22. Bubur

0 0 0
                                    

Nobi melangkah lemah memasuki rumah megahnya yang sudah sangat gelap. Terbesit dalam pikirannya ia ingin mengakhiri hidup yang sangat kejam ini. Namun, ia tahu jika itulah yang diinginkan semesta, ia tidak ingin kalah dengan semesta, ia tidak ingin menyerah pada-Nya. Kali ini dengan keringat yang membasahi diri, dalam pikiranya terus berkelana, pikiran yang sangat kejam, karea ia terus saja memutar ingatan kesakitan itu, gadis yang sangat Nobi cintai dipeluk oleh pria lain, gadis yang sangat ia cintai menatap lekat wajah pria lain. Terbesit kembali dalam ingatannya bagaimana semua mata tertuju pada penampilannya yang sangat tidak rapih, rambut acak-acakan, pakain penuh dengan keringat, dan wajah pucat.

Nobi tidak pernah mempedulikan semua orang yang menghinanya, meskipun itu menyakitkan. Namun, mengapa ia tega mempermalukan keluarga Chandradimuka di depan para tamu undangan? Masih teringat dengan jelas bisikan-bisikan beberapa tamu yang tidak mengenal Nobi, mereka berbisik seolah keluarga Chandradimuka merupakan keluarga yang tidak terhormat sehingga mengizinkan Nobi yang disebut gelandangan 'tuk masuk ke dalam pesta megah tersebut, bahkan setelah tahu jika Nobi merupakan kekasih Kiara banyak kerabat dari Diana maupun Bayu mempermasalahkan hal tersebut, mereka tidak setuju jika Kiara mendapatkan gelandangan seperti Nobi.

Dalam hati terdalamnya ia sangat ingin menceritakan semua keluh kesahnya yang ia alami hari ini, ia ingin ada tempat 'tuk dirinya mengadu tentang perjalanan pilunya. Lemah mungkin terdengarnya jika seorang laki-laki memginginkan tempat 'tuk berkeluh kesah. Namun, bagi Nobi menceritakan kesedihan pada seseorang yang paham akan posisinya itu bukanlah sebuah kelemahan, melainkan sebuah penenang, karena semakin ia pendam sendiri semakin sakit dirasa, semakin lama rasa sakit itu seolah membisikan padanya agar dirinya mengakhiri hidup.

Nobi menghentikan langkahnya tepat di depan tangga, ia menatap anak tangga satu persatu hingga atas, senyumnya ia ukir, air matanya seketika menetes, bukankan memiliki rumah lantai dua adalah impiannya sejak kecil? Namun, mengapa impiannya itu malah membuat dirinya semakin hancur, membuat dirinya semakin dirundung kegelapan. Semua bermula semenjak nilai itu. Dahulu Nobi selalu dipuji cerdas oleh semua teman sekelasnya walaupun Nobi tidak ikut bergaul secara intens, hingga semenjak nilai buruk itu muncul kepribadiannya seakan berubah, ia semakin tidak suka bergaul dan enggan menjelaskan materi yang ia kuasai, karena ia takut jika kepintarannya ada yang menandingi.

Lambat laun semuanya berubah. Nobi yang dahulu semangat mulai meredup, ia yang dahulu selalu menciptakan tawa mulai menjerit kecewa pada semesta. Kini, Nobi menyadari jika kehidupan nyatanya sungguh menyakitkan, hingga ia selalu merindukan bayangan semunya, itulah yang membuat Nobi berjalan semangat menaiki anak tangga, ia rindu asap dan rasa manis yang diciptakan, ia rindu semua senyuman yang terlukiskan, dan kini ia benci kehidupannya hari ini. Ia tidak pernah menginginkan hari ini ada dalam perjalanannya.

Nobi membuka pintu kamarnya. Namun, seketika ia sangat terkejut di saat Ibunya tengah berdiri di samping ranjang Nobi. Dengan melangkah perlahan Nobi menatap mata Maya yang kini terlihat berkaca-kaca. Langkah Nobi tidak mendekat, ia melangkah ke sisi berlawanan dari Maya, hingga sebuah ranjang menjadi penengah antara mereka. Maya yang melihat itu pun semakin merasa sakit hatinya, anaknya sendiri seolah takut padanya.

Nobi menatap Maya tanpa ekspreai deikit pun. "Ada apa? Kenapa ke sini?" tanyanya, ia melihat buku bersampul putih tengah digenggam oleh Maya. "Itu buku saya. Letakan!" perintahnya dengan suara yang mulai meninggi.

Maya hanya terdiam, air matanya mulai menetes. Hatinya sangat hancur mendengar bentakan dari anaknya itu. "Ke---kenapa kamu membentak ibu?"

Nobi mengerutkan keningnya. "Ibu? Sekarang kau panggil dirimu Ibu? Lalu kemarin siapa kau?" Embun kini mulai mengusai netra indahnya. "Aku pernah mengemis kasih sayangmu! Aku pernah menjadi tulang punggung di usiaku yang masih tujuh tahun! Kau sadar telah merenggut masa kecilku! Kau sadar telah membuat aku kelaparan setiap hari! Aku terus menuruti semua obsesimu, aku terus berusaha membayar semua kesalahanku, kesalahan seorang anak berusia lima tahun yang tidak paham apa itu jalan raya sehingga ia berlari dan membunuh neneknya ...." Air matanya tidak sanggup lagi ia bendung.

SANG LIBRA TANPA WARNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang