Delapan Belas

182 15 0
                                    


"Kamu kenapa terlambat?" tanya Nureka. Fokusnya tidak terbelah pada layar laptop. Jemarinya sibuk mengetik di atas keyboard.

Apakah semua dosen seperti ini? Sibuk dengan laptopnya, seolah benda persegi itu seperti kekasih mereka. Pasalnya, beberapa kali bertemu Nureka, Vanilia selalu menjadi orang ketiga.

Vanilia enggan menjawab cepat. Otaknya masih berkonsentrasi penuh pada lembar jawaban di depannya yang ternyata masih kosong. Ia menatap lembar jawaban dan layar proyektor yang menampilkan lima pertanyaan kuis dari Nureka secara bergantian, berharap menemukan secercah jawaban dari otaknya. Namun, belum berhasil. Bola lampu di otaknya tidak menyala. Apakah ini efek dari anggur merah yang ia minum semalam hingga membuat kepalanya konslet?

Sialnya lagi, Budi-teman seperjuangannya telah gugur dalam perang. Maksudnya di sini bukan mati, ya, tapi sudah pergi dari ruangan ini setelah mengerjakan kuis. Iya ... Vanilia menganggap ruangan ini sebagai medan perang.

Budi tu ya, mentang-mentang banget! Vanilia tahu kalau dia cukup ngerti sama materi ini, tapi setidaknya bantuin Vanilia kek sebagai balas budi. Padahal ia sering memberikan laporan praktikum miliknya kepada Budi dan disalinnya mentah-mentah.

Jarak duduk pria itu dengannya kayak zaman Covid-19 dulu, social distancing. Pura-pura nggak kenal dan tuli saat Vanilia bisik-bisik sampai berbuih bibirnya demi meminta jawaban.

"Padahal soal kuis yang saya kasi itu gampang banget. Harusnya dua puluh menit kamu sudah selesai."

Saking sebalnya pada Budi, Vanilia jadi lupa soal kuis itu sendiri. Dia juga lupa kalau di ruangan ini dia gak sendirian. Ada Nureka. Saking pusingnya memikirkan jawaban, ia juga gak sadar kalau Nureka sudah bangkit dari kursinya dan berdiri tepat di depan Vanilia.

Gadis itu mendongak dan mendapati salah satu alisnya naik ke atas. Lengan kemeja hitam pria itu telah dilipat hingga ke siku. Sepertinya warna favorit Nureka hitam, deh. Selama ini Vanilia tidak pernah melihat dosennya itu memakai warna kemeja lain selain hitam. Mungkin beli satu gratis sepuluh. Entahlah.

"Sampai kapan kamu mau kosongin itu kertas, hm? Kamu memang tidak berniat untuk menjawab, ya? Kalau gitu kumpulkan saja sekarang daripada buang-buang waktu!"

"Jangan Pak!!!" cegah Vanilia panik. "Bapak sendiri bilang waktu pengerjaannya empat puluh lima menit. Saya masih punya waktu tiga puluh menit loh, Pak! Saya lagi mikirin jawabannya."

Nureka melipat kedua tangannya di depan dada sembari mengamati Vanilia. Sayangnya, semakin dilihat, Vanilia semakin tertekan. Otaknya semakin buntu.

"Bapak bisa pergi, nggak? Saya harus berkonsentrasi. Semakin cepat saya mengerjakan ini, semakin cepat juga kita pulang." Vanilia melihat ke luar jendela yang berada di sisi kanannya. Hari mulai sore. Koridor dan ruangan lain juga sudah sepi. Mahasiswa sudah tidak lagi ada di kampus kecuali yang memiliki kegiatan lain seperti rapat atau olahraga.

"Bilang saja kalau kamu memang gak tahu jawabannya, pake ngeles lagi." Nureka berjalan ke samping Vanilia. "Kuis ini saya ambil dari semester lalu, Vani. Soalnya juga gampang-gampang. Ini tentang penjabaran Benzena dan turunannya. Kamu masih ingat Benzena, kan?" tanya Nureka. "Coba sebutkan."

Vanilia memberengut. "Masih, Pak! Benzena itu suatu senyawa organik dengan rumus kimi C6H6. Contoh turunannya, fenol, asam salisilat, asam benzoat."

"Ya tulis, dong! Jawabannya nggak bakalan ada di kertas kalau nggak kamu tulis. Memangnya mereka nulis sendiri?" sindir Nureka.

"Kamu itu buang-buang waktu berharga saya. Coba saja kamu nggak terlambat, pasti sekarang saya sudah main golf di lapangan. Kenapa kamu terlambat? Kamu belum balas pertanyaan saya dari tadi." Nureka masih belum berhenti berbicara.

Love With Benefit ( TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang