Tari tak dapat menghitung berapa kali dirinya menangis dalam beberapa hari terakhir. Tak terkira pula betapa banyak kata 'maaf' yang ia tabur, tapi rasanya tak akan cukup. Nyaris kehilangan kembali putranya, membuat Tari sadar bahwa itu adalah sebuah teguran keras.
Kini Tari terduduk di depan ruang rawat Ghava, bersanding dalam kebungkaman bersama suaminya. Meski sudah berbaikan dan menyelesaikan masalah, Tari pun telah mencabut gugatan cerainya, tapi mereka masih terjebak dalam kekalutan yang tak kunjung sirna. Keduanya tak akan pernah tenang sebab Ghava masih belum ingin ditemui.
"Mas, aku kangen sama Ghava. Aku pengin lihat dia." Tari tak tahu, apakah hal itu pantas diucapkan setelah apa yang ia lakukan. Tapi sungguh, ia amat menyesali segalanya. Tiada apa pun yang ingin ia lakukan selain melihat Ghava dan memastikan anak itu sudah baik-baik saja.
"Kita tunggu kabar dari Dokter Kama. Semoga Ghava hari ini bisa kita temui." Satya menoleh pada Tari, mengangguk kecil pada wanita itu untuk meyakinkannya. Segala yang terjadi belakangan ini memang menyakitkan untuk Satya. Namun sehancur apa pun hatinya, yang paling penting saat ini adalah Ghava.
Satya sangat mencintai istrinya. Maka ketika wanita itu dengan mudahnya hendak memutus hubungan, Satya rasanya begitu sakit hati. Ia bahkan tak pernah terpikir jika Tari akan bertindak sejauh itu. Namun semarah apa pun dirinya, seberapa terluka batinnya, Satya masih punya rasa percaya. Ia berikan kesempatan itu pada Tari, berusaha yakin bahwa kejadian seperti ini tak akan pernah terulang lagi. Ia juga takut, sangat takut jika perasaannya pada Tari akan memudar dan semakin menghancurkan rumah tangganya. Ghava pasti akan menjadi yang paling terluka jika hal itu sampai terjadi.
Lama menunggu, akhirnya Dokter Kama keluar dari ruangan. Satya dan Tari kompak menoleh ketika mendengar suara pintu yang dibuka. Keduanya berdiri, memandang Dokter Kama dengan penuh harapan.
"Gimana, Dok? Ghava tadi udah mau lihat video dari kita?" tanya Satya dengan harap-harap cemas. "Gimana tanggapan dia? Dia masih marah atau ...."
"Silakan kalian bisa masuk, Ghava ingin bertemu dengan ayah ibunya," ucap Dokter Kama dengan senyum hangatnya. Ia pun mempersilakan Satya dan Tari untuk masuk dan menemui Ghava.
Rasa haru dalam diri Satya dan Tari seketika memuncak. Terlebih ketika melihat Ghava yang sedang menangis dan terlihat menyambut kedatangan mereka. Satya bergegas cepat untuk meraih tubuh Ghava ketika anak itu turun dari ranjang, berniat mendekatinya.
"Ghava duduk aja di kasur, kakinya masih sakit loh." Satya berniat memindahkan Ghava yang sudah meluruh di lantai bersamanya. Namun anak itu justru memeluknya dengan begitu erat, dengan tangisnya yang terdengar memilukan.
"A-yah ...."
"Iya, iya sayang, ini Ayah. Ayah di sini. Ayah di sini, Nak ...." Satya mengusap-usap punggung Ghava dalam dekapannya. Air mata pria itu tak dapat lagi ia tampung, hingga ia biarkan meluruh membasahi pipi.
"Ma-af-in Gha-va ...."
"Sttt, nggak papa, nggak papa. Ghava nggak salah apa-apa, jangan minta maaf. Tenang, ya? Semua udah baik-baik aja, semuanya pasti baik-baik aja." Satya rasanya sakit sekali mendengar Ghava yang menangis sampai sesegukan seperti ini. Anak itu juga sesekali terbatuk, lanjut menangis, kemudian meracau.
"Ibu ... Ibu ...."
"Ada, Ibu ada. Sini Ghava lihat dulu, Ibu ada di sini juga kok." Satya mencoba melepas pelukannya dengan Ghava. Ia menuntun anak itu untuk menoleh pada Tari yang terduduk di sampingnya.
Ghava mengusap kedua matanya, berusaha meyakini bahwa yang dilihatnya adalah benar. Lantas ia pun memeluk ibunya dengan begitu erat, seolah tak ingin melepaskannya pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
How to Say "Goodbye"?✔️
Teen Fiction[Brothership/Sicklit/Slice of Life] ● Prekuel dari Se(lara)s ● ⚠️mental illness, suicidal tought, crime, violence ● Trigger Warning: Beberapa konten dalam cerita ini mungkin dapat memicu emosional Anda tentang pengalaman traumatis. So, be wise *** G...