Tari baru saja berbenah setelah pulang dari tempat kerjanya. Ketika hendak mengecek Ghava, ia tak mendapati keberadaan anak itu di kamarnya. Ia panggil pun tidak ada jawaban, dan kini Tari mulai merasa panik. Langkahnya ia bawa menuju lantai bawah, lantas mencari Ghava di ruangan yang mungkin disinggahi. Namun lagi-lagi, ia tidak mendapati keberadaan anak itu.
"Bi ... Bibi, lihat Ghava nggak? Dia nggak ke bawah?" tanya Tari seraya mendekati Bi Ais yang terlihat sibuk menyiapkan menu makan malam.
"Enggak loh, Bu. Saya nggak lihat Den Ghava turun malahan dari tadi. Han, kamu lihat Den Ghava nggak?" tanya Bi Ais pada ART lain yang juga tengah membantunya.
"Jihan nggak lihat juga, Bu. Coba Jihan tanya ke Pak Riza sama yang lain barangkali tau." Perempuan itu segera berlalu setelah Tari mengiakan ucapannya.
Sementara itu, Tari kembali menuju lantai atas. Ia ingat bahwa ada satu ruangan yang belum ia cek. Tadinya ia ragu sebab Ghava tak pernah menginjakkan kaki di ruangan yang biasa ia pakai untuk bekerja. Namun sepertinya, bukan ide buruk jika ia mengecek tempat itu juga.
"Ghava?" Tari masih berusaha memanggil Ghava sepanjang lorong yang ia lewati. Langkahnya ia percepat, hingga akhirnya tiba di ruang kerjanya. Begitu membuka pintu, Tari dapat melihat anaknya sedang duduk di lantai, di depan sebuah kardus yang ia hafal betul apa isinya.
Ada kelegaan yang seketika menyambut hati Tari. Ia tak heran jika Ghava tak mendengar suaranya. Ruangan ini memang diatur kedap suara. Dengan langkah ringan, Tari mendekati Ghava. Anak itu seperti tidak terusik sama sekali dengan kedatangannya.
"Ghava ... kamu lagi apa?"
Ghava terkesiap usai mendengar suara ibunya. Ia menoleh ke belakang, mendapati Tari mendekat dengan wajah yang diliputi penasaran. "Ibu, Ibu udah pulang ya?"
Tari mengangguk. Ia kemudian duduk di sebelah Ghava, menatap puluhan album foto yang berserakan di sekitar tubuh anak itu. "Lagi lihat-lihat foto, ya? Ghava udah lama di sini?" tanyanya seraya meraih satu per satu album foto untuk ia rapikan kembali agar tidak berserakan.
"Huum, udah lama. Tadi habis belajar, Ghava gabut. Terus Ghava inget kalau di ruangan Ibu ada banyak buku. Jadinya Ghava ke sini buat cari bacaan, tapi malah Ghava nemu kardus ini. Isinya album foto-foto kita."
Ghava kembali membuka lembar demi lembar foto pada album yang ia pegang. Setiap foto seperti membangkitkan memori Ghava pada momen saat foto itu diambil. Dulu, mereka memang selalu mengabadikan banyak hal dalam sebuah foto dan mencetaknya.
"Udah sore banget loh, Ghava nggak mau mandi dulu? Nanti dilanjut lagi lihat-lihat fotonya."
Ghava menggeleng, ia masih betah melihat-lihat foto yang ada. Ghava mengambil sebuah foto yang menampilkan potret dirinya dengan Ghazy. Ia tersenyum, mengamati betapa cerah senyumnya dan Ghazy di sana.
"Ghava boleh ambil ini kan, Bu? Ghava suka banget fotonya, mau Ghava bawa ke mana pun," ucap Ghava seraya memperlihatkan foto di tangannya.
Tari tersenyum, mengusap rambut Ghava dengan gemas. "Boleh, ambil aja yang kamu pengin simpan."
"Oh iya, tadi Ghava nemu foto lucu tau. Kayaknya itu pas Ghava sama Ghazy masih bayi. Tapi bayinya ada tiga deh, di album yang mana tapi ya, Ghava lupa." Ghava mencoba mencari album, sampai sadar jika sang ibu sudah merapikan semuanya. Ia malas jika harus mengeceknya lagi satu per satu.
"Nanti aja Ibu cariin. Kayaknya iya, itu fotonya Ghava Ghazy waktu bayi. Yang bayi satunya ... mungkin itu ... Regan, anaknya Om Rama? Ibu juga lupa-lupa ingat, deh. Dulu mah Ibu sama Ayah suka foto-fotoin kalian random."
Ghava hanya mengangguk-angguk. Ia tak ambil pusing dan kembali sibuk melihat-lihat foto lain.
"Udah dulu yuk, Ghava mandi dulu. Ayah kayaknya bentar lagi pulang, nanti kita makan malem bareng."
KAMU SEDANG MEMBACA
How to Say "Goodbye"?✔️
Подростковая литература[Brothership/Sicklit/Slice of Life] ● Prekuel dari Se(lara)s ● ⚠️mental illness, suicidal tought, crime, violence ● Trigger Warning: Beberapa konten dalam cerita ini mungkin dapat memicu emosional Anda tentang pengalaman traumatis. So, be wise *** G...