Lima

265 19 0
                                    


Vanilia bergegas keluar dari kafe setelah jam kerjanya berakhir menuju restoran yang letak bersebrangan dengan Dream kafe untuk menemui Nureka. Beberapa jam yang lalu pria itu meminta Vanilia untuk bicara sebentar dengannya di luar soal makalah yang dibuatnya tempo hari setelah jam kerjanya berakhir. Rupanya pria itu cukup sadar untuk tidak menganggu Vanilia saat bekerja.

Begitu menginjakkan kaki di restoran tersebut, Vanilia sontak melirik pakaian yang ia kenakan dari atas hingga bawah. Celana denim pudar serta kemeja biru dongker lengan pendeknya sukses membuatnya terlihat seperti gembel di barisan tamu yang tengah menikmati makanan mereka. Terlebih lagi rambutnya yang diikat sembarang serta wajahnya tanpa sapuan make up membuat Vanilia terlihat pucat.

"Anda mau mencari siapa?"

Vanilia langsung menelan ludah begitu security menghampirinya. Mungkin pria itu menganggapnya tukang minta-minta, kali, ya?

"Eung ... itu ... saya mau mencari Pak—"

"Vanilia!"

Suara Nureka yang berat dan lantang membuat Vanilia menoleh ke sumber suara. Nureka melambai ke arahnya. Pria itu tengah mengerjakan sesuatu di laptopnya.

Seolah mengerti, security berbadan besar dan memiliki tato ukir-ukiran yang tidak jelas bentuknya—menurut Vanilia di lengannya itu mengangguk dan mempersilahkan Vanilia untuk masuk.

Dada Vanilia berdebar kencang begitu dekat dengan meja Nureka. Saking gugupnya, ia mengeratkan genggamannya pada tali tote bag di pundaknya.

"Duduk!" perintah Nureka yang masih fokus mengetik di keyboard laptopnya tanpa mengalihkan perhatian.

Saking gugupnya Vanilia jadi nggak banyak tingkah, ia menjatuhkan bokongnya di kursi berbantal empuk di depan Nureka.

"Mau pesan apa?" tanya Nureka. Pria itu akhirnya mendongak sembari tersenyum simpul ke arah Vanilia.

"Pesan minum saja deh, Pak,"tukas Vanilia. Semenjak pria di depannya itu meminta bertemu untuk membicarakan makalahnya, seketika nafsu makan Vanilia menguap entah ke mana. Di pikiran gadis itu hanya penuh berisi tentang tugas perbaikannya. Vanilia berharap tidak ada revisi lagi. Saat ini hidupnya sudah banyak masalah.

Nureka terkekeh. Ia menopang dagu dengan salah satu tangannya sedangkan tangan yang lain sibuk meng-klik mouse. "Masa ke restoran mahal seperti ini kamu hanya pesan minum saja, sih? Jangan lewatkan kesempatan emas ini, loh! Saya tahu kamu lapar. Tenang! Saya yang bayar."

Sebelum menjawab,Vanilia sempat menelisik penampilan dosennya itu. Lengan kemeja hitamnya telah digulung hingga ke siku dan memperlihatkan tangannya yang cukup kekar. Vanilia berasumsi kalau Nureka pasti senang olahraga.

Rambut hitamnya sudah berantakan, tidak seperti yang sering Vanilia lihat saat di kampus. Kancing atas kemejanya pun sudah di lepas. Mungkin karena gerah.

"Nggak, Pak. Saya nggak lapar, minum saja cu—"

Nureka sontak tertawa begitu mendengar suara yang dihasilkan oleh perut Vanilia hingga membuat gadis itu meringis malu. Harusnya ia jujur saja daripada menahan gengsi.

Tangan Nureka mengacung ke udara memanggil salah satu waiter untuk memesan makanan. Waiter datang dengan satu buku menu dan menyerahkannya kepada Nureka.

"Saya pesan steik dua dan orange jus juga dua."

Sepertinya Nureka memesan makanan dan minuman yang normal untuk lidah Vanilia. Meskipun demikian Vanilia yakin harganya jauh dari kata normal untuk ukuran kantong mahasiswa seperti dirinya.

Love With Benefit ( TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang