bab 23

80 6 12
                                    

Lintang berusaha mengorek informasi lebih dalam, sayang Dzaki tak mau buka suara atau lebih tepatnya mencari alasan bahwa Andra adalah orang yang tertutup kepribadiannya. Apalagi setelah acara interogasi berakhir, kedua temannya pamit pulang.

Kini Lintang masih duduk di kafe, sendirian. Merenungi segala hal yang semakin runyam menurutnya. Mengapa nama Gibran menjadi Andra? Setahunya adalah Gibran Wijaya dan bukan Andra.

Seketika, dia tersentak. Sadar. Gibran tak memiliki andil apapun dengannya. Hanya sebatas orang yang mengetahui informasi mengenai kakaknya. Itu saja. Tak lebih. Pada dasarnya, dia juga tak mau tahu lebih dalam. Hanya saja. Setelah serangkaian kebohongan yang mulai kentara, mulai dari keluarga lalu temannya. Kini, dia berpikir selama ini hidup dalam tabir dusta. Lalu apakah Gibran juga berbohong padanya?

Mengambil ponsel dari saku celana. Dia menekan nomor Gibran. Tak dapat dihubungi. Kali ini ganti Dimas. Sama. Di luar jangkauan. Ada apa sebenarnya?

Segera saja dia bangkit setelah taksi online yang dipesannya datang. Tujuannya tentu saja ke bengkel. Hanya ingin tahu apakah mereka bekerja seperti biasa. Beralasan mengambil baju, sepertinya tak masalah.

Tak sampai lima belas menit, dia sudah tiba di tempat yang ternyata dalam keadaan tertutup.

Lintang menggedor pintu berulang, tetap tak ada jawaban. Sayang dia tak mempunyai kunci bengkel. Hanya Dimas dan Gibran. Lalu kembali melakukan panggilan. Siapa tahu tadi hanya kehabisan baterai. Namun, sama saja. Nomor berada di luar jangkauan. Dikirim sebuah pesan. Hanya centang satu.

Sekarang dia mulai merasa janggal. Jangan-jangan Gibran sama sekali tak mengenal kakaknya secara langsung. Dalam artian, hanya orang suruhan orang tuanya. Buktinya sejak dulu mengikuti dirinya. Mungkin lebih tepatnya bukan mengawasi, tetapi sengaja menjauhkan dirinya dengan saudaranya agar tak mendekati dirinya. Bisa jadi. Jika tidak, kenapa mendadak tak bisa dihubungi?

Tawa lirih terdengar. Gila! Apa mungkin kedua orang tuanya mencoba menutupi kenyataan yang sebenarnya untuk kedua kalinya? Lalu membuat ulang cerita seperti setelah dia kehilangan ingatan!

Tak mungkin! Bukankah sejak awal dia hanya anak pengganti? Yang dari pertama diadopsi hanya karena memenuhi permintaan kakaknya saja? Tak mungkin sampai membuat mereka kehilangan sisi logika?

Menghela napas untuk mengurai pikiran yang semakin semrawut, diputuskan menunggu beberapa lama, meski sia-sia. Tak ada tanda-tanda kehidupan.

Matahari kian menyengat. Aspal jalanan menguarkan hawa yang semakin membuat keringat berjatuhan. Setelah bertanya ke warung dekat bengkel dan tak mendapatkan jawaban. Lintang memutuskan pergi. Kali ini tujuannya ke rumah kakaknya.

Begitu tiba, rumah juga dalam kondisi sepi. Tak ada motor Gibran atau Dimas. Dia juga tak membawa kunci. Melompati pagar, bukanlah ide yang baik. Yang ada malah disangka maling.

Mengambil ponsel, dia kembali menghubungi nomor Dimas dan Gibran bergantian. Masih sama. Justru sekarang panggilan dari ibunya yang tertera di layar. Walau masih diabaikan.

"Apa yang sudah kulewatkan?"

Namun, Lintang sendiri tidak tahu. Dia jongkok karena mendadak merasa lelah dan kepanasan. Mungkin lebih baik sekarang pulang, istirahat agar bisa kembali merunut cerita.

Setelah menunggu beberapa saat, taksi yang dipesan datang.

Begitu tiba di rumah, Ibu Widuri langsung menyambut ramah. Meminta segera lekas makan siang.

"Kamu kok lemas, Nak?" Ibu Widuri tentu saja panik melihat anaknya pulang dalam kondisi tak bersemangat. Ya, dia tahu anaknya masih berduka, bahkan saat berangkat juga berusaha tegar. Namun, kali ini ada yang beda, entah apa.

Brother (Lintang dan Linggar)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang