| Delapan Belas : Salah Paham |

101 12 5
                                    

             Semenjak menikah dengan Eunwoo, menyiapkan makan malam telah menjadi kebiasaan Jiyeon. Ada kebahagiaan tersendiri ketika sang suami dan kakek makan dengan lahap masakan yang dia buat. Jiyeon pun telah paham makanan mana yang disukai oleh Eunwoo maupun kakek serta makanan yang tidak mereka sukai atau tidak bisa mereka makan. Gadis itu sedang membuat pasta, sampai pada akhirnya Eunwoo memasuki dapur.
"Kau tidak lelah hmm? Setiap hari memasak untuk kami padahal kau sibuk bekerja sepanjang hari."
Jiyeon tersenyum, "Tidak, aku suka melakukannya."
Eunwoo benar-benar kagum akan sosok Jiyeon, semua kriteria istri idaman ada pada gadis itu. Bukankah Eunwoo sangat beruntung memiliki Jiyeon? Ya, tentu saja itulah sebabnya dia tidak akan melepaskan gadis itu sampai kapan pun.
"Biar kubantu."
"Eh? Memangnya bisa?! Kata kepala pelayan, memasuki dapur saja jarang sekali kau lakukan."
Eunwoo menatap sang istri kesal, "Kau meremehkan aku?"
"Bukan begitu—aku takut kau mengacaukan dapur. Bukannya membantu malah menambah pekerjaanku!"
"Hey-hey, Cha Eunwoo itu jenius asal kau tahu saja!" Jiyeon hanya tersenyum mendengar sang suami membanggakan diri, akhirnya dia membiarkan Eunwoo membantunya membuat makan malam meskipun diiringi kejahilan pria itu pada Jiyeon.
"Auch—” Eunwoo terkejut mendapati Jiyeon terluka, lengannya terkena wajan panas. Buru-buru pria itu memeriksa kondisi istrinya.
"Kenapa bisa terluka sih?!"
"Aku lupa wajahnya panas, tidak sengaja menyentuhnya saat hendak mengambil minyak goreng."
"Hati-hati Jiyeon," Eunwoo membawa lengan sang istri menuju wastafel kemudian membiarkan lengan gadis itu selama beberapa waktu di bawah air mengalir. Setelah itu, dia menggiring Jiyeon duduk di meja pantry, mengobati luka bakar Jiyeon dengan telaten. Jiyeon merasa sangat tersentuh saat Eunwoo meniup lukanya dengan lembut, sungguh dia tidak merasakan sakit sama sekali berganti dengan rasa nyaman luar biasa. Merasa begitu dilindungi oleh perhatian kecil suaminya. "Kau bisa ceroboh juga ya?! Kau tidak boleh terluka sedikit pun."
"Memangnya kenapa aku tidak boleh terluka hmm?"
Eunwoo menatap sang istri dalam setelah selesai mengolesi salep pada luka gadis di hadapannya. "Tentu saja karena kau istri Cha Eunwoo dan ibu dari anak-anakku kelak." Kata-kata Eunwoo membuat perasaan Jiyeon campur aduk, ada bahagia, sedih dan pilu. Entahlah Jiyeon benar-benar tidak mengerti dengan perasaannya maupun masa depannya kelak.
"Anak-anak?" Tanya Jiyeon berusaha mengendalikan perasaannya.
"Ya, anak-anak."
"Memangnya kau mau punya anak berapa? Anak-anak itu berarti lebih dari satu."
Eunwoo tersenyum lebar sekali, "Ya, tentu saja lebih dari satu. Minimal lima anak."
Mata Jiyeon membulat lucu, menggemaskan sekali di mata Eunwoo. "Apa?" Pria itu tertawa senang.
"Aku tidak ingin anakku kesepian ayah ibunya yang menjadi anak tunggal, jadi aku mau punya anak banyak."
"Tck—kau pikir jadi orang tua mudah?"
"Aku tahu, tapi jika kita bersama-sama, bahu-membahu merawat mereka. Semua akan terasa mudah, Sayang." Lagi-lagi kata-kata Eunwoo membuat Jiyeon nyaris terlena, namun dia segera sadar jika semua itu hanya sesuatu yang semu. Mendapati Jiyeon hanya diam, Eunwoo meraih tengkuk sang istri dan mulai menciumnya. Tautan itu menjadi sangat dalam, apalagi Jiyeon membalas dengan imbang.
"Kita lanjutkan di kamar!" Eunwoo sudah menggendong Jiyeon ala bridal.
"Makan malamnya bagaimana?"
"Masa bodoh! Saat ini aku hanya ingin memakanmu."
"Heh?"
Eunwoo menghujani Jiyeon kecupan sepanjang jalan mereka menuju kamar di lantai dua, kakek yang tidak sengaja melihat tersenyum bahagia. "Hah—cepatlah jadi cicitku." Gumamnya gembira.
Di sisi lain, Park Jimin masih larut dalam kesedihan dan patah hati mendalam—sekuat tenaga melupakan Jiyeon namun nyatanya perasaannya justru semakin kuat. Lalu dia harus bagaimana? Sementara pernikahannya kurang dari seminggu. Jimin sangat frustrasi, malam itu dia berniat mabuk-mabukan berharap Jiyeon hilang dari kepala meski hanya sesaat. Detik berikutnya, dia kembali merindukan sang mantan—ingin sekali mendengar walau hanya suara. Tangannya pun bergerak mencari kontak Jiyeon, menghubungi berkali-kali namun tidak ada respon. Jimin tersenyum miris, sungguh perih batinnya.

***

Jiyeon terbangun akibat suara getar ponselnya di nakas, gadis itu hendak meraih ponselnya namun kesulitan akibat pelukan erat sang suami yang terlalu erat di pinggangnya. Pelan-pelan Jiyeon melepaskan diri kemudian melihat siapa yang menghubunginya.
Jimin?
Untuk apa lagi pria itu menghubunginya selarut ini? Jam di ponsel sudah menunjukkan pukul satu dini hari.
Ingin mengabaikan namun tidak tega siapa tahu ada hal yang mendesak, setelah menjauh dari Eunwoo dia mengangkat panggilan tersebut.
"Hallo?"
"Apa Anda kerabat pemilik ponsel? Anda adalah kontak terakhir yang di panggilan keluar."
"Heh?"
"Pemilik ponsel ini tidak sadarkan diri karena terlalu mabuk, apa Anda bisa menjemputnya?"
"Maaf aku bukan—”
"Tolong segera datang, akan kukirim alamatnya melalui pesan."
Jiyeon hanya mampu melongo ketika si penelepon mematikan sambungan begitu saja secara sepihak, apa-apaan? Dia bahkan belum mengatakan apapun."
"Astaga kenapa harus aku?"
Jiyeon mendesah ketika mendapati pesan masuk, alamat club dimana Jimin berada. Sungguh merepotkan, dia bahkan sangat mengantuk. Namun, mau bagaimana lagi dia yang dimintai tolong malam itu, hati nuraninya tidak tega.
Diam-diam Jiyeon mengganti pakaian tidurnya, memastikan Eunwoo terlelap dengan pulas barulah dia mengendap pergi dari rumah menuju club dimana Jimin berada.
Susah payah Jiyeon memapah Jimin menuju kamar hotel yang sudah dia pesan sebelumnya, gadis itu tahu harus mengantar Jimin kemana ditambah lagi guna menghindari timbulnya kesalahpahaman lebih baik dia membawa Jimin ke hotel bukan?
Meski tubuh Jimin tidak setinggi Eunwoo, namun tetap saja dia seorang pria yang lebih besar dari Jiyeon. Gadis itu begitu kesulitan menopang Jimin, namun akhirnya berhasil juga merebahkan cinta pertamanya itu di atas kasur.
"Huft—akhirnya." Gumam Jiyeon mengumpulkan sisa tenaganya, menarik udara beberapa kali guna menyempurnakan kembali oksigen.
"Jiyeon…" Lirih Jimin dalam batas titik sadarnya, mendengar itu Jiyeon melenguh pilu. Tidak menyangka jika Jimin sebegitunya menyimpan perasaan pada dirinya.
"Ya, Tuhan… semoga Jimin segera melupakanku dan bahagia bersama Jieun." Doa Jiyeon begitu tulus, dia berniat pergi namun lengannya ditahan oleh Jimin.
"Tolong jangan pergi…"
Jiyeon terkejut bukan main, dia pikir pria itu sadar namun rupanya Jimin hanya mengigau belaka. Perlahan, Jiyeon melepaskan lengannya lalu benar-benar pergi dari sana. Gadis itu tidak menyadari gelang di tangannya terlepas dan terjatuh di lantai.
Eunwoo terbangun sebab menyadari tidak ada Jiyeon di sisinya, lantas pria itu terjaga dan mencari keberadaan sang istri. Rasa khawatir menyerang saat mengetahui Jiyeon tidak ada di rumah selarut itu, dihubungi pun tidak dijawab. Baru saja hendak mencari, Jiyeon muncul di hadapannya dengan ekspresi terkejut—seperti baru saja tertangkap basah.
"Darimana kau selarut ini huh?!"
Jiyeon tanpa kebingungan mencari alasan, "Emm—aku tiba-tiba ingin makan tteokbokki jadi aku keluar sebentar."
Eunwoo menatap curiga, "Kau tahu ini jam berapa? Kenapa tidak bangunkan aku? Atau suruh pelayan, atau delivery."
"Aku tidak ingin menyusahkan siapa-siapa, lagipula kedai tteokbokki langgananku tidak jauh dari sini kok."
"Lalu mana tteokbokkinya?!"
"Sudah kumakan di sana."
Eunwoo tidak percaya begitu saja, dia meneliti bibir Jiyeon seksama. "Tidak ada tanda-tanda bekas saus tteokbokki di sini." Jiyeon panik luar biasa, jangan sampai dia ketahuan berbohong.
"Kau sangat kocak, Eunwoo. Memangnya aku anak kecil makan belepotan saus?! Kalaupun ada bekasnya sudah kubersihkan!"
"Kau tidak sedang berbohong kan?! Kau terlihat gugup."
"Tidak Eunwoo, lagipula kenapa kau bangun? Tadi tidurmu pulas."
"Istriku tidak ada, bagaimana bisa aku tidur?!"
Jiyeon menggenggam tangan Eunwoo, "Maaf ya, ya sudah ayo tidur lagi."
"Baiklah, lain kali bangunkan aku dan jangan pergi sendiri."
"Iya-iya, aku janji."
Pasangan itu pun memasuki kamar mereka di lantai dua, Jiyeon bersyukur Eunwoo percaya mengenai alasan konyolnya tersebut padahal dalam hati gadis itu sudah panik setengah mati. Eunwoo akan salah paham jika sampai tahu dia menemui Jimin yang mabuk selarut itu.

***
Jieun melangkahkan kakinya menuju kamar hotel tempat Jimin berada, dia sudah cukup gelisah tunangannya itu enggan mengangkat panggilannya dua hari terakhir dan menghilang entah kemana. Padahal pernikahan mereka hanya tinggal menghitung hari. Hati gadis mana yang tidak resah? Dia bertanya-tanya apa yang terjadi pada Jimin? Mengapa tunangannya itu berubah menjadi lebih dingin dari sebelumnya?
Feelings wanita memang kuat, Jieun merasa Jimin menyembunyikan sesuatu. Dia merasa sangat tunangan sedang main hati, tapi dia berusaha membuang pikiran buruknya tersebut jauh-jauh.
Akhirnya setelah melacak ponsel Jimin, dia menemukan prianya di salah satu kamar hotel sedang tertidur pulas dengan bau alkohol menyengat.
"Kau mabuk ketika memiliki masalah berat, dan ini jarang terjadi. Apa yang sudah terjadi padamu?" Gumam Jieun menatap nanar pada Jimin yang terlelap.
Baru saja hendak membangunkan sang tunangan, Jieun menginjak sesuatu di lantai. Ekspresi terkejut tidak bisa ditutupi ketika menyadari itu adalah gelang familiar, ya tentu saja sebab dialah yang memberikan gelang tersebut untuk seseorang. Hati Jieun mendadak nyeri, otaknya bersusah payah mencerna apa yang terjadi dan dia tidak ingin berprasangka buruk namun tetap saja dia tidak bisa tenang. Hatinya terlanjur terluka.
Jieun memilih memendam semuanya, disimpannya gelang tersebut di saku lalu membangunkan Park Jimin.
"Jimin! Bangun!"
Perlahan pria itu membuka mata, mendapati kesadarannya. "Aku dimana? Apa yang kau lakukan  di sini?" Gumam Jimin yang belum sadar sepenuhnya.
"Harusnya aku yang bertanya, apa saja yang kau lakukan?!"
Jimin bangkit, berusaha mencerna apa yang terjadi nyatanya dia tidak ingat. "Maaf, sepertinya aku mabuk berat."
"Bukan sepertinya, kau memang mabuk."
"Maafkan aku,"
"Pernikahan kita hanya menghitung hari, tolong jaga sikapmu."
"Aku mengerti."
"Bersihkan dirimu, aku perlu bicara saat kau sudah benar-benar sadar."
"Emm…"
Jieun pun meninggalkan Jimin yang masih pusing, dia bertanya-tanya mengapa bisa berada di kamar hotel? Dia tidak melakukan hal-hal aneh bukan? Apalagi mendapati sikap dingin Jieun padanya, ah—sial. Harusnya Jimin tidak mabuk.
Jieun benar-benar tidak bisa berpikir jernih, mengapa gelang milik Jiyeon bisa berada di kamar hotel dimana Jimin menginap. Gadis itu meraih ponselnya, menghubungi seseorang. "Ada ingin kau selidiki seseorang, akan kukirim profilnya padamu." Gumamnya, setelah mendapatkan jawaban dari lawan bicara dia pun menutup panggilan tersebut. Suasana hati Jieun benar-benar tidak nyaman saat ini.
"Dimana kita akan bicara?" Tanya Jimin menghampiri Jieun, gadis itu menoleh dan mendapati sang tunangan telah segar bugar habis mandi.
"Di rumahku saja."
"Baiklah."

***

Jiyeon, Eunwoo dan kakek sedang melakukan pesta barbeque kecil-kecilan di halaman belakang kediaman keluarga Cha. Sungguh perasaan kakek begitu bahagia, semenjak ada Jiyeon, rumah terasa jauh lebih hidup dan berwarna. Tidak ada lagi kata kesepian seperti sebelumnya, apalagi jika ada tawa anak kecil, tentu semua akan menjadi lebih sempurna.
"Semenjak ada Jiyeon, rumah ini menjadi lebih hidup dan menyenangkan." Puji kakek sembari memakan snack miliknya, Jiyeon hanya tersenyum. Dia mengambil satu tusuk barbeque daging untuk kakek.
"Rasanya terlalu berlebihan menganggapku begitu, tapi—terima kasih, Kek. Sudah menerimaku dengan baik."
"Tentu saja, kau adalah lentera di keluarga kami."
Eunwoo mencibir, "Sejak kapan Kakek menjadi sok puitis?" Kakek tertawa mendengar ocehan Eunwoo.
"Jadi, kapan kalian memberiku cicit huh?! Aku sudah tidak sabar."
"Jangan khawatir soal cicit, kami akan menciptakannya segera. Bila perlu setiap malam." Kakek lagi-lagi tertawa, Jiyeon sungguh malu dengan ucapan Eunwoo.
"Apa maksudmu?" Cicit Jiyeon menatap Eunwoo kesal.
"Maksudku—kita harus bekerja keras guna membuat bayi lucu untuk kakek." Setelahnya tawa Eunwoo dan kakek mengudara, Jiyeon hanya mampu pasrah dengan senyum kecut menggemaskan.
Ponsel Eunwoo bergetar, ada nama Jieun di layar dia segera menyingkir untuk menjawab. "Ada apa?"
"Eunwoo… bisakah kau kemari sekarang? Ada hal penting yang ingin kubicarakan denganmu." Suara Jieun terdengar parau, Eunwoo tahu gadis itu sedang tidak baik-baik saja. Pasti habis menangis.
"Memangnya kau dimana?"
"Diamond club."
Eunwoo tahu ada masalah serius jika Jieun mengajak bertemu di club, sebab gadis itu bukan tipe gadis yang suka minum. "Tunggu saja."
Setelah mematikan ponselnya, Eunwoo kembali pada kakek dan Jiyeon. "Emm—aku harus pergi sebentar, ada urusan penting."
"Urusan penting apa?! Ini weekend dan bahkan sudah malam." Sergah kakek kesal.
"Sesuatu yang mendesak, Kek. Maafkan aku, aku akan segera kembali." Eunwoo pun pergi begitu saja meninggalkan kakek dan Jiyeon.
"Anak itu! Masih saja begitu, dia bahkan tidak meminta izin pada istrinya! Keterlaluan!"
Jiyeon tersenyum, berusaha menenangkan kakek. "Tidak apa-apa, Kek. Pasti urusannya sangat penting."
"Huh, apa ada urusan yang lebih penting dari keluarga?! Aku harap dia berubah saat punya anak nanti." Jiyeon diam saja mendengar ocehan kakek, sejujurnya hati Jiyeon sedikit nyeri sebab dia sempat melihat Jieun yang menghubunginya suaminya tadi. Lalu apa urusan penting itu adalah tentang Jieun? Sungguh jika benar, Jiyeon merasa cemburu. Omong-omong soal Jieun, gadis itu baru menyadari bahwa gelang pemberian gadis itu tidak ada di tangannya.
"Astaga—kemana gelangnya?"
"Ada apa, Jiyeon?" Heran kakek.
"Tidak apa, Kek. Aku kehilangan gelangku. Aku akan mencarinya dulu."
"Ah, baiklah. Suruh pelayan membantumu."
"Baik, Kek."

***

Jieun tampak sangat kacau dengan mata sembab ketika Eunwoo tiba di sana, perasaan pria itu mendadak tidak enak melihat kondisi cinta pertamanya itu. Sebuah firasat atau apa, dia merasa semua ada hubungannya dengan Jiyeon.
"Apa yang ingin kau bicarakan?" Eunwoo duduk di sebelah Jieun setelah memesan minuman pada bartender, sementara Jieun sendiri menegak wine terakhir di gelasnya. Tatapannya sendu penuh luka, dia meraih gelang milik Jiyeon dan menggeser benda tersebut hingga ke hadapan Eunwoo. Firasat Eunwoo benar, itulah yang pria itu pikirkan ketika melihat gelang sang istri ada di hadapannya.
"Gelang itu tidak banyak yang memiliki, bahkan mungkin tidak ada lagi, kau tahu kan aku mendapatkan dari suku pendalaman Vietnam yang tidak diperjual belikan, spesial untuk hadiah pernikahan kalian. Aku menemukannya pagi ini di kamar hotel tempat Jimin menginap," Gumam Jieun lirih, Eunwoo terdiam berusaha meresapi makna dari kalimat gadis itu. Dia tahu betul kemana arah pembicaraan Jieun.
"Pasti sudah terjadi kesalahpahaman—”
"Eunwoo—apa kau sudah tahu bahwa Jiyeon adalah mantan kekasih Jimin sewaktu SMA dulu?"
"Ya, aku sudah tahu."
Jieun tertawa miris, dia kembali menegak wine yang sudah diisi penuh kembali dalam gelasnya. "Jadi hanya aku yang baru tahu? Kenapa aku bisa sebodoh ini?!"
"Apa yang terjadi di masa lalu tidak ada hubungannya dengan sekarang, soal gelang ini—aku akan bertanya langsung pada Jiyeon. Jangan sampai mabuk, kau tidak kuat alkohol!" Eunwoo bangkit hendak meninggalkan Jieun, namun gadis itu kembali bersuara lantang penuh emosi.
"Kau percaya pada istrimu?!"
"Ya, tentu saja aku percaya." Eunwoo bicara tanpa menoleh pada Jieun, detik berikutnya dia meninggalkan gadis itu sendirian. Jieun membuang gelas di tangannya kesal.
"Arrghhh—sial!"
Jiyeon sudah mencari gelang pemberian Jieun ke seluruh sudut kamar, bahkan kamar mandi namun tidak juga menemukan. Dia mulai resah dan merasa begitu menyesal, itu adalah hadiah yang sangat berharga. Bagaimana bisa dia menghilangkannya?!
"Kau mencari ini?!" Eunwoo tiba-tiba saja sudah ada di hadapannya, dengan gelang milik Jiyeon di tangannya. Gadis itu tersenyum cerah, belum menyadari wajah dingin Eunwoo yang sedang menahan gejolak amarah merasa di bodohi.
"Dimana kau menemukannya?!" Ucap Jiyeon semringah.
"Jieun menemukannya di kamar hotel tempat Jimin menginap pagi ini," perkataan Eunwoo sukses membuat Jiyeon bungkam, senyuman itu mendadak lenyap. Dia dalam masalah besar sekarang.
"Eunwoo—aku bisa jelaskan."
"Kau memang harus menjelaskan, kenapa gelang ini bisa ada di tempat yang sama dengan Jimin berada. Apa kau makan tteokbokki bersama Jimin semalam hmm?"
Jiyeon menggeleng keras, "Tidak, kau salah paham. Aku tidak bertemu dengan Jimin. Tadi malam, seseorang menghubungiku katanya Jimin mabuk jadi aku datang untuk membawanya pulang. Aku tidak tahu harus membawanya kemana, jadi aku bawa ke hotel."
"Lalu kenapa kau berbohong?! Kau bisa saja menghubungi Jieun untuk mengurus Jimin. Kenapa kau repot-repot melakukan semua itu huh?! Kau juga bisa bangunkan aku kan?!"
"A—aku tidak mau timbul salah paham, mengapa aku yang dihubungi oleh bar bukan Jieun ataupun kau. Makanya aku berbohong—”
"Kau bohong, karena kau menyembunyikan sesuatu—pasti telah terjadi sesuatu antara kau dan Jimin di belakangku. Iya kan?" Jiyeon menggeleng lagi, "Kalian makan siang berdua waktu itu."
"Tidak Eunwoo!"
"Apa kau masih menyukainya?! Atau masih ada hubungan yang belum selesai?!"
"Tidak, tidak ada hal yang seperti itu! Jimin hanya masa lalu, tidak ada yang terjadi di antara kami. Sungguh—kami hanya berteman biasa. Sewajarnya rekan kerja."
"Kau mau aku percaya?!"
"Kau harus percaya Eunwoo, kau suamiku—”
"Apa kau menganggap aku suamimu saat kau membohongiku?!" Jiyeon terdiam, dia merasa bersalah. Ya, seharusnya dia tidak perlu datang menolong Jimin. Salahkan rasa kemanusiaan Jiyeon yang terlalu tinggi, sudah tahu mantan gagal move on darinya.
"Maafkan aku—”
"Aku benci sekali kata maaf yang diucapkan di akhir!" Eunwoo dikuasai amarah dan rasa cemburu, malam itu dia mencium Jiyeon secara brutal.

To be continue

[M] Asquiesce | CEW√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang