Tiga Belas

219 15 0
                                    

Nureka sudah tahu hal ini akan terjadi. Begitu sampai di apartemen, sebuah panggilan masuk dari ayahnya menghentikan langkah Nureka menanggalkan semua pakaian yang dikenakannya malam ini.

Ia berdecak sebentar. Ayahnya memang tipikal orang yang tidak sabaran. Harusnya pria itu menikmati pesta, bukannya mengusik Nureka dengan segala macam pertanyaan menyudut yang sudah pasti jawabannya.

Meski demikian, Nureka tidak punya pilihan lain selain menerima panggilan daripada pria itu mengusiknya hingga tengah malam bahkan hari-hari berikutnya.

"Halo Pa ...," jawab Nureka dengan malas.

"Papa nggak mau tahu, kamu besok harus pulang ke rumah."

Belum sempat menyanggah, panggilan itu sudah diputus secara sepihak. Nureka hanya bisa menghela napas panjang. Hendra-ayahnya masih saja belum berubah.

Sebaiknya Nureka memang harus kembali. Sudah cukup ia menghindar selama ini dan saatnya memperjelas semua.

Tanpa membuang waktu, keesokan harinya, Nureka pulang ke rumah. Ia bahkan rela mengosongkan jam mengajar yang tidak pernah ia lakukan sebelumnya hanya demi urusan tidak berguna ini. Ia tahu kalau baik ayah atau kakeknya akan menggunakan segala cara untuk mengulur waktu agar Nureka tidak cepat angkat kaki dari rumah.

Daripada membuat mahasiswa menunggu lama dengan ketidakpastiannya dalam mengajar, lebih baik Nureka yang mengalah. Anggap saja ini bonus awal semester untuk mereka.

"Mas Reka pulang!"

Begitu Nureka turun dari mobil, tukang kebun yang telah bekerja di rumah selama hampir sepuluh tahun berseru riang. Pria bernama Tarno itu bahkan melempar sapu ke sembarang arah dan berlari menuju Nureka.

Nureka terkekeh, ia melebarkan kedua tangan, lalu disambut dengan pelukan hangat oleh Tarno. Nureka memang seperti ini. Tidak ada batasan bagi dirinya dengan orang-orang yang bekerja di rumah. Pria itu selalu menganggap mereka seperti keluarga sendiri.

"Mas sudah ditunggu Bapak di dalam. Ada Mbak Lidia juga," tukas Tarno begitu pelukan mereka terurai.

Nureka mengangguk. Sebelum keluar dari mobil ia sempat melihat kendaraan Lidia di parkiran. Tidak heran sih, mungkin juga Nureka dipaksa ke sini atas usul gadis itu.

"Saya ke dalam dulu ya." Nureka buru-buru masuk ke dalam. Semakin cepat urusan ini kelar, semakin cepat pula ia angkat kaki dari sini.

"Cucuku tersayang Nureka. Pulang juga kamu akhirnya, Nak!" Utomo-kakeknya tersenyum lebar begitu mendapati langkah Nureka semakin mendekat ke ruang keluarga tempat mereka semua menunggu. Memeluk cucu laki-laki satu-satunya di keluarga Utomo. "Kakek masih kangen sama kamu tadi malam. Setelah peluncuran produk, kamu ke mana? Ngilang lagi?" Suara kekehan terdengar.

Di luar, Utomo terkenal sebagai sosok yang tegas dan berwibawa. Namun, pembawaan itu berubah menjadi Utomo yang hangat dan penyayang di rumah.

"Tugas Nureka kemarin, kan, cuma setor nama, Kakek. Biar semua orang tahu kalau aku masih terdaftar dalam kartu keluarga ini. Bukankah begitu, Pa?" Nureka melirik ayahnya yang kini tengah fokus menatap layar ipad di tangannya tanpa merasa terusik sedikitpun dengan sindirian itu.

Utomo tertawa keras. Suaranya bahkan mengisi seluruh ruang keluarga yang besar ini. "Kamu ya ... sejak jadi dosen, ngelucu terus. Ajarin Kakek, dong. Katanya kalau kita ketawa bisa bikin awet muda," jawab Utomo.

Nureka hanya merespon dengan senyum simpul, tidak membalas candaan itu. Tujuannya ke mari ingin segera membereskan perkara lalu secepat mungkin pergi. Lama berada di sini membuatnya sesak. Rumah ini, bukan lagi rumah yang dulu Nureka kenal. Semua kenangan indah yang pernah terjadi di tempat ini terkikis dan perlahan mulai menghilang setelah kepergian ibunya.

Love With Benefit ( TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang