| Sepuluh : Pernikahan |

86 13 4
                                    

            Park Jiyeon menatap pantulan dirinya di cermin besar yang ada di depannya, dia sangat cantik dengan gaun putih yang sempurna di tubuhnya. Di tangannya dia memegang buket bunga ukuran kecil menambah kemanisan penampilannya. Tatapan mata Jiyeon sangat sendu, sejujurnya saat ini dia diliputi ketakutan besar. Kejadian seperti ini seperti dejavu baginya.
Dulu—dia pernah merasa sangat bahagia, memuji kecantikannya memakai gaun pengantin. Banyak angan-angan yang akhirnya hancur berkeping-keping sebab sang tercinta pergi begitu saja di hari bahagia menyisakan Jiyeon dan rasa sakit luar biasa.
Jiyeon menggeleng. “Tidak, itu kan masa lalu. Berbeda dengan sekarang. Saat ini aku menikah karena terpaksa jadi tidak akan ada masalah.” Gadis itu mencoba tersenyum, mengusir trauma di kepalanya.
Sang ayah, Jenderal Park Jisung memasuki ruangan putrinya. Pria paruh baya itu tampak terharu, akhirnya dia bisa mengantarkan putrinya ke depan pintu kebahagiaan. Hati Tuan Park cukup hancur ketika dulu hati putrinya di hancurkan, menyaksikan Jiyeon seperti mayat hidup itu adalah pengalaman terburuk dalam sejarah hidupnya.
“Ayah ....” Lirih Jiyeon menangis, begitu pun Tuan Arya. Mereka berpelukan penuh haru. “A—aku akan menikah.”
“Ayah, tahu. Jangan menangis bodoh! Nanti makeupmu luntur oleh air mata.”
“Ayah!”
Tuan Park terkekeh sembari menghapus air matanya. “ Berbahagialah, Sayang. Eunwoo—Ayah merasa dia itu pria yang baik dan pantas untukmu.”
“Ayah mengatakan ini bukan karena Eunwoo itu kaya dan hebat kan?” Tuan Park memukul kepala putrinya.
“Tentu saja tidak bodoh!”
Jiyeon tertawa kecil. “Aku hanya bercanda, Ayah.”
“Tapi, memiliki suami sehebat itu. Mungkin ini adalah balasan dari semua penderitaanmu, Nak. Ah, kau bisa dengan mudah mewujudkan mimpi keliling dunia.” Kali ini Tuan Arya yang tergelak.
“Ayah .....” Jiyeon memukul dada bidang ayahnya manja, Tuan Park memeluk Jiyeon sekali, mengecup kening putrinya.
“Ayo, sudah saatnya ke altar. Pangeranmu sudah resah menunggu, jangan buat dia berpikir kau kabur darinya.”
Jiyeon terkekeh. “Ayah, selalu saja.” Pasangan ayah-anak itu berjalan beriringan menuju tempat utama—gerbang kebahagiaan.
Digiring oleh ayah tercinta, Jiyeon berjalan menuju altar dimana Eunwoo telah menunggu lama. Para hadirin yang hadir tampak kagum akan kecantikan Jiyeon, mereka memuji visual menantu utama keluarga Cha yang bak Dewi. Meskipun wajahnya tertutup wedding veil, tetap saja kecantikan itu terpancar keluar.
Sesampainya di hadapan Eunwoo, Tuan Park menyerahkan putrinya dengan perasaan campur aduk. “Tolong jaga putriku.” Gumamnya penuh harapan, Eunwoo mengerti arti dari kalimat 'menjaga' dari pria paruh baya itu, namun penuh keyakinan Eunwoo mengangguk.
“Tentu, Aboji.”
Tuan Park tersenyum lalu kembali ke tempatnya, sementara Eunwoo mengajak Jiyeon menghadap pendeta. Sumpah sehidup semati pernikahan di ucapkan dengan lancar—tanpa hambatan, semua berlangsung khidmat. Entah apa yang membuat Eunwoo begitu antusias mengucapkan janji sucinya, yang pasti dia tidak main-main dengan pernikahan. Sejak awal dia serius, mungkin Jiyeon adalah pilihan terbaik dari Tuhan. Itulah yang dia pikirkan beberapa hari terakhir. Berbeda dengan Jiyeon yang nelangsa, sedih rasanya menikah dengan orang yang tidak dia cintai. Rasanya hidupnya akan menjadi begitu sulit, apa pun yang terjadi nanti harus dia hadapi sebagai resiko mengambil jalan itu untuk hidupnya.
“Silakan mencium istri Anda.” Ucapan pendeta membuyarkan pikiran Jiyeon, dia kembali pada kenyataan bahwa saat ini dia resmi menjadi Nyonya Cha. Eunwoo tersenyum manis sebelum merengkuh kedua pipi istrinya, mendaratkan ciuman hangat di bibir sang dara. Tepuk tangan meriah mengiringi kebahagiaan pasangan itu. Semua ikut bahagia—kecuali Jimin yang tampak frustrasi.
Karena kehabisan oksigen, Jiyeon mendorong dada bidang suaminya. “Eunwoo sudah, malu tahu.” Omel Jiyeon.
Eunwoo terkekeh, menyeka sisa tautan mereka. “Malam ini kau akan habis di tanganku.” Bisik Eunwoo di telinga Jiyeon, gadis itu merinding seketika. Okay, Jiyeon ketakutan saat ini sebab Eunwoo tampak mengerikan hendak menerkamnya.

Jiyeon memilih abai—dia pun melakukan ritual selanjutnya yakni melempar buket bunga di tangannya. Para gadis antusias sekali, termasuk  Soojung.
Bunga itu dilempar, menjadi rebutan dan berakhir di tangan Soojung. Gadis itu heboh, sangat senang. Tidak sadar jika sang suami tengah melotot tajam ke arahnya.
“Hei, Jung Soojung. Apa-apaan ini?! Kau berniat menikah lagi atau apa huh?!” Omel Sungyoon, Soojung meringis seketika.
“Mana mungkin Sayangku, ah aku hanya membantu gadis lain menangkap bunganya.” Buru-buru Soojung memberikan bunga itu ke tangan Jieun. Gadis itu menerima dengan heran.
“Kenapa diberikan padaku?”
“Agar kau segera menyusul pengantinnya.” Kata Soojung seadanya.
Jieun tersenyum. “Tanpa bunga ini, aku juga akan menikah kok. Minggu depan.” Katanya bahagia, Soojung turut senang.

“Oh begitu selamat ya.”
“Terima kasih.” Jieun menggandeng lengan Jimin yang kebetulan menghampiri. “Ah, dia calon suamiku.” Saat itu Soojung maupun Sungyoon terkejut sebab mereka tahu betul siapa calon suami gadis itu. Tak lain adalah Park Jimin, woah dunia nampaknya sempit.
Eunwoo dan Jiyeon mendapat pelukan antusias dari Kakek Cha yang tampak sampai menangis karena haru. “Akhirnya kalian menikah juga, tolong segera berikan Kakek, cicit.” Katanya.
“Astaga Kek, haruskah kau mengatakan itu sekarang?” Gerutu Eunwoo kesal, apa kakeknya hanya memikirkan soal cicit saja?
“Hahaha, Kakek terlalu senang. Selamat atas pernikahan kalian.”
“Terima kasih, Kek.” Jiyeon tersenyum.
Dilanjutkan dengan menghampiri Tuan Park, mereka berdua memeluk pria paruh baya itu.
“Selamat Nak, aku harap kalian bahagia.” Kata Tuan Park begitu bahagia putrinya resmi menikah, itu berarti dia tidak perlu khawatir lagi.
“Terima kasih Ayah, aku pasti akan membahagiakan Jiyeon.” Ujar Eunwoo tersenyum.
Setelah menyapa beberapa tamu, pasangan itu menghampiri sahabat-sahabat mereka yang juga turut bahagia.
“Jiyeon! Aku senang kau akhirnya menjadi seorang istri sepertiku.” Soojung segera memeluk Jiyeon erat.
“Terima kasih, Nyonya. Tapi, kau membuatku sulit bernapas.” Soojung tertawa lalu melepaskan pelukannya dari Jiyeon.
“Aku ikut bahagia atas pernikahanmu. Ah, kau cantik sekali Jiyeon”
“Terima kasih, Sayang.” Soojung segera membungkuk ketika menyadari ada Eunwoo juga di sana, ya seseorang yang begitu dihormati.
“Ah, selamat Eunwoo.”
“Terima kasih, ah—Nona pemilik cafe bukan?” Eunwoo menyadari wajah familiar Soojung, lantas gadis itu tersenyum.
“Ya, dan kau menjadi pelanggan akhir-akhir ini.
Eunwoo tersenyum. “Itu benar, wah aku ketahuan akhirnya jadi pria menyedihkan.” Tawa mereka mengudara.
“Selamat, Eunwoo. Kau masih ingat aku bukan?” Giliran Sungyoon angkat bicara. Eunwoo tersenyum hangat.
“Ya, tentu. Kau Choi Sungyoon bukan? Kita sering satu kelompok saat SMA.”
“Ingatanmu cukup bagus.”
“Tentu saja.”
Mereka kembali tertawa bersama, diiringi obrolan dan gurauan singkat. Jieun dan Jimin pun bergabung dengan mereka.
“Selamat, Jung. Heol, aku masih tidak percaya kau menikah lebih dulu.” Seru Jieun.
“Kau harus terima kenyataan, inilah faktanya.” Balas Eunwoo, Jieun mendengus sebal. Dia pun beralih pada Jiyeon.
“Selamat ya, kau sangat cantik.” Katanya tersenyum, Jiyeon membalas dengan hal yang sama.

“Terima kasih, Jieun.”
Soojung dan Sungyoon hanya menyaksikan semua itu dalam diam, terlalu fokus pada Jimin yang notabene mantan Jiyeon.
“Selamat, Jung.” Jimin merangkul Eunwoo, walau bagaimanapun mereka adalah sahabat. Lantas Eunwoo tersenyum bahagia.
“Ya, thanks Dude.”
Atensi Jimin beralih pada Jiyeon, dia menatap gadis itu sendu. Masih tidak rela, Jiyeon segera tersenyum untuk menutupi kecanggungannya toh mereka sudah sepakat untuk melupakan mengenai masa lalu meskipun Jimin enggan. “Selamat Jiyi, maksudku Jiyeon, aku harap kau selalu bahagia.”
“Ya, terima kasih.”
Okey, Jieun merasa sedikit aneh akan sikap Jimin, namun buru-buru dia tepis. Sementara Soojung dan Sungyoon yang tahu situasi tahu betul akan perasaan Jimin yang masih tersisa.
“Ah, ayo silakan kalian nikmati pestanya.” Eunwoo merangkul pinggang Jiyeon, menegaskan jika Jiyeon adalah miliknya hanya miliknya.

***

Park Jiyeon sudah selesai mandi dan mengganti pakaian dengan piyama hello kitty berwarna pink. Gadis itu sedang menyisir rambut setelah mengeringkan sebelumnya dengan hair-dryer, setelah itu memakai skin carenya. Tiba-tiba dia teringat ucapan Eunwoo siang tadi.
“Malam ini kau akan habis di tanganku.”
“Aku tidak sabar membuatmu tidak bisa berjalan besok pagi.”
Wajah Jiyeon memerah dan memanas seketika. “Dia mengerikan sekali.” Gumam gadis itu, buru-buru dia menyelesaikan aktivitasnya. Kemudian dia naik ke atas tempat tidur, bermaksud tidur lebih cepat agar Eunwoo tidak mengganggunya. Sungguh Jiyeon sangat ketakutan, walau bagaimana pun dia belum pernah melakukan hubungan intim dengan siapa pun tentu saja ketakutan itu merajalela ditambah Eunwoo mengatakan hal-hal aneh padanya.
Jiyeon memilih memasuki selimut dan memejamkan mata, tepat disaat itu pintu kamar Eunwoo terbuka. Gadis itu sampai terlonjak kaget namun dia buru-buru berpura-pura tidur lelap. Eunwoo menatap sang istri antusias, desahan kecewa itu ada ketika melihat Jiyeon sudah tidur.
“Tck, cepat sekali tidurnya.” Gumam Eunwoo kesal, dia sudah mempersiapkan segalanya. Bahkan meminum obat meningkatkan stamina. Eh, istrinya itu justru tidur dengan tanpa dosa di malam pertama mereka. Tidak! Eunwoo tidak bisa membiarkan hal itu, dia sudah menunggu hal ini seminggu terakhir. Sejak kejadian di kantornya tempo hari, Eunwoo selalu menginginkan Jiyeon untuknya. Dia sekaan kecanduan menyentuh tubuh gadis yang hari itu resmi menjadi istrinya.

Eunwoo menatap wajah Jiyeon dari dekat, matanya tampak bergerak sesekali. Senyuman terpatri di bibir pria itu. Ah, rupanya pura-pura, batin Eunwoo. Ide jahil pun muncul begitu saja di otaknya. “Jiyeon, ada tikus di atasmu!”
“Kyaaa!!!” Jiyeon segera bangkit dengan panik. “Mana tikusnya?! Mana?!”
Eunwoo tergelak puas sekali, berhasil menggagalkan aksi pura-pura tidur Jiyeon. “Ah, jadi tidak tidur.” Perkataan Eunwoo menyadarkan Jiyeon jika dia telah masuk ke dalam jebakan pria itu. Kacau sudah! Dia ketahuan sedang berpura-pura.
“Ka—kau menipuku?” Kesal Jiyeon.
“Siapa yang menipu siapa? Kau mau lepas tanggung jawab ya dengan pura-pura tidur begitu?”
Jiyeon gelagapan. “Ti—tidak kok, aku tadi benar-benar mengantuk jadi aku—”
“Aku apa?” Jiyeon merasa tersudut sebab Eunwoo mengunci tubuhnya di kepala tempat tidur. “Dengar ya, perlu kuingatkan jika tujuan pernikahan ini adalah untuk melahirkan bayi mungil yang menggemaskan?”
Wajah Jiyeon merona lagi. “Jadi jangan coba-coba melarikan diri, karena aku sudah kesakitan di bawah sana.” Mata Jiyeon membulat, dia pasti ketakutan sekali dan Eunwoo suka itu sebab Jiyeon terlihat makin menggemaskan.
“A—aku mau ke kamar mandi.” Jiyeon mendorong tubuh Eunwoo dan segera lari ke kamar mandi, Eunwoo terkekeh geli. Si cantik itu rupanya begitu polos. Di dalam sana, Jiyeon membasuh wajahnya resah.
“Bagaimana ini? Aku takut sekali, aku belum siap.” Gumamnya nelangsa, otaknya terus berpikir mencari alasan yang masuk akal hingga detik berikutnya dia tersenyum. “Ah, ya—itu ide yang bagus.”
Memasang wajah super innocent, Jiyeon kembali menghampiri Eunwoo yang berbaring di kasur mereka. “Sudah? Kemarilah!” Titah pria itu.
“Emm, Eunwoo. Maafkan aku—” Jiyeon pura-pura sedih.
“Maaf?”
“Aku, aku datang bulan.”
Wajah Eunwoo berubah. “Oh ya?” Pria itu menghampiri Jiyeon. “Mau membohongiku? Aku tahu jadwal menstruasimu bukan sekarang.”
Jiyeon melotot. “Kau bahkan tahu jadwal menstruasiku?!”
“Ya, aku menyelidiki semuanya. Bahkan hal-hal kecil seperti ini. Aku bisa menebak kau akan menggunakan cara licik untuk menghindariku.” Jiyeon cemberut, gagal sudah rencananya.
“Tapi, aku tidak bohong. Aku serius—” Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, Eunwoo sudah menggendong tubuh Jiyeon ala bridal kemudian menindih gadis itu. Menyatukan kedua tangan si gadis di atas kepala, memegangnya erat dengan satu tangan. Kemudian tangan lainnya dengan begitu kurang ajar memasuki piyama Jiyeon di bagian bawah. “Eunwoo apa yang kau lakukan?!” Kaget Jiyeon merasakan sensasi aneh, malu sekaligus merasa dilecehkan.

Eunwoo memamerkan telapak tangannya di depan wajah Jiyeon. “Kau bersih! Kau menipuku lagi.”
Sungguh Jiyeon tidak mengerti lagi, akhirnya dia pasrah. “Kau harus dihukum Jiyeon, kau sudah menipuku dua kali.”
“Eunwoo, tolong aku belum siap—” Terlambat, Eunwoo telah menyatukan bibir mereka berdua, Jiyeon sampai kewalahan, Eunwoo terlalu ganas menciumnya. Hal itu berlangsung selama beberapa menit, Jiyeon sudah tidak tahan dia kehabisan oksigen namun Eunwoo tidak juga mengerti. Dengan kesal, Jiyeon menggigit bibir bawah Eunwoo kuat.
“Akh—” Eunwoo jelaskan tautan mereka. “Hei, kenapa menggigitku?! Sakit tahu.” Bisa Jiyeon lihat bibir pria itu berdarah akibat ulahnya. Ah, siapa suruh menyebalkan.
“Aku hampir mati, Eunwoo!”
Untuk membalas Jiyeon, Eunwoo mencium kemudian menggigit leher Jiyeon. “Arrghh! Kenapa kau menggigit leherku? Kau drakula?!” Kesal Jiyeon.
Eunwoo hanya tersenyum. “Satu sama.”
“Aish, kau lebih menyebalkan dari dugaanku.”
Eunwoo membalik keadaan, kini Jiyeon berada di atasnya. Pria itu membelai wajah istrinya yang cemberut. “Terserah kau anggap aku apa, yang jelas aku ini suamiku jadi melayaniku adalah kewajibanmu. Semakin cepat kita melakukannya, semakin cepat bayi itu tercipta.”
“Apa di kepalamu itu hanya ada bayi huh?”
“Ya, bayi dan Cha Jiyeon.”
Okay, Jiyeon tidak mengerti mengapa dia memerah lagi mendengar ucapan Eunwoo, padahal itu terkesan sangat mesum. “Ayolah, Sayang. Jangan menolakku lagi, hmm?”
Tatapan mata Eunwoo yang terbakar hasrat membuat Jiyeon tidak tega, dia pun pernah mendengar dari Sungyoon pria akan sangat menderita dan kesakitan jika hasratnya tidak tersalurkan. “Eunwoo ....”
“Apa, Sayang?”
“Lakukan dengan perlahan, aku masih virgin.” Katanya menunduk malu, Eunwoo tersenyum.
“Aku tahu, aku janji akan membuatmu nyaman.” Setelah mengatakan itu, mereka menyatukan bibir lagi dan kali ini Jiyeon membalas permainan Eunwoo.
Pukul empat dini hari, pasangan pengantin baru baru selesai dengan aktivitas malam pertama mereka. Jiyeon—gadis itu meringkuk membelakangi Eunwoo sambil terisak. Ya, dia baru saja kehilangan mahkotanya dan itu menyakitkan sekali. Eunwoo menarik gadis itu ke dalam pelukannya.
“Apa masih sakit?”
Jiyeon memaki  suaminya dalam hati, pertanyaan Eunwoo sungguh bodoh. Tentu saja dia kesakitan apalagi hasrat Eunwoo seakan tidak ada habisnya.
“Eunwoo, kau menyerangku lima kali tanpa istirahat. Rasanya milikku hancur.” Eunwoo tersenyum, dibaliknya wajah Jiyeon lalu mengecup dahi gadis itu lama.
“Maafkan aku, Jiyeon. Habis kau sangat nikmat. Dan aku baru pertama kali merasakan seperti ini.” Wajah Jiyeon memanas lagi, benar-benar tidak menyaring mulutnya pikir Jiyeon. “Aku, menginginkanmu lagi dan lagi.”
“Cukup Eunwoo! Aku lelah, biarkan aku tidur.”
Eunwoo tersenyum lagi. “Sekali lagi, Sayang.”
“No way!”
“Baiklah-baiklah. Besok lagi.” Eunwoo sangat bahagia bisa memiliki Jiyeon dan saat itu dia berjanji tidak akan pernah melepaskan gadis itu. Tidak butuh waktu lama Jiyeon sudah terlelap dalam pelukan Eunwoo.

[M] Asquiesce | CEW√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang