Bab 5 : Meet Herman

31 2 1
                                    

05 Mei 2008, Panti Asuhan Kasih Ibu, Jakarta

"Namanya Luna Amerda. Umurnya lima belas tahun, dia juga bersekolah di asrama ini, di SMA Kasih Ibu."

Rudi memperhatikan lekat gadis yang sedang duduk di kursi taman bawah pohon cemara didepan panti. Gadis yang sedang serius membaca beberapa buku kedokteran yang dia bawa untuk anak-anak panti. Gadis itu entah kenapa selalu membuat dirinya tampak lebih dominan di mata Rudi. Saat dia pertama kali melihat Luna, dia langsung teringat dengan anaknya Luna Thalassa yang sudah meninggal, beberapa bulan yang lalu. Dan sekarang, Rudi berniat mengadopsi Luna untuk menjadi putri angkatnya. Dia juga sudah membicarakan hal ini terlebih dahulu dengan Bayu, dan anak laki-lakinya itupun juga setuju.

"Dia anak yang tidak terlalu suka bergaul dengan orang lain. Dia dengan teman-teman sebayanya agak sedikit berjarak. Tapi kelakuannya, insyaallah sangat baik. Dia tidak pernah menganggu siapapun. Dia anak asuh kami yang paling pendiam."

Rudi tersenyum ramah kepada Ratna, wanita dewasa yang memakai hijab warna putih tulang. Duduk didepannya.

"Besok saya datang lagi kesini. Sama Bayu, anak laki-laki saya. Tolong ibu jelaskan niatan saya pada Luna, besok kalo memang dia mau, kami akan menjemputnya kesini."

Ratna tersenyum lembut, dia menganggukkan kepalanya pelan, "iya Pak. Saya akan sampaikan pesan Bapak ke Luna. Bapak tenang saja, Luna pasti mau. Apalagi orang yang berhati mulia seperti Bapak ini, yang mau menyekolahkan dia sesuai dengan cita-citanya. Ilmu kedokteran."

***

"Herman Raymond. Sudah lima belas tahun. Melihat keadaan anda yang baik-baik saja, saya rasa anda sudah terbiasa dengan tempat ini," ucap Diga datar. Tatapannya menatap tajam laki-laki yang sudah mulai beruban itu. Laki-laki yang fotonya selalu Diga simpan sejak kematian Ayah dan Kakaknya.

Herman hanya menaikkan sebelah alis kirinya sebagai tanggapan. Ada senyuman sinis disana. Laki-laki itu menatap Diga dengan tatapan remeh. Dan melihat semua reaksi itu, membuat Diga terkekeh pelan. Dia bersedekap dada, melihat Herman yang berada dibalik kaca pembatas dengan tatapan datar.

"Anda tidak mengenal saya? Jelas, karena ini pertama kalinya kita bertemu. "

Herman tertawa, dia menghela napasnya pelan. Laki-laki ini persis seperti yang dia bayangkan selama ini.

"Benarkah? Lalu, kau siapa? Wajar saja jika kau mengenalku, bahkan seluruh dunia mengenalku dengan baik. Hmmm?"
Herman menumpukan kedua sikunya diatas meja dengan jemari yang saling bertaut.

"Saya?"

"Waaah... Jangan bilang kau adalah salah satu dari mereka yang berduka." Herman tersenyum lebar kearah Diga. "Maafkan aku." Ucapnya dengan kekehan yang bahkan tak bisa di tahan. "Sungguh. Maafkan aku."

Diga mengepalkan tangannya erat. Dia menatap tajam laki-laki yang sedang tertawa didepannya.

"Anda ingat? Seorang Jenderal Polisi yang telah anda bunuh lima belas tahun lalu, saya adalah putranya," ucapnya datar sembari mengeluarkan tanda pengenalnya. "Dan saya datang kesini hanya untuk memberitahu bahwa kasus pembunuhan yang anda lakukan akan segera dibuka kembali. Dan seluruh dunia akan tau siapa anda dan keluarga anda yang sesungguhnya."

Diga tersenyum sinis, saat melihat wajah laki-laki itu yang sedikit terusik dengan ucapannya.

"Kami menyakini bahwa anda tidak mungkin mengerjakan semua pekerjaan menjijikkan itu sendirian. Anda pasti punya seseorang yang selalu bersedia menuruti perintah anda. Bisa saya sebut sebagai komplotan, atau mungkin itu keluarga anda sendiri. Dan kami, lebih tepatnya saya, berjanji akan membawa kalian semua ketempat ini. Saya akan membuat semua orang melihat bagaimana anda di hukum mati secara langsung. Saya akan menggantikan posisi Ayah saya dan menjalankan semua niatnya."

IT's ME ; the person you call the devilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang