| Sembilan : Bertemu Cinta Pertama |

64 9 3
                                    

             Sepasang remaja sedang duduk di atas bukit, menikmati pemandangan indah yang terbentang serta angin sepoi-sepoi yang berembus menerpa wajah keduanya. Diterpa cahaya sang surya yang nyaris tenggelam ke peraduannya. Meninggalkan bekas jingga di wajah bahagia sepasang anak manusia yang berstatus sepasang kekasih itu.
“Terima kasih telah bersamaku selama sebulan ini.” Kata sang pria tersenyum memandangi wajah gadisnya, semakin dipandang semakin tidak bosan.
“Ya, terima kasih juga sudah menjagaku selama sebulan ini Sunbae ....” Balas si gadis, si pria menggenggam tangan gadisnya erat.
“Tolong jangan panggil Sunbae lagi, panggil saja Jimi.” Si gadis menatap heran. “Itu nama panggilan khusus kita agar terasa lebih spesial, Jimi dan Jiyi—bagaimana?”
Si gadis mengangguk. “Baiklah, Sun—emm maksudku Jimi.” Pria itu Park Jimin, dia tersenyum bahagia. Dikecupnya kening si gadis yang tak lain adalah Jiyeon, kemudian turun ke bibir, mereka melakukan ciuman pertama yang manis kala itu.
“Jimin!” Panggilan itu membuyarkan memori masa lalu yang sedang dia putar, kenangan yang tidak akan pernah dia lupakan, kenangan cinta pertamanya. Jimin tersenyum mendapati gadis di masa lalu yang kini menjelma menjadi wanita yang luar biasa cantik. “Maaf, membuatmu lama menunggu.”
Jimin tidak bosan tersenyum. “Selama apa pun itu, aku akan tetap menunggumu.”
Perkataan Jimin terasa ambigu di telinga Jiyeon, gadis itu berdehem untuk menutupi kecanggungan. Jujur saja gadis itu gugup setengah mati terlebih Jimin mengajak bertemu di tempat paling berkesan bagi mereka berdua dulu. “Ah, terima kasih.”
Keduanya pun saling berpandangan beberapa saat. “Jadi, apa yang ingin kau katakan Jiyi?”
“Langsung saja, aku tidak akan basa-basi.” Kata Jiyeon menguatkan mentalnya. “Park Jimin, aku sangat bersyukur bisa menjadi  kekasihmu di masa lalu. Kau—adalah cinta pertamaku yang sangat indah. Aku akan selalu mengenangnya. Terima kasih untuk segalanya, jadi—mari kita akhiri semuanya di sini, sekarang. Apa pun yang terjadi di masa lalu biarlah menjadi kenangan saja, dan mari fokus pada masa depan masing-masing. Kau pasti sangat mencintai Lee Jieun bukan? Aku pun begitu, aku sangat mencintai calon suamiku, Cha Eunwoo.” Jiyeon tersenyum kikuk. “Kita lupakan semuanya, anggap saja itu adalah romansa masa remaja, aku tidak ingin ke depannya kita menjadi canggung satu sama lain mengingat kita akan sering bertemu. Jadi, tolong maafkan aku jika memiliki kesalahan padamu, begitu pun sebaliknya aku pun memaafkanmu.”
Jimin tertegun, ada rasa tidak rela di sudut hatinya. “Jadi itu yang ingin kau katakan?”
“Ya. Mari hidup untuk masa depan bukan masa lalu.” Tambah Jiyeon.
Jimin tersenyum miring. “Sekarang tolong dengarkan perkataanku juga. “Jiyeon mengangguk. “Jika kau menyuruh melupakan, maaf aku tidak bisa. Kau bahkan masih menjadi penghuni hatiku hingga saat ini. Semua yang kulakukan adalah untuk bisa bertemu  denganmu lagi, lalu ketika aku menemukanmu kau malah akan menikah dengan sahabatku. Kau pikir aku bisa menerima semudah itu? Dan masalah Jieun—aku tidak pernah mencintainya lebih dari sahabat, pernikahan kami tidak lebih dari pemersatu bisnis keluarga.”
Jiyeon sangat terkejut, pasalnya Jimin dan Jieun tampak seperti pasangan yang bahagia dan saling mencintai. “Jimin—”
“Baiklah, aku tidak akan mengusikmu dan Eunwoo. Tapi, biarkan aku tetap mencintaimu dengan caraku, itu sudah cukup. Jujur saja aku belum ikhlas sepenuhnya kau dengan Eunwoo. Jika itu pria lain—aku tidak akan sering melihatmu bersamanya. Tapi dengan Eunwoo? Hey—dari sekian banyak pria di dunia. Kenapa harus Cha Eunwoo?”
“Itulah takdir, kita tidak pernah tahu.” Kata Jiyeon, dia juga sebenarnya menyesali takdirnya.
Jimin menghela napas panjang, tertawa gamang sebentar. “Boleh aku meminta ciuman perpisahan?”
“Heh?”
“Untuk terakhir kalinya, aku ingin merasakannya. Ciumanmu yang hangat itu.” Jimin begitu tulus dan terluka, Jiyeon bisa melihat itu melalui mata Jimin. Bagaimana dia tega menolak permintaan pria itu?
Jimin melangkah mendekati Jiyeon, meraih kedua pipi gadis itu dan mulai mendaratkan ciuman lembut di bibir sang dara pemilik hatinya. Cukup lama tautan itu terjadi, sebab Jimin terlalu larut dalam rasa nyaman akan tautan mereka. Hingga Jiyeon yang memutuskan lebih dulu.
“Jimin, aku harap setelah ini kau hidup dengan baik. Mulailah mencintai Jieun—dia itu gadis yang sangat baik.” Jiyeon tersenyum tulus, untuk terakhir kali Jiyeon mencium kening Jimin lembut. “Kau itu—mantan terindahku.” Kata Jiyeon sebelum pergi, Jimin mengepalkan tangannya tanpa terasa air matanya menetes begitu saja. Hatinya, sakit. Ingin rasanya egois, memaksa Jiyeon tinggal namun kakinya enggan untuk digerakkan.
Jiyeon tidak tahu lagi, jantungnya terasa akan copot. Dia berharap setelah ini Jimin akan mengerti dan berhenti membahas hubungan masa lalu mereka. Singkat cerita, setelah Jimin pergi ke Inggris gadis itu menjadi sangat kehilangan, dia bertekad akan menunggu Jimin sampai kapanpun namun pertemuannya dengan Kim Taehyung pria manis lainnya membuat Jiyeon tergoda dan akhirnya menjalin hubungan dengan pria itu. Jiyeon berhasil move on dari Jimin, bahkan sampai merencanakan pernikahan bahagia dengan Kim Taehyung kekasihnya selama lima tahun. Hingga, pria itu meninggalkan Jiyeon di hari pernikahan mereka tanpa mengatakan apapun, hanya sepucuk surat yang dia tinggalkan. Taehyung mengatakan dia akan kembali lagi.
Untuk kedua kalinya, Jiyeon merasa hancur ditinggalkan oleh orang yang dicintainya. Parahnya, Taehyung yang paling menggoreskan luka di hati Jiyeon hingga gadis itu enggan jatuh cinta lagi.
“Ahh, gila! Aku hampir terpengaruh oleh tatapan mata itu. Tidak, mana boleh aku merebut tunangan orang lain. Hih, membayangkan saja aku tidak sanggup.” Gerutu Jiyeon.
Jiyeon hendak memesan taxi, hingga sebuah mobil berhenti tepat di pekarangan Golden High School. Mata Jiyeon memicing untuk memastikan siapa yang ada di balik kemudi itu, detik berikutnya gadis itu nyaris terjungkal ketika melihat sosok Cha Eunwoo yang keluar dari mobil berwarna hitam kelam itu. Ya, Jiyeon tidak mengenali mobil pria itu sebab Eunwoo selalu menggunakan mobil yang berbeda tiap kali menemuinya. Sebenarnya berapa banyak mobil yang Eunwoo miliki? Dasar orang kaya, pikir Jiyeon.
Eunwoo melepaskan kacamata hitamnya, menghampiri Jiyeon yang kaku di tempat begitu percaya diri. Bukannya apa, Jimin masih ada di area tersebut. Bagaimana jika mereka bertemu? Alasan apa yang akan dia berikan.
“Eunwoo—apa yang kau lakukan di sini?” Kalut Jiyeon, dia berdoa dalam hati agar Jimin tidak keluar sampai Eunwoo pergi.
“Menjemput calon istriku tentu saja, aku sampai meminta bantuan temanku di kepolisian untuk melacak nomor ponselmu.” Cibir Eunwoo membuat Jiyeon tercengang, sampai sebegitunya Eunwoo hanya untuk menemukan dirinya. “Calon istri macam apa yang memblokir nomor calon suaminya.” Sinis Eunwoo sebal.

Ehek'
“Itu karena kau mengatakan hal-hal aneh di chat.” Balas Jiyeon tidak mau kalah.
“Aneh dimananya?”
“Sudahlah, berdebat denganmu tidak akan ada habisnya. Kenapa kau kemari?” Tanya Jiyeon, gadis itu menengok ke arah sekolah. Jimin masih belum muncul, diam-diam dia mengetikkan pesan untuk Jimin agar tidak keluar dulu sebab ada Eunwoo bersamanya.
“Tadi kan sudah jelas, aku datang menjemputmu. Akulah yang seharusnya bertanya, untuk apa kau ke sini? Sekolah kita dulu?”
“Ah, itu—”
“Dia menemuiku.” Suara Jimin sukses mengalihkan atensi keduanya, Jiyeon membulatkan matanya. Kenapa juga Jimin harus jujur sekali seperti itu. Eunwoo mengerutkan kedua alisnya menatap mereka bergantian. Jiyeon memejamkan matanya resah.
“Kenapa? Memangnya kalian sudah kenal sebelumnya?” Heran Eunwoo.
“Mungkin kau lupa, tapi Jiyeon—dia pacar pertamaku saat SMA.” Kata Jimin terang-terangan, Jiyeon merapatkan gigi-giginya kesal.
“Ah, begitu ....” Eunwoo menatap Jiyeon, gadis itu tidak bisa membaca ekspresi yang Eunwoo tunjukkan. Terlalu datar, dingin dan menusuk. Entah hanya perasaannya saja atau bukan, mata Eunwoo menyiratkan kekecewaan. “Lalu kenapa waktu itu tidak bilang hmm?”
“Eunwoo, keadaannya sangat tidak memungkinkan. Mana mungkin aku bilang mengenai hubungan masa lalu di saat kami berdua sudah memiliki pasangan masing-masing.” Jiyeon berusaha membuat Eunwoo mengerti. “Dan kami bertemu hari ini adalah untuk mengakhiri semua hal di masa lalu, iya kan Jimin?!”
“Iya, itu benar. Jangan salah paham Eunwoo. Jiyeon bilang dia sangat mencintaimu.” Kata Jimin tersenyum kecut, begitu pun dengan Eunwoo yang menyeringai.
“Ya, sudah seharusnya begitu. Kau juga, jangan sampai menyakiti Jieun.” Balas Eunwoo tersenyum.
“Ya, memang seharusnya begitu.” Kata Jimin terpaksa.
Tanpa diduga, Eunwoo menarik Jiyeon ke sisinya. Menarik syal yang Jiyeon pakai. “Jiyeon, sangat berharga bagiku.” Katanya mengecup singkat pipi Jiyeon, gadis itu memerah. Jimin merasa sesak melihat kemesraan keduanya tepat di depan matanya, apalagi dia melihat tanda keunguan di leher Jiyeon. Saat itu pula Jimin sadar sudah sejauh apa hubungan keduanya.
Miris.
Lagi-lagi, Jimin kalah oleh seorang Cha Eunwoo. Selamanya dia akan menjadi bayangan sahabatnya sendiri.

***

Sepanjang perjalanan Eunwoo hanya diam saja tanpa mengatakan apa pun membuat Jiyeon jadi merasa tidak enak hati, biasanya pria itu akan banyak bicara atau menggodanya dengan adu mulut.
Tapi sekarang, dia terlihat begitu dingin dan menyeramkan. Eunwoo tidak mengerti ada apa dengan dirinya, moodnya memburuk setelah mengetahui perihal hubungan Jiyeon dan Jimin. Entah karena Jiyeon yang tidak mengatakan apa pun atau mungkin karena dia merasa cemburu?
“Emm, Eunwoo? Kita mau kemana?” Tanya Jiyeon memberanikan diri angkat suara. Pria itu melirik Jiyeon dengan ekor matanya.
“Ke rumahku. Kakek mau bertemu. Dan kau akan tinggal di rumah sampai hari pernikahan.”
“Ah, begitu. Heh? Tinggal di rumahmu?”
"Kenapa? Mau protes?"
Jiyeon menggeleng sebab dia terlalu takut dengan Eunwoo yang saat ini. Hening kembali melanda, sebab Eunwoo terlalu kesal untuk bicara. Moodnya benar-benar buruk, dan semua itu karena Jiyeon. Gadis yang belum genap dua minggu dia kenal itu telah berhasil mengacaukan perasaannya dengan mudah.
“Eunwoo—kau marah ya?”
“APA?!” Hardik Eunwoo.
Jiyeon sampai terlonjak kaget dibentak seperti itu. “Kau kenapa marah-marah sih? Nanti cepat tua.”
CKIIITTT'
Eunwoo segera menepikan mobilnya, dia tidak bisa seperti ini. Amarahnya harus diledakkan atau dia tidak akan bisa tidur malam ini. “Aduh! Kalau mau mati jangan ajak orang lain, astaga! Aku belum keliling dunia tahu! Heol—” Omel Jiyeon, kepalanya lumayan nyeri membentur dashboard mobil.
“Kau— kau itu benar-benar menyebalkan ya! Kenapa kau tidak bilang jika Jimin adalah mantan pacarmu?!”
“Memangnya itu penting untukmu? Itu kan bukan hal penting.”

“Tidak penting katamu? Hey—aku akan menikahi mantan pacar sahabatku, kau pikir itu masalah sepele apa?!”
Jiyeon cemberut. “Aku juga tidak tahu jika kau sahabat Jimin. Kau pikir berada di posisiku menyenangkan apa? Dipaksa menikah dengan orang yang tidak dikenal, parahnya lagi dia sahabat cinta pertamaku. Itu momen buruk sepanjang masa tahu!”
“Kau menyalahkan aku?”
“Bukan menyalahkan, aku hanya tidak ingin kau marah hanya karena hal seperti ini. Lagi pula kenapa juga kau marah? Kau cemburu?” Balas Jiyeon, keduanya benar-benar dalam mode emosi saat ini. Napas keduanya tersengal.
“Cemburu? Hey—kau terlalu percaya diri. Aku hanya tidak suka seorang pembohong.” Eunwoo menatap Jiyeon tajam. “Shit!” Eunwoo memukul setir mobil, lalu keluar dari mobilnya meninggalkan Jiyeon sendirian. Sungguh Jiyeon baru tahu jika Eunwoo itu temperamental juga. Kenapa sih pria itu harus semarah itu? Mereka kan bukan pasangan yang saling mencintai? Kenapa semua menjadi rumit? Pikir Jiyeon.
“Temperamennya sangat buruk.” Cibir Jiyeon, akhirnya gadis itu ikut turun menyusul langkah Eunwoo yang tampak benar-benar kacau. Jiyeon meraih tangan Eunwoo yang enggan menatap dirinya. “Aku minta maaf Eunwoo, aku janji lain kali tidak akan menyembunyikan apa pun darimu. Ya, meskipun pernikahan ini tanpa cinta setidaknya kita harus terbuka satu sama lain bukan? Jangan marah lagi, ya? Jiyeon membuat bermacam ekspresi lucu agar Eunwoo tertawa. Dan dia berhasil, Eunwoo kini tersenyum.
“Hentikan! Wajahmu jelek sekali, tidak cocok melakukan hal begitu.” Cibir Eunwoo, dia berbohong. Sejujurnya Jiyeon terlihat sangat menggemaskan seperti anak kecil saat ini. Jiyeon cemberut.
“Aku sedang menghiburmu tahu.”
Tanpa diduga, Eunwoo menarik pinggang Jiyeon. Lalu mencium bibirnya seenaknya, ahh—jangan lupakan jika bibir Jiyeon itu mampu membuat siapa pun kecanduan, Jimin—dan sekarang Eunwoo mengakui itu.
“Dengar ya, Nona Park Jiyeon. Saat menjadi istriku, itu artinya kau hanya milikku seorang jadi jangan pernah berpikir untuk genit apalagi menggoda pria lain. Awas saja.”
Jiyeon memutar bola matanya malas. “Heol— kalau boleh jujur aku saja malas berhubungan dengan pria mana pun.”
Eunwoo tersenyum. “Kau hanya boleh berhubungan denganku.”
“Tck, kenapa kau jadi posesif? Kau tidak bilang begitu di awal. Kau bahkan bilang untuk tidak saling itu campur. Lalu kenapa sekarang berubah?”
“Sepertinya peraturannya harus diubah, mulai sekarang apa pun itu kau harus melibatkan aku.” Jiyeon hanya menatap horor kepada Eunwoo. Perasaannya mengatakan jika hidupnya tidak akan mudah setelah ini. Dan sialnya, kenapa juga Jiyeon harus menuruti kemauan seorang Cha Eunwoo?

"Kenapa? Tidak suka hmm? Lagi pula bukankah kau sangat mencintaiku? Kata Jimin begitu." Goda Eunwoo.
"Maaf, ya. Tolong bedakan mana perkataan yang jujur dan mana kebohongan untuk kebaikan. Jangan geer, aku mengatakan itu hanya untuk mengelabui Jimin."
"Oh ya? Lalu kenapa wajahmu memerah?"
"Apa sih. Panas tahu mataharinya."

***

Park Jiyeon segera berlari ke pelukan Kakek Cha sesaat setelah tiba di rumah besar keluarga Cha yang bak istana tersebut. Adegan pelukan itu tampak begitu menggelikan di mata Eunwoo, jika di drama televisi tentunya gerakan keduanya di buat slow motion. Ya, Jiyeon juga tidak tahu mengapa dia bisa sesayang itu pada kakek dari calon suaminya, begitu pun sebaliknya. Kakek Cha merasa Jiyeon adalah belahan jiwanya —dalam artian sahabat sejati di dunia.
“Kek, malam ini bagaimana kalau kita maraton drama. Aku kan menginap di sini.” Kata Jiyeon antusias.
“Tentu saja, Kakek kebetulan banyak sekali stok drama komplit.” Balas kakek tak kalah antusias. Keduanya masih tampak  asik mengobrol ria melupakan eksistensi Cha Eunwoo di sana.
“Hey—apa kalian bisa berhenti bicara soal drama? Lagi pula, jangan harap Kakek boleh begadang hanya untuk drama-drama tidak penting itu.” Omel Eunwoo, sang kakek mencibir kesal.
“Benar juga, Kakek tidak boleh begadang. Kita nonton sampai jam sembilan malam saja. Okey?” Jiyeon menggenggam tangan Kakek Cha penuh kasih sayang. Hati Kakek Cha tentu saja menghangat seketika.
“Iya, Princess. Everything for you.” Jiyeon tersenyum cerah, Eunwoo menatap dua orang berbeda generasi itu jengah. Dasar tua bangka menyebalkan, pada Jiyeon dia bersikap sangat manis sedang padaku yang notabene cucu kandungnya dia selalu marah-marah tidak jelas, batin Eunwoo.
Eunwoo mengantar Jiyeon ke kamarnya untuk beristirahat. Ya, tujuan Eunwoo menjemput Jiyeon adalah untuk tinggal bersama. Beliau mengatakan untuk mengajak Jiyeon menginap di rumah sebelum hari pernikahan. Kata kakek untuk mencegah adanya halangan atau bahaya sebelum pernikahan, lebih baik Jiyeon tinggal di rumah mereka.
“Sudah ada pakaian baru di lemari, make-up dan kebutuhan lainnya semua sudah tersedia.” Kata Eunwoo menjelaskan, Jiyeon mengangguk.
“Okey, terima kasih. Oh ya, ini kamarmu kan? Lalu aku tidur dimana?”
“Di sini, bersamaku.”
“What?! Apa maksudnya bersamamu?!” Protes Jiyeon tidak terima, Eunwoo memajukan tubuhnya membuat Jiyeon mundur ke belakang.
“Kenapa kau takut aku perkosa sebelum pernikahan ya?” Eunwoo tergelak. “Tenang, Sayang. Aku tidak akan macam-macam sebelum ada ikatan resmi.”
“Tetap saja mana boleh kita tidur bersama, memangnya rumahmu yang besar ini tidak punya kamar tamu apa?!”
“Ada, banyak malah. Tapi, kata kakek kau disuruh tidur bersamamu di sini. Malah katanya, lebih cepat memberikan dia cucu lebih baik.” Wajah Jiyeon merona seketika mendengar ucapan frontal Eunwoo itu.
“Dasar mesum! Keluar sana!” Jiyeon mendorong tubuh Eunwoo dari ruangan itu.
“Oy, ini kan kamarku?!”

***

Setelah selesai makan malam, Jiyeon dan Kakek Cha segera pergi ke home theater yang ada di rumah besar itu. Apalagi kalau bukan untuk menonton drama bersama, ah karena Eunwoo tidak mengizinkan maraton drama sampai pagi akhirnya mereka hanya menonton film saja.
Sementara itu, Cha Eunwoo tampak merenung sendirian di balkon kamarnya. Entahlah, banyak hal yang pria itu pikirkan salah satunya Jiyeon—gadis yang eksistensinya mampu memberi warna baru di hidup Eunwoo. Tiba-tiba bayangan masa lalu terlintas begitu saja.
“Kau mengunjungi sekolah kami hanya untuk melihat siapa pacar Jimin? Astaga Lee Jieun, obsesimu itu terlalu berlebihan.” Jieun merengut, memukuli lengan Eunwoo.
“Aku tidak terobsesi, aku mencintainya Eunwoo!”
“Heol—terserah saja.”
Eunwoo mengikuti jejak langkah Jieun, meskipun dia harus menahan sakit setiap kali melihat bagaimana cinta seorang Jieun untuk Park Jimin. Pun Eunwoo lebih merasa sakit ketika melihat wajah terluka Jieun ketika melihat Jimin bersama gadis lain —kekasihnya.

“Dia cantik ya ... pantas saja Jimin menyukainya.” Ujar Jieun mencoba menahan liquid bening dari matanya. “Dia sangat cantik kan?”
Eunwoo melihat ke arah gadis yang sedang bersama Jimin, gadis dengan senyuman menawan. “Ya, dia cantik. Tapi bukankah cinta itu bukan tentang fisik? Tapi hati? Kenapa sih kau tidak mencoba membuka hati untuk yang lain? Jangan terpaku pada Jimin yang jelas-jelas menyukai gadis lain.”
Jieun akhirnya menangis. “Kau tidak akan pernah mengerti rasanya mencintai seseorang Eunwoo. Kau tidak akan mengerti.” Eunwoo hanya mampu mendesah, dia tersenyum miris bahkan dia paling tahu rasanya mencintai—sepihak.
Eunwoo mengusap wajahnya  kasar. “Astaga, ternyata gadis itu Park Jiyeon, calon istriku.” Pria itu tertawa sendiri. “Takdir memang aneh.”
Eunwoo meminum wine miliknya, bersamaan dengan itu Jiyeon memasuki kamar dengan langkah gontai. Dia terlalu mengantuk setelah menonton film bersama kakek tadi, sejak gadis itu masuk hingga terlelap dalam posisi telungkup,  Eunwoo memperhatikan semuanya, dia tersenyum. Jiyeon itu memang gadis cantik yang sangat unik, siapa pun akan merasa bahagia jika berada di dekatnya.
Eunwoo berjalan menghampiri Jiyeon, membenarkan posisi tidur gadis itu, menyelimutinya dengan telaten. Lalu menatap wajah malaikat gadis yang sudah mendengkur halus tersebut.
“Kau itu tipe gadis sederhana tapi siapa pun mudah jatuh cinta padamu.” Gumam Eunwoo membelai rambut coklat madu milik Jiyeon. “Tidak sabar memilikimu seutuhnya.” Eunwoo tersenyum sendiri.

[M] Asquiesce | CEW√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang