Dimas mendekat ketika Gibran mengulurkan uang dua ratus ribu. Sesaat dia bengong mau dibelikan apa, karena tak pernah ada dalam sejarah sebelumnya.
"Heh, beneran ini, Bang? Mau buat beli apa ini?"
"Gak usah banyak tanya! Apapun yang penting makanan."
Dimas masih saja bingung harus memilih apa, tetapi dia sudah memutar tubuh dan bersiap mengeluarkan motor. "Semua, Bang?"
Dengan isyarat tangan, Gibran menyuruh Dimas pergi.
"Apa gak berlebihan, Bang?" tanya Lintang yang masih tak percaya dengan sambutan rekannya.
Lelaki yang memakai celana kain pendek berwarna coklat tua dipadupadankan kaos abu-abu, berjalan menggunakan kruk ke kursi yang berada di bengkel. "Kamu Adiknya Linggar. Tentu gak berlebihan. Setidaknya, kamu sudah gak membuatnya cemas." Dia mengambil wadah rokoknya dan menyimpan di laci.
"Kalau dia cemas kenapa gak datang, Bang?"
Gibran menatap Lintang dengan seringaian mengejek. "Jika dia datang, kamu juga gak mengingatnya. Sama saja."
Lintang diam. Benar juga.
Ponsel Gibran bergetar. Sebuah nomor tanpa nama memanggil. Dia tak menghiraukan Lintang yang memperhatikan sedari tadi dan mengangkat. Beberapa menit berlalu, suara Gibran mengisi bengkel yang terkesan suram, karena kurangnya penerangan itu.
"Bang, ada hal yang ingin kutanyakan." Lintang buka suara setelah Gibran selesai dengan panggilan dan meletakkan ponsel di meja. Bukannya lekas mempersilahkan, dia kembali ke belakang. Teringat tengah merebus air untuk membuat kopi. "Tunggu sebentar."
Sembari menunggu, Lintang meletakkan tas ransel di kamar lalu bergabung di ruang makan.
"Apa?" tanya Gibran.
Lintang menatap Gibran. "Bang, kenapa kamu gak bilang kalau Kakakku yang akan diadopsi oleh keluargaku?"
Gibran tentu saja tak menyangka dengan pertanyaan Lintang. Tangannya yang bersiap menyeruput kopi, terhenti sesaat. Dia juga berusaha tak memperlihatkan keterkejutan. "Kata siapa pernyataanmu itu? Orang tuamu atau spekulasimu saja." Dia meniup kopi yang berada di pinggiran piring kecil lantas menyeruput dengan penuh penghayatan.
"Ayahku."
Gibran menghela napas panjang. Diletakkan kopi kembali di meja. "Kamu suruh aku jawab apa? Kamu pikir aku harus tahu semua?"
"Tentu saja. Seharusnya begitu. Atau kamu juga dilarang untuk mengatakan padaku, Bang?"
"Kalau memang ya, kenapa?"
"Gak, Bang." Lintang tertawa kecil. Mengapa dia juga tak menyadarinya. Gibran tentu mempunyai batasan yang tak boleh dikatakan padanya.
"Apa itu terlihat menyedihkan bagimu? Hanya karena Kakakmu meminta agar kamu menggantikannya, tetap tak akan menghilangkan fakta bahwa anak yang diadopsi kebanyakan dilandasi iba. Tapi apa peduli kita? Bukankah batas antara iba dan peduli hanya tipis. Memang kamu gak seperti itu? Saat melihatku tanpa kaki?"
Lintang tersenyum, paham. Ya, benar. Batas antara iba dan peduli hanya pada tindakan. Mereka sama-sama menggunakan hati sebagai patokan.
"Atau kamu merasa tak layak mendapatkannya? Dan Kakakmu yang jauh lebih berhak?"
Lintang tak menjawab. Ya, mungkin semua itu benar.
"Kamu tak perlu merasa bersalah atas pilihan orang lain terhadap dirimu. Dia melakukan dengan kesadaran penuh, bukan karena paksaan."
Beberapa menit mereka bercengkerama, lalu datanglah Dimas. Dia meletakkan kantong plastik di meja dan membuka. Mengira Lintang tak pernah mencicipi makanan cepat saji, jadinya dia membeli pizza.
![](https://img.wattpad.com/cover/351579971-288-k814647.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Brother (Lintang dan Linggar)
AcakSejak awal, dia merasa ada yang ganjil dalam hidupnya. Hingga menemukan sebuah foto kakaknya yang sama sekali tak bisa diingat. "Jadi, cerita jika aku diadopsi sebagai teman Wahyu adalah kebohongan belaka? Juga kecelakaan yang menimpa Wahyu adalah k...