"Shit."
Junghwan berjalan lurus ke arah meja jaga yang mendadak ramai, menarik pergelangan tangan Ibunya yang entah sejak kapan ada di sana. Dirinya tidak menyangka bahwa menghindar dari semua ocehan keluarga dan pergi merantau ke Ibukota tidak semerta membuatnya bebas dari kejadian memalukan.
"Muncul juga kamu ya, berhari-hari kamu gak angkat semua telfon Ibu!"
"Jangan di sini." Balas Junghwan dengan suara pelan, ia lantas membawa Ibunya menjauh dari keramaian.
"Terus di mana? Biarin mereka semua tau gimana kelakuan buruk kamu ke orang tua!"
Kepala Junghwan pening dibuatnya, setelah melempar senyum canggung ke semua karyawan yang ada, Junghwan terpaksa menyeret Ibunya untuk berjalan ke ruang rawat yang kebetulan kosong di ujung lorong.
"Ibu ngapain sih?" Omel Junghwan, kesabaran yang ia kumpulkan saat berjalan meninggalkan Doyoung sendirian seakan menguar entah kemana, menyisakan anak laki-laki yang kini sudah kehilangan wajah di tempat kerja.
Ibunya memang tidak pernah mampu menjadi sosok yang Junghwan jadikan panutan.
"Kenapa kamu gak balas semua pesan Ibu? Telfon juga gak pernah diangkat."
"Ya aku sibuk kerja? Lagian aku rutin kirim uang." Protes Junghwan tidak terima, ia kira uang sudah cukup untuk membuat Ibunya diam dan menurut.
"Bahkan kamu gak pulang ke Gangwon buat jemput Ayahmu yang baru keluar dari penjara?"
Napas Junghwan tercekat, memori bersama Ayahnya belasan tahun lalu mendadak masuk ke ingatan. Jauh sebelum keluarganya berantakan, jauh sebelum kejadian naas menimpa keluarga yang Ayahnya tabrak hingga meninggal secara berurutan.
"Ayah udah bebas?"
Ibunya mengangguk, "Masa hukumannya udah abis dan Ayahmu ada di rumah sekarang."
Entah Junghwan harus bereaksi apa dengan fakta yang baru ia dengar, haruskah ia senang? Bahagia karena kini Ayahnya sudah ada di rumah dan dapat berkumpul bersama? Tapi bagaimana dengan keluarga yang meninggal karena ulahnya?
Junghwan bahkan masih ingat dengan jelas, bungsu yang selamat dan dirawat di rumah sakit selama berminggu-minggu walau berujung menyusul orang tua dan kakak laki-lakinya, itu tepat di hari ulang tahunnya. Meninggalkan Junghwan dengan janji yang sempat ia ucap namun untungnya berhasil ia tepati, walau harus mengorbankan banyak hal termasuk masa mudanya untuk bermain dengan teman seusia.
Tapi tidak apa, Junghwan anggap itu adalah bayaran yang harus ia terima atas dosa Ayahnya.
"Nanti aku pulang." Ucap Junghwan pada akhirnya.
"Kapan?"
"Aku harus kerja sampai satu tahun dulu di sini baru bisa ambil cuti."
"Lagian kenapa sih kamu cari kerja di tempat yang jauh kayak gini?"
Andai Ibunya tahu itu semua karena ulahnya, karena Junghwan ingin menghindar darinya, sebab Junghwan muak selalu dimarahi dan dituntut untuk melakukan hal yang tidak ia sukai.
"Karena gaji di sini jauh lebih besar daripada di Gangwon." Jawabnya, "Lagian rumor soal anak narapidana udah tersebar luas di sana, aku pasti bakal susah dapet kerja." Lanjutnya, ia tidak ingin terus-terusan menjadi pihak yang disalahkan, setidaknya Ibunya juga harus tahu hal-hal yang menyulitkan Junghwan.
Berhasil, ucapan Junghwan berhasil membuat Ibunya diam.
Perempuan paruh baya itu akhirnya pulang, dengan uang tunai yang Junghwan beri sebagai bekal agar ia tidak lagi bertindak aneh. Junghwan mengantarnya sampai depan gerbang, memanggil taksi dan langsung mengarahkannya ke terminal terdekat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Metà [Hwanbby] ✔
FanficWhen vampire!Doyoung met an ordinary human, So Junghwan. Metà (n.) - my other half.