergian kakaknya karena permintaan kedua orang tuanya. Pada akhirnya cerita yang sama kembali terulang.

Kakaknya dipaksa menjauh darinya. Dan itu semua demi dirinya. Yang benar saja. Alasan. "Aku tahu niat kalian baik, tapi ... gak bisakah kalian mendengarkan apa yang menjadi keinginanku? Aku berhak untuk tahu keluargaku."

Ibu Widuri menunduk dalam seraya memegang pergelangan tangan Lintang. "Ibu hanya gak mau kehilanganmu, Nak. Ibu ... gak bisa mengembalikanmu padanya karena ... kamu adalah anak kami."

"Aku hanya ingin berkumpul dengan keluarga asliku, Bu. Bukan pergi dari hidup Ibu." Dia melepaskan pegangan tangan ibunya.

"Kemana Kakakku pergi, Bu? Katakan padaku." Lintang menatap ibunya, memohon lewat sorot matanya.

"Apakah kamu mempercayai jika kami mengatakan gak tahu kemana perginya, Nak."

Pandangan Lintang kini beralih pada ayahnya. Gurat penyesalan begitu kentara. "Aku gak tahu, Dad. Apakah masih bisa mempercayai ucapan kalian setelah kesekian kali membohongiku? Lagipula sekalipun kalian tahu, gak mungkin bukan memberi tahuku?" Dia berlalu ke kamar.

"Nak." Ibu Widuri berusaha menahan Lintang, tetapi Pak Sastro mencegah dengan gelengan kepala, agar tak mengganggu anaknya yang tengah syok dan menenangkan diri. Tentu tak mudah menerima kenyataan jika orang tua yang telah membesarkan justru menjadi pelaku utama yang berniat memisahkan dengan keluarga aslinya. Pasti ada kecewa juga kesedihan yang tak bisa dijelaskan. Apalagi sejak awal mereka membangun narasi kebohongan. Tak hanya sekali, tetapi berkali-kali.

Namun, semua demi kebaikan. Ada hal yang melatarbelakangi mengapa mereka melakukannya.

Ibu Widuri mendekati Pak Sastro. Wajahnya menyiratkan penyesalan juga kesedihan yang mendalam. Salahkah jika dia takut kehilangan? Dia telah membesarkan dengan susah payah, bahkan mencurahkan kasih sayang yang sedemikian banyak.

"Pak, bagaimana ini?"

Pak Sastro menepuk bahu istrinya. Menegarkan jika semua akan kembali seperti sedia kala. Hanya butuh waktu bagi Lintang menerima kebaikan yang disalahartikan sebagai kesalahan. Ya, walau diam-diam hatinya diserbu penyesalan setelah mendengar keinginan anaknya. "Biarkan Lintang menenangkan diri dulu, Bu."

"Apakah dia akan membenci kita, Pak?" tanya Ibu Widuri. Dia menenggelamkan diri dalam dada suaminya. Terisak, ketakutan.

Pak Sastro merengkuh tubuh istrinya yang sedikit kurus, menenangkan dengan mengelus bahunya.

Di dalam kamar, Lintang duduk di tepi ranjang. Kepalanya sakit. Benar yang dikatakan Dimas. Dia adalah dalang di balik kehancuran kakaknya. Cinta telah membuat orang menjadi gila. Jika kakaknya rela memberikan segalanya, maka keluarganya rela menghalalkan berbagai macam cara demi memisahkan.

Semalam dia terus merenung. Mendekati subuh baru tertidur. Dan ketika matahari mulai meninggi, dia masih di kamar. Tak tahu harus berbuat apa untuk memulai pencarian.

Setelah mandi, dia keluar disambut oleh ibu juga ayahnya dengan raut cemas.

"Makanlah, Nak."

Lintang menurut. Duduk bersama di meja makan untuk menyantap sarapan. Pak Sastro dan istrinya saling berpandangan seolah meminta salah satu menjadi juru bicara.

Lintang sadar dengan suasana canggung di antara mereka. Namun, dia mencoba bersikap biasa dan mengabaikan sikap orang tuanya.

"Aku mau keluar hari ini." Setelah sarapan selesai, akhirnya Lintang buka suara.

Kedua orang tuanya saling bersitatap untuk beberapa saat.

"Hati-hati, Nak."

"Terima kasih, Dad." Lintang memundurkan kursi dan beranjak pergi.

Brother (Lintang dan Linggar)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang