18-Tak Ingin Sendiri

714 108 33
                                    

Mau lari ke mana kamu?!

Kamu nggak akan bisa kabur

Saya bakal bunuh kamu

Kamu harus nyusul adik kamu mati

Ghava terbangun dengan jantung berdebar-debar dan keringat dingin yang membanjir. Ia menatap ruangan serba putih yang luasnya justru membuat takut karena hanya ada ia seorang diri. Riuhnya rintik hujan yang menghantam kaca jendela menambah rasa cemas di hati Ghava.

Nggak ada siapa-siapa di sini

Nggak akan ada yang nolong kamu

Ghava meringkuk dengan posisi miring sembari menutup kedua telinganya. Suara-suara itu tak lantas pergi meski ia sudah bangun dari mimpi. Lelaki itu berteriak saat merasa seseorang menepuk pundaknya dari belakang.

"Hey, Ghava, ini Ibu." Tari mencoba menarik perhatian Ghava sebab anak itu terlihat sangat terkejut. Ia baru saja kembali dari toilet, tapi yang didapatinya justru kondisi Ghava yang seperti ini.

"Ghava ...."

"D-dia mau bunuh Ghava, Ibu. Tolongin Ghava."

Tari mencoba menenangkan Ghava dan membantu anak itu duduk. Ia menangkup wajah Ghava, berusaha memusatkan bola mata Ghava yang masih bergerak gelisah. "Sini lihat Ibu, di sini cuma ada Ibu sama Ghava. Sadar, jangan didengerin suara-suara yang aneh."

Ghava perlahan mulai merasa tenang. Cengkeramannya pada lengan sang ibu pun kian mengendur. Tari lantas membantu Ghava untuk bersandar pada kepala ranjang yang sudah ditinggikan. 

"Ghava makan, ya? Ibu suapin."

Ghava masih belum sepenuhnya merasa bahwa situasi di sekelilingnya aman. Napas anak itu pun masih memburu dan terlihat sesak, sehingga Tari kembali memasangkan selang oksigen yang semula Ghava lepas.

"Udah ya, nggak ada apa-apa. Istirahat, Ghava, buang jauh-jauh pikiran negatifnya," ucap Tari selagi mengusap keringat dingin yang bermunculan di kening Ghava.

"Ghava nggak suka bunyi hujannya, Bu," lirih Ghava sembari menatap jendela. Hujannya begitu deras dan suasana di luar terlihat lebih gelap. Ghava tidak suka melihatnya.

Tari beranjak untuk menutup tirai jendela meski hal itu mungkin tak dapat meredam bunyi hujan. "Ibu nyalain TV mau? Biar hujannya nggak begitu kedengeran?"

Ghava mengangguk, terdengar lebih baik daripada bunyi konstan air hujan yang menabrak kaca jendela. Setelah perhatiannya teralihkan pada suara dari televisi, Ghava akhirnya lebih bisa berpikir jernih.

"Udah ya, sekarang Ghava makan dulu." Tari mengambil semangkuk bubur di atas nakas, selagi mendudukkan tubuh di kursi sebelah ranjang.

"Perutnya nggak enak." Ghava mengeluhkan hal lain. Ia memang merasakan sensasi aneh yang sebenarnya sudah sering dirasakan. Antara mual, perih, terkadang juga menjalar hingga ke dada dan rasanya seperti bagian itu sedang terbakar.

Tari tak dapat membendung kesedihan. Gangguan psikis yang Ghava alami, tak pelak telah memengaruhi kondisi fisiknya. Dokter bilang, masalah pencernaan seperti GERD seringkali sepaket dengan gangguan psikis. Jika dalam kondisi stress berlebih, Ghava sangat mungkin akan mengalami fase seperti saat ini.

"Pelan-pelan aja makannya, nanti Ibu suapinnya dikit-dikit, kok. Ghava harus tetep makan biar bisa cepet pulang." Tari menyendok bubur dengan porsi sedikit. Ia menyuapkannya pada Ghava dan syukurlah anak itu tidak menolak.

Pelan tapi pasti, akhirnya Ghava bisa makan cukup banyak. Tari kembali meletakkan mangkuk usai Ghava berkata sudah tak dapat lagi menampung makanan. Lantas ia membantu Ghava untuk minum, memberikan pujian karena Ghava sudah cukup hebat.

How to Say "Goodbye"?✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang