Ketiga

269 19 0
                                    

Salah satu hal yang paling Vanilia benci di dunia ini adalah perselingkuhan. Masih segar di ingatannya ketika melihat percekcokan kedua orang tuanya saat ibunya memergoki ayahnya selingkuh. Bahkan yang lebih sakit hati ayahnya malah membela wanita selingkuhannya lalu pergi meninggalkan rumah, istri sah serta anaknya.

Seberapa keras pun Vanilia berusaha untuk menghapus kenangan itu dari pikiran dan hatinya, tetap saja tidak bisa. Kenangan itu seolah melekat kuat menjadi sebuah duri lalu menancap kuat di tubuhnya.

Apakah ini yang namanya karma?

Anak perempuan akan menanggung semua perbuatan ayahnya. Itu quote yang selalu Vanilia baca di internet. Apakah ini termasuk karma yang harus Vanilia tanggung atas perlakuan bejat ayahnya?

Entahlah ....

Vanilia tidak tahu. Lebih tepatnya ia terlalu takut menerima kenyataan kalau karma itu benar adanya.

Dada Vanilia rasanya mau meledak saat ia memutuskan untuk berlari sekencang mungkin menuju kantin fakultas Teknik setelah melihat foto yang dikirimkan Nila kepadanya beberapa saat yang lalu.

Foto yang memperlihatkan Theo—kekasihnya sedang bermesraan dengan perempuan lain.

Awalnya Vanilia tidak percaya dengan yang ia lihat. Pikiran positifnya mencoba menuntun kalau Theo mungkin sedang bercanda dengan teman perempuannya. Selama pacaran, Vanilia memang tidak pernah membatasi pria itu untuk bergaul dengan siapa saja. Namun, perlakuan Theo kepada wanita itu jelas tidak mencerminkan hubungan pertemanan melainkan lebih dari itu.

"THEO!!!" Vanilia berteriak kencang ketika dirinya telah sampai di kantin. Ia tidak perduli dengan napasnya yang masih terengah-engah. Ia juga tidak perduli apakah karma itu ada atau tidak. Yang perlu Vanilia lakukan saat ini yakni memberikan pelajaran kepada pria itu.

Semua mahasiswa yang berada di kantin tersebut sontak melihat ke arah Vanilia. Nila yang duduk di bangku pojok, yang betugas sebagai mata-mata tadi juga melakukan hal yang sama.

Theo—laki-laki yang kini menjadi pusat perhatian terbelalak begitu mendapati Vanilia berdiri tidak jauh darinya. Tubuhnya sontak menegang dan kehilangan arah seperti cacing kepanasan yang ingin mencari lobang untuk menyembunyikan diri.

Amarah di dalam tubuh Vanilia telah mendidih. Ia berjalan dengan langkah lebar agar lekas sampai ke meja Theo.

Begitu sampai di meja kantin yang ditempati Theo, tanpa aba-aba tangan Vanilia langsung mengguyur wajah pria itu dengan es teh di depannya. Persetan milik siapa, Vanilia tidak peduli.

"Apa-apaan lo, hah!!!" teriak Theo tidak terima dengan perlakuan Vanilia tadi.

"Gue yang harusnya nanya kayak gitu! Lo ngapain di sini sama cewek ini—" tatapan tajam Vanilia beralih menuju gadis yang duduk di samping Theo. Ia tampak ketakutan. Vanilia menerka kalau gadis itu mahasiswi semester awal. Penampilannya masih polos.

Vanilia sontak berdecak. "Dia siapa?" tanyanya dengan suara tertahan. Mencoba bersabar meski iblis di dalam diri sudah bersiap untuk perang.

"Dia adik kelas gue. Gue cuma mau nolongin dia untuk buat tugas," tukas Theo agak gelagapan. "Lo jangan salah sangka dulu, Sayang. Kami gak ada apa-apa."

"Beneran yang dibilang Theo?" tanya Vanilia, masih mencoba untuk bertingkah sebagai gadis manis.

Gadis yang Theo sebut sebagai adik kelas langsung menundukkan kepalanya. Ia terlalu takut menatap mata Vanilia.

Vanilia lantas tertawa. Ia bukan menertawakan hal yang lucu, melainkan menertawakan sikap Theo yang masih saja mencoba berkelit.

Vanilia lantas merogoh tote bag-nya mengambil ponsel lalu membuka foto dan video yang dikirimkan Nila barusan dan meletakkan benda pipih itu di atas meja. Tangan lentik Vanilia menekan tombol play dan video pun berputar.

Love With Benefit ( TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang