21-Balas Dendam

748 122 68
                                    

Ghava tidak sadar jika ia sudah begitu banyak bercerita pada Dokter Kama. Ia tidak tahu, apa yang dimiliki pria itu hingga dirinya selalu dapat terbuka. Sadar-sadar, ia merasa lelah karena menangis sepanjang menceritakan isi hatinya. Tapi Ghava masih bisa mencerna setiap masukan yang diberikan oleh Dokter Kama.

"Udah aja ya, Dok? Ghava udah capek," ucap Ghava selagi mengusap sisa-sisa air matanya dengan tisu.

"Oke, sampai sini dulu aja. Tetap diingat ya kata-kata Dokter tadi. Jangan pernah batasi diri Ghava buat bahagia. Kamu selalu berhak buat itu. Ya?"

"Iya, Dok, makasih." Ghava menarik napas panjang, berusaha menata hati. Rasanya lebih lega setelah menceritakan apa yang ia rasa.

Dokter Kama terlihat mengeluarkan sebuah benda dari laci meja kerjanya. Tak lama, pria itu menyodorkan sekotak susu rasa marie biscuit kepada Ghava. "Buat Ghava karena udah mau cerita. Kesukaan kamu, kan?"

Ghava menatap sekotak susu yang diberikan Dokter Kama dengan pandangan bingung. "Kok ... Dokter tau?"

Dokter Kama tertawa kecil, padahal Ghava sendiri yang pernah mengatakan itu padanya. "Tau dong, itu buat Ghava. Coba Dokter mau lihat dulu senyumnya. Harus senyum dulu sebelum keluar."

Ghava perlahan menarik ujung bibirnya, membentuk senyuman kecil. Ia juga mengambil pemberian Dokter Kama dan mengucapkan terima kasih pada pria itu. Setelah berbasa-basi, Ghava pun pamit keluar ruangan.

Di luar, Satya sudah menunggu Ghava. Pria itu lekas mendekat sebab khawatir melihat wajah sembab Ghava. Memang Ghava selalu begitu setiap selesai konseling, tapi Satya belum terbiasa. Ia selalu teringat ketika awal-awal menjalani terapi, Ghava selalu keluar dari ruang dokter dalam kondisi tubuh lelah bahkan pernah sampai muntah-muntah.

"Udah selesai? Tadi dibilangin apa aja sama Dokter?" tanya Satya seraya merangkul pundak Ghava. Mereka menyingkir dari pintu karena ada pasien lain yang hendak konsul dengan Dokter Kama.

"Banyak. Ghava nggak mau cerita sekarang, udah capek ngomong."

Satya mengangguk mengerti. Ia pun mengajak Ghava menuju antrean untuk menebus obat. Setelah semua urusan selesai, mereka pun menuju tempat parkir mobil untuk pulang.

Masih tengah hari, tapi Ghava sangat lelah usai rangkaian kegiatannya di rumah sakit. Begitu duduk di jok mobil, Ghava langsung menyandarkan punggungnya yang terasa pegal. Ia mengeluarkan susu pemberian Dokter Kama dari saku hoodie, kemudian menusukkan sedotan untuk ia minum.

"Ghava beli di mana itu? Kok Ayah nggak tau? Apa bawa dari rumah?" tanya Satya selagi melajukan mobil meninggalkan gedung rumah sakit.

"Dikasih sama Dokter Kama. Dia hebat banget bisa tau kesukaannya Ghava," ucap Ghava, masih belum sadar jika dirinya pernah menceritakan pada Dokter Kama tentang hal-hal yang ia suka.

Satya tersenyum, merasa senang karena Ghava mulai terlihat nyaman dengan psikiaternya. "Ghava mau makan siang pakai apa? Mau mampir beli sesuatu nggak?"

Ghava terlihat berpikir beberapa waktu. Berhubung suasana hatinya sedang baik, Ghava ingin memanjakan perutnya dengan makanan enak. "Pengin beli nasi padang. Tapi makannya di rumah aja."

"Oke, kita beli nasi padang."

Satya terus mengajak Ghava mengobrol sepanjang perjalanan. Jika anaknya itu sedang dalam fase mudah untuk diajak berkomunikasi, Satya rasanya tak ingin menyia-nyiakan kesempatan.

***

Setelah menjalani masa skorsing, Ghava akhirnya kembali masuk sekolah. Ia tak heran ketika teman-teman sekelas menatap sinis padanya. Ghava sadar jika itu adalah konsekuensi dari kelakuannya hari lalu, saat ia tak sengaja membuat Arvan sampai masuk rumah sakit. Bahkan kini temannya itu belum masuk sekolah. Hanya ada kembarannya---Arvin---yang sejak Ghava datang sudah menantangnya dengan mengangkat jari tengah. Tapi Ghava tak ingin meladeni. Ia ingat kata-kata orang tuanya untuk tidak mengindahkan jika ada yang mengajaknya berdebat.

How to Say "Goodbye"?✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang