Dua Puluh

206 11 0
                                    


Begitu sampai di bioskop lantai atas dengan terengah-engah, Vanilia cukup tertegun dengan pemandangan yang tidak jauh darinya. Nureka sedang duduk di ruang tunggu bioskop sembari mengayunkan dua buah tiket ke arahnya.

Vanilia tercenung di tempatnya berdiri sembari menahan napasnya beberapa detik sebelum melangkah mendekati pria itu. Malam ini penampilan Nureka sangat berbeda dari yang pernah Vanilia lihat. Pria itu mengenakan celana berwarna abu tua yang dipadukan dengan baju lengan pendek berkerah berwarna cokelat yang memamerkan otot trisepnya. Sepatu kanvas putih membalut kakinya yang saling menumpu. Ia juga tidak memakai kacamatanya.

Kalau saja Vanilia tidak mengenalnya, Nureka masih terlihat seperti teman-teman mahasiswanya yang lain. Status dosen sama sekali tidak melekat di dalam dirinya. Satu yang bisa Vanilia simpulkan, Nureka begitu tampan, modis dan cool di waktu bersamaan.

Tanpa bisa Vanilia cegah, dirinya tergerak untuk mencium lipatan ketiaknya secara bergantian. Hanya khawatir saja kalau aroma tidak sedap tercium, sebab ia langsung meluncur ke mal sepulang kuliah tanpa mandi terlebih dahulu di kos. Jemarinya ia gunakan untuk menyisir rambutnya kembali. Tidak lupa juga ia merapikan kemejanya yang mencuat.

Pandangan gadis itu menyapu ke sekelilingnya. Terlihat beberapa pasangan muda yang tengah mengantri membeli tiket. Ada juga duduk di ruang tunggu sembari menikmati popcornnya. Vanilia menelan ludah. Jika diliha-lihat, ia dan Nureka pasti akan terlihat seperti pasangan itu.

"Kamu ngapain berdiri terus di sini?" Suara Nureka menyentak Vanilia dari lamunannya. Aroma musk yang menguar dari tubuh pria itu menggelitik perut Vanilia.

"Eung ... saya nyariin posisi Bapak dari tadi," dustanya. Padahal sedari tadi Vanilia menyiapkan mentalnya.

Nureka berdecak. "Ya sudah ayo kita ke dalam. Filmnya bakalan mulai sebentar lagi."

Tanpa aba-aba, Nureka lantas menarik dan menggenggam tangan Vanilia yang membuat gadis itu terkejut. Namun, ia tetap membiarkan Nureka melakukannya. Selain karena tidak ingin membuat kekacauan di depan umum, ini juga bentuk dari perjanjian kerja sama mereka walaupun dengan perlakuan pura-pura ini Vanilia merasakan seolah dituntun dan dilindungi.

Jika Nureka berjalan dengan langkah tegap dan berani, Vanilia sebaliknya. Ia berjalan sembari menundukkan kepala karena malu dilihat oleh pengunjung lain. Mungkin mereka semua berpikir kalau sekarang yang digandeng Nureka itu adalah upik abu.

Sensasi dingin langsung menyentuh kulit Vanilia begitu masuk ke dalam ruang bioskop. Tidak seperti bioskop yang sering ia kunjungi bersama Theo dulu yang penuh sesak, kini cenderung sepi dan lengang.

Tunggu dulu? Vanilia celinguk sana celinguk sini. Jumlah kursi dan posisi kursinya pun tidak sama.

"Ini bioskop premiere, Pak?" tebak Vanilia dengan suara heboh. Detik berikutnya ia langsung menutup mulut dengan bibirnya. Tangan yang tadi digenggam Nureka telah terlepas.

Salah satu alis Nureka tertarik ke atas. "Sudah tahu kenapa masih bertanya?"

Vanilia meringis. Sejak tadi, kan, dia berjalan menunduk terus, mana sempat melihat tulisan studionya. Selain itu karcisnya kan dibawa Nureka.

"Saya sengaja memesan di studio ini biar kamunya nyaman. Kamu takut ketahuan, kan? Saya sih gak masalah kalau ketahuan."

Mereka duduk di kursi yang letaknya di baris nomor lima dari bawah. Begitu duduk di kursi yang empuk itu, Vanilia seperti melayang saking enaknya. Selain itu, kursinya yang panjang bisa buat selonjoran kaki. Ada bantal dan selimut juga. Di bawah kursi juga terdapat tombol yang gunanya untuk mengatur tinggi rendahnya posisi kepala dan kaki. Vanilia langsung memposisikan diri di atas kursi berwarna cokelat tersebut. Matanya merem melek. Kalau sudah seperti ini, nonton film selama lima jam mah asik-asik aja.

Love With Benefit ( TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang