25-Rimbunnya Kata Maaf

844 119 33
                                    

Sirine ambulans berbunyi ribut sepanjang jalan menuju rumah sakit. Di dalamnya, seorang ayah tengah berusaha tegar meski hatinya hancur lebur. Satya terus menatap wajah anaknya yang kian memucat. Tangannya tak henti mengusap rambut Ghava yang basah oleh keringat, memohon pada anak itu untuk bertahan.

Ghava terus mengalami penurunan kesadaran. Kedua mata anak itu terbuka segaris, menatap ayahnya yang berlinang air mata. Bibirnya yang tertutup masker oksigen ingin mengucapkan sesuatu, tetapi suaranya tak mampu keluar sedikitpun. Semua sakit yang menyerang tubuh mulai terasa menyiksa dan Ghava rasanya tak tahan lagi.

"Kuat ya, Nak. Ayah minta maaf udah bikin Ghava sakit. Tapi tolong kali ini Ghava harus bertahan, ya?" Satya berusaha tersenyum pada Ghava ketika anak itu seolah ingin mengatakan sesuatu. Tatapan sayu sang putra benar-benar membuatnya hancur.

Noda darah pada pakaiannya juga Ghava, mengingatkan Satya pada kejadian dulu. Ia masih ingat betul bagaimana cairan merah itu tercecer di nyaris sekujur tubuh Ghazy. Ia berusaha keras menghentikan pendarahan yang terjadi, meski itu ternyata percuma. Ia bahkan nyaris putus asa dan hanya memeluk tubuh Ghazy sepanjang jalan menuju rumah sakit. Sampai akhirnya, ia harus menerima fakta jika Ghazy tak dapat tertolong.

Kini, Satya pun memiliki ketakutan yang sama. Tak pernah terbesit dalam benaknya jika Ghava akan melakukan hal nekat seperti tadi. Ia merasa bersalah karena tak tanggap pada kondisi anak itu.

Begitu ambulans sampai di depan IGD, petugas medis langsung memindahkan tubuh Ghava. Brankar didorong cepat menuju ruang tindakan, dan Satya mengikutinya dengan langkah tak kalah cepat. Ia terus memanggil Ghava yang kini matanya sudah tertutup sempurna.

"Mohon tunggu di luar dan silakan melakukan pendaftaran pasien lebih dulu, Pak."

Satya tidak diperbolehkan masuk dan pria itu akhirnya hanya dapat berpegang pada doa. Sekujur tubuhnya terasa lemas, bahkan debar jantungnya masih tak terkontrol. Ia rasanya tak dapat tenang sama sekali.

Pria itu mendudukan tubuhnya di kursi tunggu. Tangannya yang gemetaran kini penuh noda darah yang sebagian telah mengering. Satya berusaha mengembalikan kewarasannya dengan menarik napas panjang berkali-kali. Bait-bait doa tak luput ia panjatkan, berharap Tuhan masih sudi menitipkan Ghava pada dirinya.

Beberapa waktu kemudian, Tari datang bersama Jev. Wanita itu tak kalah kacau. Bahkan jika tak berusaha menguatkan diri, mungkin ia sudah pingsan sejak melihat anaknya berusaha mengakhiri hidup. Penyesalan yang tertumpuk terus mengikuti setiap langkahnya. Tari tak henti membodoh-bodohkan dirinya sendiri.

"Mas ...." Tari mendekati Satya yang terduduk di kursi tunggu. "Mas, g-gimana Ghava? Dia nggak papa, kan? D-dia masih ada sama kita, kan?"

"Kamu nggak lihat darah di tangan dan bajuku? Ini darah anak kamu dan bisa-bisanya kamu tanya apa dia nggak papa?! Mikir kamu!" Satya rasanya ingin sekali marah. Pria itu berdiri, memandang istrinya dengan tatapan kecewa yang begitu kentara.

"A-aku ... aku minta maaf. Aku bener-bener minta maaf, Mas. Aku nggak tau kalau Ghava bakal lihat surat gugatan itu."

"Kalau dari awal kamu nggak bawa surat itu ke rumah, semuanya nggak akan kayak gini! Sekarang kalau udah kejadian begini kita harus gimana? Apa sedikit aja, kamu nggak ngerasa kasihan sama anak kamu? Sedikit aja apa nggak ada kewaspadaan kamu sebagai ibunya Ghava? Kamu sebenernya punya pikiran apa enggak?!"

"Bang, udah, Bang. Tahan emosi Abang, ini di rumah sakit." Jev berusaha menengahi perdebatan Satya dan Tari. Mereka terlihat sedang sama-sama berantakan. Jika dibiarkan, sudah pasti emosi mereka akan menjadi bola api liar yang semakin membakar suasana.

"Mas, aku khilaf, Mas. Aku bener-bener minta maaf. Aku salah, aku ibu yang jahat. Aku salah, Mas." Tari terduduk dan menangis tersedu-sedu. Melihat Satya sampai semarah ini, ia sadar jika perbuatannya sudah sangat di luar batas toleransi pria itu.

How to Say "Goodbye"?✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang