14-Hati yang Terluka

1K 120 35
                                    

Adanya gangguan pada sistem pencernaan membuat Ghava harus mendekam di rumah sakit selama dua hari. Sebenarnya dokter menyarankan untuk dirawat satu hari lagi, tetapi Ghava sudah merasa tak nyaman dan terus-terusan meminta pulang. Akhirnya, hari ini Ghava diizinkan pulang dengan syarat harus bedrest dan menjaga kondisi tubuh.

Satya membawa Ghava pulang setelah menyelesaikan urusan administrasi rumah sakit. Kini ia masih berada di perjalanan pulang dengan Ghava yang duduk tenang di sebelahnya.

"Inget ya, nggak boleh lagi minum-minum kopi kayak waktu itu. Cokelat juga harus dikurangi, makannya yang teratur, jangan suka begadang, jangan banyak pikiran. Pokoknya kalau---"

"Ayah berisik."

Satya seketika terdiam dan mengerutkan kening. Ia sekilas menatap Ghava yang sedang bersandar lesu pada kaca mobil. "Malah ngatain berisik kamu."

"Orang dokternya tadi juga udah bilang, ngapain diulang-ulang? Males Ghava dengernya."

Satya menghela napas lelah. Anak itu memang sedang sedikit sensitif padanya. Suasana hati Ghava sangat sulit untuk ditebak. Kadang sedih seharian, mendiamkan orang-orang, atau marah hanya karena hal sepele. Semua orang harus memperbanyak kesabaran untuk menghadapi Ghava.

Perjalanan mereka akhirnya dilingkupi oleh keheningan. Satya sudah berusaha untuk mencari topik lain yang mungkin bisa memperbaiki suasana hati Ghava, tetapi anak itu sepertinya sedang enggan diajak bicara. Hal itu sebenarnya menimbulkan khawatir di hati Satya sebab semakin hari, Ghava terlihat semakin hilang semangat dalam menjalani segala hal.

Setelah beberapa menit perjalanan, akhirnya mereka sampai di rumah. Ghava langsung turun begitu saja ketika Satya menghentikan mobil di garasi. Anak itu hendak langsung menuju kamar, tetapi langkahnya tertahan saat berpapasan dengan ibunya di bawah tangga.

"Udah pulang, Gav? Ibu udah siapin makan, kalau laper makan dulu. Ajak Ayah sekalian," ucap Tari, menatap Ghava yang masih tampak pucat.

Ghava membalas tatapan ibunya dengan sorot mata penuh kecewa. Sebenarnya, sikap tak biasa Ghava bukanlah tanpa alasan. Ia sedih dan kecewa karena sejak di rumah sakit, Tari sama sekali tak menemuinya. Ia merasa diabaikan dan dikucilkan oleh ibunya sendiri.

"Kemarin kenapa Ibu nggak nemuin Ghava di rumah sakit?"

Tari terkesiap mendengar pertanyaan Ghava. Ia tak punya alasan tepat untuk menjelaskan pada anak itu. "Maaf, Ibu ... Ibu kemarin lagi kurang enak badan juga."

"Bohong," lirih Ghava dengan tatapan sendu yang masih tertuju pada ibunya. Hanya dengan mendengar suaranya saja, Ghava tahu jika ibunya berbohong. Bahkan dulu, sesibuk apa pun keadaannya, jika ia atau Ghazy sakit, Tari pasti dengan senang hati menemani.

Ghava kini hanya punya satu kesimpulan, bahwa sejak ia membuat Ghazy tiada, ia bukanlah prioritas di kehidupan ibunya.

"Ibu nggak bohong, Gav. Kamu---" Tari tak menyelesaikan ucapannya saat Ghava berlari melewatinya begitu saja. Ia berbalik dan menatap Ghava yang melangkah menuju kamar. Wanita itu menunduk, menyesal karena telah mengabaikan Ghava. Ia hanya takut untuk menginjakkan kaki di rumah sakit. Masih terlalu membekas saat ia pergi ke tempat itu dan menemukan putranya sudah tidak bernyawa. Tari terlalu takut untuk mengingatnya lagi. Tapi ia tak sadar bahwa sikapnya itu telah menyakiti hati Ghava.

***

Hari demi hari berlalu, tidak ada yang benar-benar membaik. Bahkan ketika persidangan mulai dilakukan dan orang yang menjadi dalang kematian Ghazy sebentar lagi dijatuhkan hukuman, hal itu tak sedikit pun mengobati hati mereka yang telah remuk redam. Setiap hari, selalu ada kekosongan yang melingkupi kediaman mereka. Seolah kepergian Ghazy turut membawa seluruh nyawa dan kehangatan dalam rumah itu.

How to Say "Goodbye"?✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang