Ghava terbangun di sebuah tempat yang begitu asing. Ia menatap sekeliling yang merupakan hamparan rerumputan dihiasi bunga-bunga indah. Langit di atasnya biru cemerlang, sesekali terlihat burung dan kupu-kupu yang berterbangan ria. Ghava mengubah posisi menjadi duduk. Ia memandang sekeliling dengan tatapan bingung.
"Ghava?"
Ghava menoleh ke belakang. Ia terkejut melihat sosok Ghazy. Wajah adiknya terlihat berseri dengan pakaian putih bersih. Senyumnya begitu manis, senyum yang Ghava rindukan setiap saat. Ghava buru-buru berdiri, lantas mendekati saudara kembarnya yang sangat ia rindukan.
"Ghazy? Zy? Ini beneran kamu, Zy?" Ghava meraih kedua bahu Ghazy, kemudian menatapnya dari puncak kepala hingga ujung kaki.
"Emangnya siapa lagi? Aku beneran Ghazy, Va. Kamu nggak lupa kan sama mukaku?"
Ghava sontak saja menggeleng. Ia rasanya sangat senang sampai matanya berkaca-kaca. Sedetik kemudian, ia memeluk tubuh adiknya dengan begitu erat. Segala kerinduan yang bersemayam dalam dada, ia tumpahkan dalam dekap hangat itu.
"Zy, aku kangen banget sama kamu. Aku kangen banget. Kamu nggak papa, kan? Kamu tidurnya nggak kesepian, kan? Aku takut banget. Kamu nggak bisa tidur di tempat gelap, aku takutnya kamu nggak bisa sendirian."
Ghazy mengusap punggung Ghava ketika mendengar isakan lirih. "Enggak gelap kok, Va. Sekarang udah terang rumahku. Nggak sendirian juga, banyak yang jagain. Jangan khawatir, ya?"
Ghava melepas pelukannya dengan Ghazy. Kini ia pandangi betul-betul paras nan cerah bersih di hadapannya. Jemarinya meraba wajah itu, sampai Ghava yakin jika itu benarlah adiknya. Air mata Ghava sudah berjatuhan, ia sangat bersyukur bisa dipertemukan dengan Ghazy lagi.
"Mau kuajakin jalan-jalan nggak, Va?"
Ghava mengangguk. Ia kemudian berjalan bersisian dengan Ghazy, menyusuri setapak dengan rimbunnya pohon dan bunga di sepanjang tepian. Ghava masih takjub pada tempat ini. Begitu tenang dan sejuk, dibuai oleh riuh merdu aliran sumber air. Bahkan di begitu banyaknya negara yang pernah ia kunjungi, tak pernah ia temukan yang seindah ini.
"Ini rumahku yang sekarang, Va. Cantik, kan? Jadi kamu nggak usah khawatirin aku. Aku seneng kok di sini."
"Kamu baik-baik aja, Zy? Nggak sakit, kan? Di sini nggak dingin juga, kan? Kamu pasti sedih di sini nggak ada Ibu, biasanya Ibu yang nyiapin semuanya."
"Semuanya udah ada di sini, Va. Aku juga nggak sedih, kok. Aku udah bahagia di sini, jadi kamu juga harus bahagia. Kamu harus lanjutin kehidupan kamu dan harus banyak senyum lagi."
"Tapi kalo nggak ada kamu semuanya jadi berat, Zy."
"Kan masih ada Ayah sama Ibu. Kamu juga jangan suka nyalahin diri sendiri lagi, soalnya kamu tuh nggak pernah salah apa-apa. Kamu harus selalu bahagia pokoknya. Ayah Ibu pasti kangen lihat kamu yang ceria. Kasih lihat itu ke mereka ya, Va, soalnya aku udah enggak bisa."
Ghava tersenyum, hatinya terasa menghangat. Ia mengangguk, akan berusaha menuruti apa pun keinginan adiknya. "Iya, Zy, aku pasti bakal bahagiain Ayah sama Ibu. Aku juga bakal bikin mereka bangga. Aku nggak akan sedih-sedih terus."
Ghazy menghentikan langkahnya. Ia mengangkat jari kelingking di depan Ghava. "Janji ya, Va?"
Ghava menautkan kelingkingnya dengan milik Ghazy. "Aku janji, Zy. Pelan-pelan, ya? Aku bakal coba buat nggak sedih terus."
Ghazy tersenyum semakin lebar. Ia kemudian memeluk Ghava dengan lembut. Sementara Ghava merasa hatinya begitu tenang. Teringat ia pada setiap peluk yang adiknya beri, di setiap kali dirinya dalam keadaan terpuruk. Kini pun Ghazy datang, memberinya dekap hangat yang membuat belenggu sesak dalam hatinya terurai.
KAMU SEDANG MEMBACA
How to Say "Goodbye"?✔️
Novela Juvenil[Brothership/Sicklit/Slice of Life] ● Prekuel dari Se(lara)s ● ⚠️mental illness, suicidal tought, crime, violence ● Trigger Warning: Beberapa konten dalam cerita ini mungkin dapat memicu emosional Anda tentang pengalaman traumatis. So, be wise *** G...