SATU

647 34 7
                                    

Ayah gak punya uang. Adik kamu juga harus bayar uang semesteran. Tiga belas juta.

Vanilia menghela napas begitu mendapati balasan pesan dari ayahnya tadi. Pesan itu sudah ia kirimkan sejak tadi pagi dan baru sekarang mendapat jawaban.

Vanilia menggigit bibir dalamnya sambil mengetik pesan balasan lagi untuk pria itu.

Vani cuma minta tiga juta saja, Yah. Lebih sedikit ketimbang tiga belas juta.

Tidak sampai satu menit, tanda centang pada pesan WhatsApp-nya telah berganti  menjadi biru.

Kalau Ayah bilang gak punya, ya, gak. Kuliah adik kamu lebih penting. Dia kuliah kedokteran, kelak akan membantu orang banyak.

Tangan Vanilia meremas kuat ponsel di tangannya begitu baris pesan itu ia baca. Dadanya bergemuruh hebat. Tenggorokannya tercekat, seolah ada sesuatu yang menghalanginya untuk menelan. Lagi-lagi gadis itu menggigit bibir kuat-kuat.

Tapi Vani juga anak Ayah. Anak kandung.

Vanilia mengetik tujuh kata itu dengan perasaan marah dan sedih yang bercampur menjadi satu. Begitu menekan tombol kirim, teko untuk menjerang air berdesis nyaring dan Vanilia segera menaruh ponselnya ke dalam kantong celananya tanpa berniat untuk melihat apakah pesan itu sudah terbaca apa belum. Lebih tepatnya ia belum siap menerima dan membaca pesan balasan dari ayahnya lagi.

"AKHH!!!"

"Van!!! Lo ngelamun, ya?!"

Pekikan Ayana yang baru saja datang dari ruangan sebelah membuat Vanilia yang kini tengah membasuh tangannya di bawah guyuran air mengalir tersentak. Vanilia hanya bisa tertawa rikuh sembari meringis begitu mendapati wajah Ayana yang masam.

Akibat terburu-buru menuangkan air panas ke dalam gelas, tangan Vanilia tidak sengaja terkena air panas. Beruntung tidak melepuh.

"Lo lagi mikirin apa, sih?" tanya Ayana yang sigap mengambil salep pereda nyeri di kotak P3k kemudian menyerahkannya kepada Vanilia.

Vanilia belum menjawab, ia masih sibuk mengolesi tangannya yang kebas dengan obat. "Biasa, Mbak. Lagi mikirin nilai yang belum keluar. Kayaknya semester ini IP gue turun." Vanilia beralasan. Padahal sedari tadi pikirannya berisik bukan karena itu.

Ayana berdecak. "Dasar mahasiswa rajin dan maniak angka." Gadis itu kemudian terkekeh lagi. "Pulang sana! Jam kerja lo sudah habis."

Vanilia menatap jam dinding yang telah menunjukkan pukul sembilan malam. Benar yang dikatakan Ayana.

"Gue pulang duluan, ya, Mbak," tukas Vanilia sambil beranjak menuju ruang ganti untuk meletakkan topi kerjanya. Sebelum keluar dari dapur, ia bisa mendengar suara Ayana yang menyuruhnya hati-hati. Vanilia mengangguk dan berlalu pergi.

Dream Kafe menjadi tempat Vanilia untuk kerja part time. Ia melihat lowongan waitress di laman Instagram kafe tersebut enam bulan  lalu yang membuatnya tertarik untuk bekerja di sana.

Motivasi Vanilia cuma satu. Ia butuh uang tambahan untuk hidup di rantauan, sebab uang bekal yang diberikan ibunya—kalau boleh jujur—sangatlah kurang. Terlebih lagi untuk tahun ini masa berlaku beasiswanya sudah habis karena Vanilia hanya mendapat jatah beasiswa untuk setahun saja dan kebutuhan kuliahnya semakin naik semester semakin banyak.

Tiga puluh menit kemudian Vanilia telah sampai di indekos. Suara tembakan yang terdengar dari kamar sebelah mengurungkan niat Vanilia untuk masuk ke dalam kamar dan memilih untuk melimpir sebentar ke sumber suara.

Love With Benefit ( TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang