"Ghava, waktunya olahraga. Bangun, yuk." Satya menilik wajah Ghava yang berbaring membelakanginya. Anak itu tidak tidur, tapi terlihat malas sekali untuk beraktivitas. Padahal cuaca Minggu pagi ini sedang bagus-bagusnya untuk berolahraga.
"Mager, Ayah."
"Ayo, sebentar aja. Sepuluh menit kita jogging." Satya membangunkan tubuh Ghava ketika anak itu akhirnya mengulurkan kedua tangan. Sejenak ia menyisir rambut berantakan Ghava dengan jemarinya, kemudian menyingkap selimut yang masih membalut kaki Ghava.
"Yang semangat dong, masih pagi loh ini."
Ghava mengembuskan napas keras. Ia benar-benar tak punya semangat. Hasratnya ingin rebahan saja seharian penuh. Menghabiskan waktu di luar terasa sangat melelahkan untuk Ghava. Tapi mau bagaimana lagi? Ia memang diharuskan keluar, berjemur, juga menghirup udara pagi yang masih bersih.
Setelah sedikit drama, akhirnya Satya dapat membawa Ghava untuk berolahraga pagi. Mereka berjalan-jalan keliling komplek, sesekali juga berlari kecil. Tak hanya mereka, di jalan komplek perumahan elit itu banyak pula orang lain yang sedang lari pagi.
"Lari loh, Gav, kayak Ayah ini. Kamu mah malah loyo begitu." Satya menoleh ke belakang ketika lagi-lagi Ghava tertinggal. Ia sedikit tertawa melihat anak itu berjalan tanpa minat dengan meluruhkan bahu.
"Capek tau."
"Baru juga berapa meter, Gav. Ayo, tangannya sambil digerak-gerakkin biar berkeringat."
Ghava berlari kecil mengikuti sang ayah, tapi terlalu malas untuk turut menggerakkan tangannya. Baru juga berapa langkah, Ghava kembali berjalan santai. Sampai, netra lelaki itu terarah pada seekor hewan yang sangat menggemaskan.
"Yah, Yah, lihat deh, anjingnya lucu banget!" Ghava menunjuk seekor anjing kecil berjenis Bichon Frise. Terlihat lucu sekali dengan bulu putih tebalnya yang serupa kapas.
"Mau Ayah beliin yang begitu? Tapi kalo anjing susah meliharanya, apa mau kucing aja?"
Ghava menggeleng. "Kalo yang gede gitu Ghava baru mau, biar bisa dinaikin."
Satya seketika mengerutkan kening, mana bisa begitu? "Mending nggak usah aja sih, yang ada nanti kamu kena pasal. Atau kalau mau dinaikin, mending beli kuda aja. Malah boleh banget sama Ayah. Ghava nggak mau nyoba berkuda lagi kayak dulu?"
Ghava memikirkan ucapan ayahnya. Dulu, ia memang pernah latihan berkuda bersama Ghazy. Ketika akhir pekan, mereka sering datang ke arena untuk melakukan pelatihan. Semenjak tidak ada Ghazy, Ghava tak pernah lagi melakukannya. Segala hal yang dulu menyenangkan, kini tak lagi terasa menarik sebab ia melakukannya sendirian. Tanpa Ghazy.
"Kalo sendirian Ghava nggak mau."
"Sama Ayah."
"Ayah cuma lihat?"
"Maunya gimana?"
"Ayah ikut juga, jangan cuma lihatin."
"Ya udah, boleh. Bisa diatur."
Ghava tersenyum senang. Ayahnya memang yang terbaik.
***
Ghava sadar, ia tak boleh terus-terusan lari dari rasa takut. Ia harus percaya diri dan membangun kembali keberaniannya untuk dapat seperti dulu. Tapi kadang, ada beberapa situasi yang membuat hatinya tak tenang. Terlebih saat ia ditempatkan di antara banyaknya orang seperti sekarang. Ia seolah merasa bahwa mereka sedang memperhatikannya. Juga membicarakan hal-hal buruk tentang dirinya, meski nyatanya tak demikian.
Ghava menyusuri etalase berisi kue, masih mencoba mencari yang cocok. Hari ini adalah ulang tahun pernikahan ayah ibunya. Ia ingin memberikan kejutan pada mereka. Sehingga, sebelum orang tuanya pulang dari tempat kerja, Ghava meminta Pak Riza menemaninya mencari kue dan beberapa dekorasi.
KAMU SEDANG MEMBACA
How to Say "Goodbye"?✔️
Teen Fiction[Brothership/Sicklit/Slice of Life] ● Prekuel dari Se(lara)s ● ⚠️mental illness, suicidal tought, crime, violence ● Trigger Warning: Beberapa konten dalam cerita ini mungkin dapat memicu emosional Anda tentang pengalaman traumatis. So, be wise *** G...