8 - Pick Me Up

8 2 0
                                    

Sebuah lubang bertabur bintang mulai terbuka

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sebuah lubang bertabur bintang mulai terbuka. Semburat cahaya kebiruan yang mengelilingi jalan penghubung ruangan tak beraturan itu berhasil mendatangkan kabut hitam dengan hawa dingin yang begitu menyeruak, serta hembusan angin ribut yang makin kuat tiap detiknya. Gunung yang penuh dengan pepohonan itu seketika berubah menjadi sesuatu yang berbeda di pandangannya, dirinya terhisap ke dalam, hingga tiba dan terjatuh di atas gumpalan awan putih yang begitu lembut menangkap tubuh jenjangnya.

Tak jauh dari tempat ia jatuh, terdapat sebuah hutan lebat berselimut awan membentang dengan bebatuan terjal sebagai medannya. Dengan langkah pelan dan tak terburu apapun, seorang laki-laki sepertinya, berjalan masuk menembus bagian dalam hutan itu dan menghilang ditelan awan.

Sesaat setelah dirinya berhasil menembus kabut pekat itu, rambut hitam kecoklatannya itu mulai luntur perlahan dan beralih ke warna biru langit dengan bagian belakang panjang menjuntai menyentuh leher. Di penghujung hutan itu terdapat bukit bebatu yang kian terjal, namun kabut pekat itu memudar seiring dengan kemunculan sebuah jalan setapak panjang yang tak menapak tanah. Tak banyak yang menarik dari pulau kecil itu, kecuali dengan areanya yang begitu berkabut. Jembatan setapak selebar satu meter itu terlihat nyaris tak mampu untuk dilewati satu orang. Pemandangan jurang yang begitu mengerikan terbentang di sekeliling jembatan itu, jurang dingin berkabut yang entah di mana dasarnya dan seberapa dalam permukaannya.

Laki-laki itu jadi teringat masa kecilnya yang gemar sekali melakukan aksi kejar-kejaran di atas jembatan ini bersama teman kecilnya, yang tentu saja hal itu berujung pada mereka yang mendapat amukan dari Nix. Oh ya, Nix! Pria kecil itu menyudahi kilas baliknya, kemudian melanjutkan perjalanannya melewati jembatan itu, hingga akhirnya dirinya tiba di sebuah desa kecil di atas awan, negeri dongeng yang selalu muncul dalam angan para makhluk bumi.

"Kau pikir itu lucu? Bagaimana jika makhluk bumi tahu keberadaan kita?!"

"Tak akan ada yang percaya. Lagipula, cepat atau lambat, mereka pasti tahu."

Sang tuan mendengarkan dialog itu dari kejauhan, sebelum akhirnya sosok berambut pirang di antara keduanya menyadari keberadaannya. "Oh, hai Max," sapa perempuan itu sembari menyepak pelan bokong pria yang tadi sempat beradu argumen dengannnya.

Max menggeleng pelan melihat kelakuan wanita muda di hadapannya itu. Alih-alih membalas sapaannya, Max memilih untuk merebahkan tubuhnya di sebuah ayunan kain bermotif bintang yang tergantung di langit-langit teras rumah itu. Nix kemudian berbalik menghampirinya, sembari mengamati laki-laki itu dari ujung kepala hingga ujung kaki.

"Setidaknya kau melepas dulu atribut manusiamu, Max," ujar Nix usai melihat Max yang masih mengenakan kemeja putih dengan dasi abu-abu.

"Bahkan jika aku mempunyai banyak waktu," laki-laki itu mengubah posisinya kembali duduk. "Kau tahu? Portal itu begitu sulit terbuka, dan aku sudah mencobanya sejak kemarin malam, di puncak gunung seperti biasanya,"

Nix menatapnya keheranan. "Lalu, bagaimana kau akan kembali setelah ini? Kau tidak bisa berlama-lama ada di sini,"

Max mengangguk pelan, "Ya, aku hanya butuh beristirahat. Dan juga, mungkin aku bisa menggunakan kekuatan teleportasiku,"

"Memangnya kau mau mendarat di mana? Dunia manusia sekarang sudah padat, dan hampir tidak mungkin untuk berteleportasi di dekat permukiman. Apa kau bisa menjamin bahwa tempat yang sepi tidak akan diketahui manusia?"

"Aku pikir begitu," Max menunduk. "Kekuatan kita belum sebanding dengan para makhluk atas itu. Aku juga tidak yakin kita bisa menggunakan kemampuan tanpa ada masalah,"

"Tapi setidaknya, aku bisa menghentikan waktu untuk mempermudah perjalananku,"

***

"Laki-laki kalau nanyain rentang waktu terus pertanda apa?" Aruna bergumam sembari jemarinya dengan cekatan menekan tiap tombol yang ada di keyboard-nya. Kantong matanya kian menghitam usai semalaman tidak bisa tidur. Berulang kali dirinya mengetik hal yang sama di papan pencarian, namun tak kunjung mendapatkan hasil.

"Pusing gue, pusing!" gadis itu menggeram dengan suara yang menggema di sepanjang ruang tamunya. Tangannya sibuk mengacak-acak rambutnya hingga berantakan. "Apa sih yang dia maksud tiga tahun-tiga tahun itu? Kita? Kita apanya coba?" Ia segera menyambar ponselnya guna mengirim pesan kepada sosok yang dimaksud.

Aruna: ersa, aku mau nanya dong. maksud kamu tentang

Aruna: ersa aku m|

Aruna menggeleng. Dia batalkan niatnya untuk bertanya langsung pada laki-laki itu. Ia kemudian memutuskan merebahkan tubuhnya sendiri di atas sofa hitam tepat di belakangnya, sembari menatap langit-langit, Aruna juga kian memikirkan tentang apa yang sebenarnya Maersa bicarakan.

Bunyi notifikasi di ponselnya membuyarkan lamunannya. Aruna segera mengecek untuk mengetahui dari siapakah pesan itu dikirim.

"Mbokdhe?"

Sosok yang bahkan sudah tidak pernah ia harapkan lagi. Sosok yang pernah diberi amanah untuk menjaga dan merawatnya, yang ia kira bisa menggantikan peran ibu dari kehidupannya, nyatanya malah berbuat hal yang sama dengan ibunya sendiri. Usai menimbang-nimbang beberapa saat antara harus membalasnya atau tidak, Aruna akhirnya memutuskan untuk tetap membuka dan membaca satu baris pesan itu.

Mbokdhe: Nduk.. budhe mau nanya

Mbokdhe: kamu sekarang umur berapa ya?

"Tiba-tiba banget nanyain umur gue?" Aruna mengetukkan jemarinya beberapa kali guna membalas pesan yang tidak jelas tersebut.

Aruna: tahun ini 17

Aruna: kenapa, dhe?

Mbokdhe: Nggak apa. Nduk.. 😊

Mbokdhe: Mamah kamu mau ngomong, tapi

besok aja pas kamu umur 20.

"Apaan coba?" Aruna mengernyitkan dahinya usai membaca sebaris pesan yang menurutnya tidak masuk akal itu. Bahkan dirinya hampir tidak tahu ibunya masih hidup. Ia memutuskan untuk tidak menjawab kembali pesan tersebut, dan melanjutkan aktivitasnya untuk merebahkan diri di atas sofa.

Ponselnya kembali menyala usai sebuah notifikasi masuk dan berbunyi memenuhi layarnya. Dengan berat dirinya kembali bangkit dan mengecek dari mana sumber notifikasi tersebut berasal.

Maersa IPA 4: r u free for tonight?

Aruna menghembuskan napasnya kasar. "Inggris dasar aja gue belum khatam, Er." Perempuan itu langsung membuka kamus terjemahannya untuk menghindari salah translate. Belum sempat dirinya menjawab, satu baris pesan berhasil dikirim kembali oleh laki-laki itu.

Maersa IPA 4: kalau iya, nanti jalan mau nggak?

Entah mengapa Aruna refleks tersenyum membacanya. Ia sendiri pun bingung kenapa merasa begitu senang, dan bersuka hati untuk membalas pesan tersebut.

Aruna: bolehh Er, mau ke mana emang?

Maersa IPA 4: nanti aku jemput, okay?







945 kata, hehe

Selamat membaca!! Maaf ya nggak bisa sering update, minggu kemaren lagi ujian sekolah soalnya, besok juga sih. Doain nilaiku, ya, takut banget nih.

Oh iya, gimme kritsar di kolom komentar dong, jangan lupa vote juga ya!! paipaii

instagram author: pocongmahal__

cr pict from pinterest

Kehilangan [Cover Sementara]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang