| Tujuh Belas : Dominan |

55 9 3
                                    

            Hidup Jiyeon benar-benar penuh kejutan semenjak menikah dengan Eunwoo, seperti pagi itu isi lemarinya berubah drastis, pakaiannya hilang entah kemana dan berganti dengan pakaian asing yang serba baru. Gadis itu memejamkan mata, dia sadari ini ulah siapa. Tiba-tiba seseorang memeluknya dari belakang, menciumi bahunya.
"Eunwoo—apa-apaan ini?"
"Kenapa? Aku memeluk istriku."
"Bukan! Kemana pakaianku huh?!"
"Kubuang."
"Apa?!" Jiyeon berbalik menatap Eunwoo garang, "Kau buang katamu?! Kau sudah gila ya?! Jangan bercanda Eunwoo. Aku harus pergi bekerja."
"Aku serius Jiyeon, aku sudah membuang semua pakaianmu yang tidak layak itu, ah—jangan khawatir aku membuang ke panti sosial kok jadi tidak mubazir." Senyuman Eunwoo membuat Jiyeon semakin dongkol, pria itu seenaknya sekali mengatur hidupnya. Jiyeon tidak bisa berkata-kata saking kesalnya. "Aku sudah mengisi semua lemarimu dengan pakaian modis kekinian, brand ternama, tidak akan ada yang menghinamu lagi."
"Kau benar-benar, Eunwoo."
"Benar-benar suami yang baik kan?"  Eunwoo membalikkan tubuh Jiyeon kembali agar menghadap lemarinya. "Pakai saja yang sudah tersedia, atau kau akan terlambat. Okay?" Pria itu sempat mengecup pipi sang istri sebelum keluar dari walk in closet mereka. Jiyeon mendesah panjang, mau tidak mau dia memakai semuanya sebab tidak punya pakaian lagi.
"Heol—mungkin aku memang harus berubah mulai sekarang." Akhirnya Jiyeon mengambil satu set pakaian casual  untuk dia kenalan, bahkan di meja rias sudah penuh dengan alat make-up branded. "Okay, dia benar-benar ingin istrinya cantik. Baiklah, jangan menyesal." Jiyeon bukannya tidak bisa berdandan seperti kebanyakan gadis, dia hanya trauma dan menutup diri setelah dikecewakan Taehyung.
Kakek dan Eunwoo tengah berbincang sembari menikmati sarapan buatan Jiyeon, sungguh kakek merasa sangat bahagia sebab hari itu dia bisa sarapan bersama cucunya. Suatu hal yang langka Eunwoo mau sarapan bersama seperti ini, ya—tentu semua itu berkat Jiyeon.
Gadis yang dimaksud baru saja hadir di sana, penampilannya sungguh membuat kagum semua yang melihat, pelayan, kepala pelayan, kakek dan Eunwoo sendiri sebab ini kali pertama mereka melihat Jiyeon berdandan terlepas dari pesta pernikahan.
Eunwoo terpana melihat sang istri, dia sampai membulatkan matanya. Pria itu segera bangkit dari tempatnya menghampiri sang istri. "Aku memang menyuruhmu dandan, tapi tidak begini juga."
Jiyeon menatap bingung, "Apa maksudmu?"
"Kau terlalu cantik, tidak usah dandan berlebihan."
Jiyeon mendesah, "Ini bahkan sudah natural Eunwoo. Kau sungguh aneh," Gadis itu memilih meninggalkan Eunwoo dan duduk di meja makan bersama kakek.
Kakek tertawa melihat tingkah cucunya "Eunwoo, pasti cemburu Jiyeon. Dia takut istrinya diambil orang." Jiyeon hanya menanggapi dengan tawa kecil, berbeda dengan Eunwoo yang was-was sendiri. Kakeknya benar, saat ini Eunwoo merasa sangat takut istrinya dilirik pria lain. Menyesal juga menyuruh Jiyeon dandan tadi.
"Jiyeon, sebaiknya hapus saja make-upmu!" Eunwoo masih tidak menyerah namun gadis itu mengabaikan.

***
Seperti yang Jiyeon duga, dia akan menjadi pusat perhatian ketika memutuskan akan berubah. Benar saja saat ini semua orang sedang menatapnya, terutama para pria yang korneanya seperti hendak keluar dari tempatnya. Dia berusaha mengabaikan selama tidak mengganggu pekerjaannya.
Siapa sangka, hari itu dia harus bekerja sama dengan Naeun—dimana musuh bebuyutannya itu didapuk sebagai brand ambassador salah satu brand kosmetik lokal dan Jiyeon bertugas memotret Naeun.
"Wah, suatu kebetulan yang indah. Kau menjadi fotograferku hari ini." Naeun menyapa dengan senyuman menyebalkan khas miliknya, Jiyeon hanya mendesah malas.
"Ya, Seoul sepertinya menjadi sangat sempit," balas Jiyeon tersenyum dipaksakan. Naeun melirik penampilan Jiyeon dari atas hingga bawah, otaknya bahkan menghitung harga outfit gadis itu dengan cepat. Totalnya sekitar 50 juta won hanya untuk outfit casual yang Jiyeon kenalan, Naeun mendengki di dalam hati. Sial! Jiyeon benar-benar naik kasta.
"Kau akhirnya berubah jadi lebih baik, kau tampak cantik dengan pakaian mahal." Sindir Naeun, Jiyeon tersenyum lebar mendengarnya—bersiap membalas dengan senjata lidah.
"Naeun ayolah—kau pun tahu aku cantik dengan atau tanpa pakaian mahal!" Perkataan Jiyeon sukses membuat Naeun kalah telak menahan kekesalan. Akhirnya keduanya memilih fokus pada pekerjaan, Jiyeon berusaha mengambil gambar terbaik agar pekerjaannya cepat selesai namun dia juga ingin mengerjai Naeun sedikit. "Maaf, Naeun. Bisakah kau lebih berekspresi natural lagi?! Sejak tadi kau terlihat memaksakan diri." Tegur Jiyeon, dia adalah fotografer jadi dia berhak berkomentar demi keberhasilan foto iklan mereka. Naeun tampak kesal mendengar keluhan Jiyeon, baru saja hendak bersuara kepala bagian yang bertanggung jawab terhadap iklan tersebut angkat bicara.
"Jiyeon benar, kau terlalu kaku di foto-foto ini. Senyumanmu tampak dipaksakan. Tersenyumlah dengan lepas dan tulus, Nona Naeun."
Naeun mendesah kesal, sebenarnya dia mendapatkan pekerjaan tersebut atas dasar pengaruh nama besar ayahnya di bidang periklanan bukan karena Naeun memang pantas menjadi model untuk iklan produk kosmetik tersebut.
"Baiklah, akan kulakukan sebaik mungkin," Ungkap Naeun percaya diri, Jiyeon tertawa dalam hati. Dasar gadis sombong!
Pemotretan kembali dilanjutkan namun hasilnya masih sama, Naeun belum bisa memberikan hasil terbaik bahkan ketika Jiyeon telah mengarahkan.
"Akan kucontohkan bagaimana harus melakukannya!" Jiyeon melepaskan tali kamera dari lehernya kemudian menunjuk salah satu staf, "Tolong kau potret aku ya!"
"Eh aku?!"
"Ya."
Jiyeon mengambil alih tempat Naeun, dia pun melakukan pose-pose seharusnya dalam mempromosikan sebuah produk kecantikan. Senyuman secerah mentari itu mampu menghipnotis semua orang. Semuanya terpana melihat aksi Jiyeon, bahkan Naeun ikut takjub sebelum akhirnya sadar dan segera mencibir. Sialan! Jiyeon bedebah, maki  Naeun.
Tepuk tangan mengiringi berakhirnya aksi gadis cantik itu, dia melakukan dengan baik bahkan kepala bagian menyukai foto-fotonya yang diambil asal oleh orang yang segera otodidak menjadi fotografer pengganti.
"Bagaimana, yang kulakukan benar kan?"
Kepala bagian mengangguk, "Kau bahkan sangat cocok menjadi model untuk produk ini. Wajahmu mencakup semuanya. Andai saja kau bisa menjadi brand ambassador."
Jiyeon tersenyum mendengar pujian tersebut, dia melirik Naeun yang tampak sangat marah sebab merasa tak dianggap dan dihargai sebagai brand ambassador. "Tidak mungkin, aku adalah fotografer bukan model. Jadi biarkan Nona Naeun yang melakukan tugasnya."
"Ya, sungguh disayangkan."
Pemotretan kembali dilanjutkan dengan mood Naeun yang sudah terlanjur hancur, namun demi membuktikan dia bisa seperti Jiyeon, gadis itu menahan semuanya dan tersenyum sebaik mungkin.
Sosok yang tak terduga tiba-tiba muncul disana melihat proses pemotretan. Jiyeon terkejut bukan main sebab sosok itu adalah mantan kekasih sekaligus cinta pertamanya—Park Jimin.

***

Eunwoo baru saja menyelesaikan pekerjaannya, meeting dengan beberapa investor asing. Meregangkan dasi, pria itu merebahkan diri di sofa—tangannya meraih ponsel di saku hendak menghubungi sang istri namun dia urungkan mengingat Jiyeon sedang sibuk bekerja hari ini.
"Tck—apa pekerjaannya berjalan lancar? Atau justru sebaliknya? Kenapa dia harus secantik itu untuk bekerja. Heol—salahku juga menyuruhnya dandan lebih baik."
Eunwoo duduk kembali, hatinya sungguh gelisah. Dia memutuskan untuk melakukan panggilan video pada Jiyeon.
"Ada apa?! Sudah kubilang aku sedang sibuk!" Eunwoo cemberut mendapati sikap cuek Jiyeon padanya, tampak belakang gadis itu memang orang sedang sibuk mengurus ini dan itu.
"Tidak sopan! Begitukan sikap istri yang baik?!"
"Eunwoo—kan sudah kubilang tadi pagi, aku akan sangat sibuk hari ini. Ada pemotretan dengan brand kosmetik."
"Ya, aku tahu. Aku hanya ingin memastikan, tidak ada yang mengganggumu."
Jiyeon tampak mendesah di layar, "Tidak ada yang berani menggangguku Eunwoo. Mereka semua sungkan pada istri pebisnis nomor satu kota ini."
Eunwoo tersenyum puas, "Baguslah kalau begitu, kalau sampai ada yang macam-macam akan kuberi pelajaran."
"Tidak akan ada yang berani, bodyguardmu saja menyeramkan Eunwoo."
Eunwoo tertawa senang, pagi tadi dia mengizinkan Jiyeon pergi dengan syarat ada dua bodyguard yang menjadi sangat istri terpaksa Jiyeon menurut atau dia akan terlambat.
"Ya, sudah. Selamat bekerja."
"Iya, kau jangan lupa makan siang ya!"
Jiyeon mematikan sambungan tersebut sebelum Eunwoo sempat membalas, "Tck—dasar tidak sopan. Untung sayang." Eunwoo tersenyum sendiri akan ucapannya, dia memang telah menyayangi istrinya itu. Hati Eunwoo bahagia sebab Jiyeon masih perhatian mengingatkan soal makan meski sedang sibuk.
"Kau tampaknya begitu bahagia ya setelah menikah." Eunwoo terlonjak mendapati Jieun telah duduk di sampingnya.
"Astaga—kau seperti hantu saja! Tidak bisakah kau datang secara normal?!"
Jieun memukul kepala Eunwoo, "Kau pikir aku kurang normal bagaimana?! Kau saja yang terlalu larut dalam duniamu! Mentang-mentang sudah menikah kau jadi sombong dan melupakan aku ya?!" Omel Jieun.
"Namanya juga pengantin baru, kau harusnya paham."
"Terserahlah! Ayo makan siang bersama, sudah lama tidak curhat denganmu."
Eunwoo mendesah, terlalu malas mendengar keluh kesah Jieun. "Aku sibuk."
"Kata sekretarismu pekerjaan hari ini sudah selesai, jangan bohong!"
Eunwoo mengutuk sekretarisnya yang ember, "Aku lelah."
"Kau belum makan siang kan?! Ayolah, kau berubah setelah menikah."
Eunwoo mendesah, jika Jieun mulai merajuk dia tidak berdaya. "Baiklah, aku hanya punya waktu satu jam."
"Iya-iya, tidak akan lama kok." Jieun tersenyum senang, ditariknya tangan Eunwoo melangkah pergi meninggalkan ruangan pria itu.
Disisi lain, Jiyeon sedang berbincang dengan seseorang yang tidak lain adalah Jimin. "Apa yang kau lakukan di sini?!" Tanya Jiyeon, dia dan Jimin memutuskan mengobrol di cafetaria yang dekat dengan lokasi pemotretan. Sekalian ada yang Jimin ingin bicarakan.
"Sekedar informasi, aku adalah owner perusahaan kosmetik yang bekerja sama denganmu."
Jiyeon mendesah, "Oh… begitu. Seoul rasanya menjadi sempit ya?"
Jimin tersenyum, "Seoul tidak sempit tapi takdir yang berputar di sekitar kita saja.."
"Lalu kau ingin bicara apa? Soal pekerjaan?"
Jimin lagi-lagi tersenyum, "Bukan. Aku ingin bicara soal kita."
"Kita? Kau tahu tidak ada apa-apa lagi soal kita."
"Ya, bagimu memang begitu. Tapi, bagiku—rasanya masih sangat berat Jiyeon. Apa kau tidak merasa kasihan padaku hmm?"
"Jimin aku tidak perlu terus menjelaskan bukan?"
"Iya, aku paham Jiyeon. Lalu aku harus bagaimana jika hingga saat ini kau masih terus ada di hatiku. Aku tidak bisa melupakanmu."
"Kau harus melupakan aku Jimin, demi kau dan Jieun."
Jiyeon benar-benar merasa frustrasi dengan mantannya yang satu ini, begitu keras kepala. "Ya, aku sudah berusaha tapi sulit."
"Sulit bukan berarti tidak bisa, kau pasti akan melupakanku setelah menikah dengan Jieun. Aku yakin, kau mencintai Jieun hanya saja kau terjebak oleh obsesi masa lalu."
"Jiyeon—perasaanku padamu tulus. Bukan obsesi."
Jiyeon tidak tahu harus bagaimana lagi, "Jimin keadaan sudah berubah. Kau tidak bisa memaksakan takdir. Aku telah menikah dengan Eunwoo, aku mencintai suamiku. Hanya suamiku. Dan kau akan menikah dengan Jieun, kau harus mencintainya juga. Bertemu seperti ini di belakang mereka, aku sangat merasa berdosa. Kuharap ini yang terakhir."
"Aku mengerti, tidak bisakah kita berteman? Aku tidak memaksamu melakukan apapun aku hanya mengutarakan perasaanku Jiyeon. Rasanya sedikit lega telah mengatakannya."
"Ya, kita bisa berteman. Tapi, tidak bertemu diam-diam begini. Kita akan bertemu jika bersama pasangan masing-masing."
Jimin tersenyum, "Eunwoo sangat beruntung Jiyeon, sejak dulu dia beruntung dan selalu unggul. Tapi, keberuntungan yang paling indah adalah memilikimu sebagai istrinya."
"Semua orang memiliki keberuntungan masing-masing, Tuhan telah mengatur semuanya, Jimin. Jangan berkecil hati, jika Jieun adalah takdirmu kau akan bahagia bersamanya."
Jimin terkekeh kecil, "Aku sangat malu padamu. Kau begitu bijak, aku sangat kekanak-kanakan. Maafkan aku, Jiyeon."
Jiyeon tersenyum, "Tidak apa-apa, berjanjilah kau akan membuang perasaanmu padaku ya?"
Jimin mengangguk dengan senyuman secerah mentari. Senyuman yang dulu membuat Jiyeon mabuk kepayang.
"Mulai sekarang aku akan bersikap sebagai temanmu." Ungkap Jimin kemudian, Jiyeon tersenyum cantik.
Eunwoo tidak habis pikir Jieun mengajaknya makan siang hanya untuk dimintai pendapat mengenai persiapan pernikahan gadis itu dan Jimin. Lebih parahnya lagi, Jieun bertanya mengenai selera seksual Jimin.
"Aku tidak tahu, kenapa kau bertanya soal itu padaku, bodoh!"
Jieun tertawa, "Siapa tahu kalian saling berbagi hal yang sangat pribadi."
"Tentu saja tidak!"
"Emm—kalau begitu, aku minta saran lingerie yang pria sukai. Menurutmu Jimin suka yang mana?" Jieun dengan begitu polos menunjukkan majalah berisi gambar-gambar wanita sexy, tentu saja Eunwoo merona. Jieun memang tidak berotak!
"Mana aku tahu! Kenapa tidak tanya Jimin, kau sungguh gila ya?!"
"Kalau bertanya pada Jimin tidak akan menjadi kejutan."
"Ah—gadis bodoh ini, benar-benar!"
"Kau bayangkan saja Jiyeon yang pakai, yang mana paling bagus."
"Lee Jieun!"
"Tck—iya-iya, aku tidak akan bertanya lagi. Kau memang payah, tidak membantu sama sekali."
"Kau yang aneh! Serius."
Eunwoo geleng-geleng, terkadang sikap absurd Jieun di luar nalarnya. Betapa bodohnya dulu Eunwoo selalu menuruti apapun yang gadis itu lakukan. Namun, otak Eunwoo benar-benar membayangkan Jiyeon dengan lingerie, sesuatu tiba-tiba mendesaknya. Sial! Ini bahkan masih siang. Ponsel Eunwoo mendapatkan pesan, pria itu menggenggam erat ponselnya ketika bodyguard mengirimkan foto Jiyeon yang sedang makan siang bersama Jimin.
"Kenapa wajahmu?!" Tegur Jieun yang masih sibuk memilih lingerie terbaik untuk malam pertamanya nanti.
Eunwoo menatap Jieun datar, tidak mungkin dia mengatakan apa yang baru saja dia lihat. "Aku ada urusan  mendadak, aku harus pergi."
"Hei—makanannya saja belum datang, Eunwoo."
"Kau makan saja sendirian, ini darurat!" Eunwoo buru-buru bangkit, dia kesal sekali mendapati sang istri berdua dengan Jimin.
"Heol—menyebalkan!" Jieun meraih ponselnya mencari nama sang tunangan. "Jiminie, bisakah kau kemari. Aku makan siang sendirian."
"Maaf, aku sedang bersama klien."
Jieun cemberut, terpaksa dia makan siang sendirian. "Baiklah, sampai bertemu nanti."

***

Jiyeon terkejut bukan main mendapati Eunwoo berada di tempat kerjanya, jantung gadis itu tiba-tiba berdebar kencang apalagi dia tiba di sana bersama dengan Jimin. Oh, apakah akan menjadi masalah? Tentu saja, pikir Jiyeon. Eunwoo pasti akan salah paham padanya.
"Eunwoo? A——apa yang kau lakukan di sini?" Tanya Jiyeon takut-takut, sungguh perasaannya tidak enak ketika melihat tatapan Eunwoo yang seolah sedang menangkap basah dirinya melakukan kesalahan. Semoga hanya perasaannya saja, harap Jiyeon dalam hati. Lantas Eunwoo tersenyum, dia mendekati kemudian merangkul istrinya mesra. Tidak sampai disitu, Eunwoo mengecup singkat bibir Jiyeon di depan semua orang tak terkecuali—Jimin.
"Aku merindukan istriku, memangnya tidak boleh kemari hmm? Memangnya kau menyembunyikan sesuatu?"
"Tidak Eunwoo, bukan begitu. Kau datang tiba-tiba jadi aku terkejut."
"Sengaja ingin memberikan kejutan." Eunwoo tersenyum miring kemudian tatapannya beralih pada Jimin, "Jimin, kau di sini juga? Kau bersama istriku?"
Jiyeon mulai ketar-ketir melihat dua pria itu saling beradu, Jimin tersenyum santai tanpa beban. "Jangan salah paham Eunwoo, kami hanya sedang terlibat pekerjaan yang sama. Jiyeon melakukan pemotretan produk perusahaanku. Jadi, aku mengajaknya makan siang bersama sambil membicarakan soal pemotretan selanjutnya."
"Oh begitu, baguslah kerja sama kalian akan berjalan lancar." Eunwoo merangkul Jiyeon posesif, "Emm—kalau begitu, aku minta waktu istriku sebentar boleh kan Jimin?"
"Ya, tentu saja."
Eunwoo menarik Jiyeon menjauh meninggalkan Jimin, pria itu mendesah sedih. Eunwoo dan Jiyeon tampak begitu serasi, apalagi semua orang kini membicarakan romantisme mereka dengan menggebu-gebu. Jimin harus segera melupakan Jiyeon jika tidak tidak ingin terus merasakan sakit yang sama.
"Kau kesini tidak benar-benar rindu padaku kan?" Celetuk Jiyeon yang sudah duduk manis di samping Eunwoo, pria itu sibuk mengeluarkan kotak makanan yang dia bawa.
"Tentu saja itu benar, aku yakin istriku belum makan siang jadi aku bawakan makanan. Sekalian untuk para staff juga."
Jiyeon speechless, seorang yang katanya waktunya adalah uang kini datang hanya untuk bawa makan siang untuknya. "Kau kerasukan malaikat ya? Tumben baik."
"Tumben?! Hei—aku selalu baik."
"Iya-iya."
"Mau kusuapi juga? Mumpung aku sedang sangat baik."
"Emm—tidak perlu, Eunwoo."
"Kau ini kenapa menolak niat baik suamimu? Apa karena ada mantanmu di sini hmm?!"
Jiyeon menatap Eunwoo nyalang, kini terbaca dengan jelas bahwa suaminya sedang cemburu. "Apa sih yang kau katakan, kau tidak sedang cemburu pada Jimin kan? Kau tahu kami sudah berlalu lama."
"Ya, siapa tahu saja kalian bernostalgia akan masa lalu."
"Tck—aku tidak akan menikah denganmu jika ingin bernostalgia dengan Jimin!" Jiyeon cukup kesal, wajah cantiknya cemberut.
"Begitukah?"
"Iya!"
Eunwoo menyodorkan sushi di depan mulut Jiyeon, "Buka mulutmu!"
"Hah?"
Suapan itu berhasil masuk ke dalam mulut Jiyeon, "Kau tetap akan menikah denganku, apapun yang terjadi karena takdirmu adalah aku, bukan Jimin atau siapa pun." Eunwoo tersenyum menyebalkan, Jiyeon mendesah dengan mulut penuh. Tentu saja Eunwoo tidak akan membiarkan siapa pun berniat merebut istrinya, Jiyeonnya. Bahkan jika itu sahabatnya sekalipun, lagipula Eunwoo sudah cukup merelakan Jieun untuk Jimin tidak dengan Jiyeon—tidak akan pernah dia berikan! Jiyeon hanya miliknya, batin Eunwoo.



To be continue .,

[M] Asquiesce | CEW√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang