"Nah, kebuka!" katanya, setelah kurang lebih setengah jam Aruna mencoba mengotak-atik kunci lemari kayu yang berada di salah satu kamar kosong di rumahnya. Ia menemukan beberapa kunci di ruang kerja ayahnya yang sudah lama terbengkalai. Lemari dengan lubang kaca tembus pandang di sisi depan itu selalu membuatnya penasaran selama ini. Tumpukan bukunya yang masih rapi dan tidak pernah terbuka itu berniat ia bongkar.
Buku-buku itu, ia rasa adalah kumpulan album foto. Mungkin foto-foto saat Aruna kecil, atau kenangan tentang masalalu keluarganya yang memang Aruna belum pernah lihat sebelumnya. Usai pintu lemari tersebut terbuka, ia segera mengambil salah satu binder yang terletak paling ujung atas. Lain daripada yang lain, binder berwarna hitam itu lebih menyita atensinya. Ia buka tiap lembar dengan hati-hati, sambil terus ia amati lekat-lekat tiap barisan foto yang tertempel di sana. Terpampang jelas dua insan di dalam foto-foto itu. Ayah-ibunya, yang diselimuti senyum indah di wajah mereka, tanpa beban, dan terlihat begitu harmonis sepertinya.
Ya, Aruna tau, gambar-gambar itu diambil saat awal pernikahan mereka. Disaat ayah dan ibunya masih bahagia menjadi pengantin baru. Tapi entah mengapa, hatinya terasa sakit. Seolah setelah kehadirannya, orang tuanya justru terlihat tidak bahagia. Aruna ingat, keluarga kecilnya itu terakhir kali sarapan bersama saat Aruna masih TK. Terlalu dini baginya untuk memahami, mengapa ayahnya tiba-tiba punya banyak teman polisi? Satu momen tak bisa ia lupakan, saat Aruna bertanya akan pergi kemana ayah bersama teman-teman polisinya itu, ibu hanya menjawab, "Ayah cuma mau main kok."
"Bullshit, main kok sebelas tahun nggak pulang?" sarkas Aruna setelah mengingat kejadian itu. Ia lanjut membuka lagi foto-foto yang masih ada di dalam binder. Terlihat ada satu foto yang benar-benar menyayat hatinya. Satu-satunya foto Aruna bersama sang ibu, dengan seutas senyum yang jelas-jelas terpaut di bibir mereka. Pertama kalinya ibu mengajaknya foto bersama, dengan pose sederhana yang jelas-jelas saat itu sudah membuat Aruna senang. Namun, foto itu adalah beberapa jam sebelum ibunya terbang menjadi tenaga kerja di Aussie. Sejak saat itu, Aruna sama sekali tidak pernah melihat lagi kedua orang tuanya. Yang ia tau dari 'Mbokdhe' nya, ibu sedang mencari uang untuk biayanya sekolah. Uangnya pun dititipkan lewat Mbokdhe, karena pada saat itu Aruna masih sangat kecil.
"Iya, uangnya buat biayain aku. Tapi itu dulu, sekarang mah nggak tau duitnya kemana," Aruna lagi-lagi bergumam sendiri, dilanjut tawa sarkasnya yang sebenarnya tidak ada arti.
Setelah foto itu, tak ada lagi momen di keluarganya. Tinggal sendirian di mansion sebesar itu pada masanya, Aruna sering kali merasa kesepian. Tapi paling tidak, sepinya terobati ketika ia berada di sekolah. Kini juga ia telah mendapat dua orang teman baru, Maersa dan Sabian. Walaupun pada dasarnya Aruna sudah mengenal Sabian dari awal Ayara mengenalkannya, tapi mereka baru akrab belakangan ini. Kurang lebih, begitulah.
Anehnya, tak ada satu lembar pun yang menunjukkan dirinya semasa bayi-batita. Ntah dim
ana foto-foto lain disimpan, yang jelas kini Aruna sedikit menyesal membuka album ini, seperti membuka luka lama rasanya. Saat hendak mengembalikan binder hitam itu kembali ke tempatnya, atensinya dialihkan oleh selembar postcard putih yang terbang dari selipan binder menuju lantai. Aruna refleks memungutnya, tanpa sengaja terlihat gambar di atas kertas itu yang justru menimbulkan banyak pertanyaan di benaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kehilangan [Cover Sementara]
FantasyTentang berapa lama masa kita akan habis bersama orang itu. Saat hitungan mundur itu tiba, semuanya akan menghilang dan serpihan kenangan tak tersisa sekeping pun. Bukankah suatu keajaiban jika memori itu tidak hilang? Namun bagaimana jika 'dia' ada...