Ghava perlahan membuka mata dan merasakan cahaya terang menusuk penglihatan. Lelaki itu mengerjap pelan, berusaha mengumpulkan sepenuhnya kesadaran. Setelah benar-benar memindai situasi sekitar, Ghava menyadari dirinya berada di tempat asing. Ia berubah panik.
"Hah, ini di mana?" gumam Ghava dengan suaranya yang masih lemah. Ia terkejut saat melihat seseorang menelungkupkan wajah di sisi ranjang. Susah payah, Ghava mencoba membangunkan tubuh. Ia bingung ketika melihat jarum infus tertancap di punggung tangannya.
"Kabur, gue harus kabur." Ghava melepaskan dengan paksa infus di tangannya dan meringis kesakitan. Ia sesekali melirik orang yang tampak tertidur dengan posisi duduk itu, berharap aksinya tidak ketahuan.
Setelah berhasil melepaskan infus, Ghava turun dari ranjang. Namun karena tubuhnya masih lemas, lelaki itu terjatuh bahkan sebelum memulai langkah. Ghava panik melihat darah yang mengalir dari luka bekas infusnya. Ia mengusap-usap cairan merah itu, mengelapkannya pada baju pasien yang ia kenakan. Anak itu mulai menangis ketakutan.
Suara bedebum yang cukup keras membuat Satya terjaga dari tidurnya yang tak begitu lelap. Ia terbelalak ketika tak mendapati keberadaan putranya di atas ranjang.
"Ghava? Gav---astaga, Ghava!" Satya langsung menghampiri Ghava saat melihat anak itu terduduk di lantai dan menangis sembari mencoba menghapus darah di tangannya.
Satya bersimpuh di depan putranya dan meraih tubuh Ghava, tetapi ia dikejutkan dengan Ghava yang tiba-tiba berteriak dan memundurkan tubuh untuk menghindarinya.
"J-jangan ... jangan apa-apain saya! T-tolong, jangan!" Ghava terisak dengan jantung yang berdentum sangat kuat. Napas anak itu tersengal, keringat telah membanjiri wajahnya. Ghava memandang seseorang di hadapannya dengan perasaan takut. Suasana yang ia lihat sebelumnya kini berubah dalam sekejap. Dalam pandangannya, ia merasa berada di sebuah ruangan gelap bersama orang jahat yang mengintimidasinya.
"Ghava, kamu kenapa? Ini Ayah, Nak." Satya kembali mendekati Ghava, cemas melihat anak itu yang gemetaran dan menangis tersedu-sedu.
"PERGI! Jangan ganggu saya! Jangan ... j-jangan bunuh saya." Ghava histeris saat orang yang dianggapnya berbahaya itu tiba-tiba mendekap tubuhnya. Ia memukul-mukul Satya, berusaha melepaskan diri. "LEPASIN! SAKIT, LEPASIN!"
Mendengar putranya mengeluh sakit, Satya sontak melepas pelukannya. Ia menangkup wajah Ghava, berusaha memberi pengertian pada anak itu. "Ghava ... hey, ini Ayah! Bukan orang jahat. Lihat baik-baik, ini Ayah. Tenang, nggak ada orang jahat di sini."
Ghava menatap sepasang netra Satya dan mulai menyadari bahwa itu ayahnya. Bukan orang jahat seperti dalam pandangannya beberapa saat lalu. "A-ayah? Ayah ... ini bener Ayah kan?" Ghava memfokuskan pandangannya, menyentuh wajah sang ayah untuk meyakinkan diri.
"Iya, ini Ayah. Jangan takut, ada Ayah di sini. Nggak ada orang jahat."
Setelah yakin jika itu ayahnya, Ghava lekas meraih tangan Satya untuk ia genggam. "Ayah ... Ayah, ayo kita kabur. Kita harus kabur, orang itu mau bunuh kita. Ayo, Ayah!" Ghava berusaha untuk berdiri dengan masih menggenggam erat tangan ayahnya.
Satya kembali mencoba untuk menenangkan Ghava, tetapi anaknya itu terlihat sangat gelisah dan ketakutan. Akhirnya Satya menuruti Ghava yang menggandengnya menuju pintu keluar.
Namun sesaat setelah membuka pintu, Ghava berteriak sebab mendapati kedatangan orang asing dari arah luar. Anak itu jatuh terduduk dan merangkak menjauh dengan isak tangis yang terdengar jelas.
"TOLONG! ADA ORANG JAHAT. T-TOLONG ... TOLONGIN GHAVA." Ghava histeris sembari terus memundurkan tubuh hingga berhenti di sudut ruangan.
Seorang perawat yang hendak mengecek kondisi Ghava dibuat bingung dengan sikap Ghava pada dirinya. Ia mendekati anak itu, tetapi tubuhnya didorong keras oleh Ghava. Satya yang melihatnya langsung mencoba menenangkan Ghava.
KAMU SEDANG MEMBACA
How to Say "Goodbye"?✔️
Teen Fiction[Brothership/Sicklit/Slice of Life] ● Prekuel dari Se(lara)s ● ⚠️mental illness, suicidal tought, crime, violence ● Trigger Warning: Beberapa konten dalam cerita ini mungkin dapat memicu emosional Anda tentang pengalaman traumatis. So, be wise *** G...