01-Kembara Kembar Nakal

4.6K 240 43
                                    

⚠️Silakan baca dulu deskripsi cerita ini sebelum memutuskan untuk membaca⚠️

****

Akhir-akhir ini, cuaca sedang tidak bisa diprediksi. Meskipun pagi matahari bersinar cerah, tidak menutup kemungkinan jika sore akan turun hujan. Sama seperti julukannya sebagai Kota Hujan, Bogor seperti sudah bersahabat dengan luncuran air dari awan.

Sore ini, titik-titik air hujan mulai turun. Namun, hal itu tak membuat anak-anak di lapangan sekolah menyudahi kegiatan mereka yang tengah bermain bola. Justru semakin lincah, seolah air hujan mengalirkan buih semangat ke sekujur tubuh mereka.

"Oper ke aku, Va!" teriak seorang lelaki berusia 14 tahun yang berlari gesit di tengah lapangan. Meski sekujur tubuh telah basah, ia seolah tak merasakan dingin.

Setelah kakinya menerima umpan bola dari saudara kembarnya, ia menendang bola itu hingga berhasil membobol gawang lawan. Sorakan gembira terudara darinya dan kawan satu tim. Namun, tawanya mereda saat Ghava mendekatinya dan mengajak pulang.

"Ayo pulang, Zy. Ntar Ibu marah kalo lihat kita basah-basahan gini," ucap Ghava selagi mengusap wajahnya yang terguyur hujan.

"Lima menit deh. Lima menit lagi. Ya?" Ghazy sudah hendak berlari mengejar bola, tetapi gerakannya ditahan oleh Ghava. Lelaki yang lebih tua lima menit darinya itu membawa ia berlari ke tepi lapangan. Mereka menuju sebuah koridor kelas, di mana tas mereka teronggok di sana.

"Mau ganti dulu nggak?" tanya Ghava selagi memeras ujung kaus olahraganya yang super basah. Ia menatap Ghazy yang tampak mulai menggigil kedinginan.

"Tuh kan, kalo neduh malah tambah dingin, Va. Ayolah kita pulang hujan-hujanan aja. Bukunya tinggal di kelas," ucap Ghazy selagi mengusap-usap lengan.

"Ntar kamu sakit, Zy. Lagian kita udah dijemput sama Pak Hasan. Kamu ganti pakai seragamku nih, tadi punyamu kotor kan kena kuah soto?" Ghava mengambil seragam putih birunya dari dalam tas, kemudian menyerahkan pada adik selang lima menitnya itu.

"Nggak usah, ah. Kalo kamu nggak ganti, aku juga enggak. Biar kalo sakit, sakit bareng aja sekalian."

"Zy ...." Ghava tak suka dengan ucapan Ghazy. Namun melihat wajah adiknya yang sudah pucat dan kedinginan, akhirnya Ghava mengalah. Ia tak ingin mengulur waktu pulang dengan berdebat masalah ini. Lelaki itu pun kembali mengemasi barang-barangnya.

Ghava dan Ghazy kemudian berlari menuju area penjemputan. Mereka memasuki mobil, tak peduli jika air yang menetes dari pakaian akan mengotori mobil.

"Astagaaaa, kok pada basah gini, Den? Kenapa nggak bilang saya buat nyusulin pake payung? Aduh, bisa-bisa saya dimarahin sama Ibu." Pak Hasan, sopir pribadi dua anak itu mulai khawatir. Padahal beberapa waktu lalu, mereka bilang padanya untuk menunggu karena ada les tambahan bersama guru. Namun melihat betapa basah kuyupnya kedua anak itu, Pak Hasan sadar jika ia telah dibohongi. Kalau saja tahu, sudah dari tadi ia akan memaksa mereka pulang.

"Ayo, Pak, pulang. Dingin banget ini," desak Ghazy yang semakin menggigil dengan gigi bergemeletuk. Dibanding Ghava, ia memang lebih tak tahan dengan dingin. Bahkan jari-jarinya mulai mengeriput karena lama terkena air.

Ghava mengambil lagi seragamnya dari dalam tas. Ia tak tega melihat Ghazy kedinginan seperti itu. "Pake, Zy, jangan ngeyel! Nggak mau sakit, 'kan?"

Melihat Ghava yang sudah menunjukkan raut kesalnya, akhirnya Ghazy menerima seragam putih yang Ghava sodorkan. Ia lantas mengganti pakaiannya yang basah, hanya pakaian atas saja.

Butuh waktu sekitar 15 menit hingga mobil yang mereka tumpangi sampai di rumah. Ghava dan Ghazy buru-buru keluar dan masuk lewat pintu samping yang terhubung dengan dapur. Mereka mengendap-endap, tak ingin jika Tari---ibu mereka---akan mendapati mereka kembali melakukan kenakalan.

How to Say "Goodbye"?✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang