13. Buta Akan Kesalahan

7.9K 1.1K 50
                                    

Selamat Thalitha, karena mendapat haters dalam semalam 😍

***

Dillian menundukkan kepalanya dalam-dalam ketika aku menatapnya. Sesaat setelah peristiwa itu, aku mengatakan pada Alois bahwa aku akan membuat Dillian meminta maaf pada Thalitha dan Julian secara langsung, tetapi aku juga harus menenangkan Dillian yang masih gelisah.

Makanya, aku membawa Dillian ke kamarku, dia duduk di atas sofa, dan aku berdiri di sampingnya.

Memang tak ada jaminan bahwa Dillian tak bersalah, tetapi aku lebih memercayai isi novel dibandingkan dengan apa yang Dillian ucapkan. Dalam novel, playing victim yang dilontarkan pada Dillian kerap kali terjadi, hal itu untuk membuat Dillian semakin dibenci sehingga dia hidup semakin sengsara di kediaman Archer.

Aku yang kini menjadi ayah sang protagonis, mana mungkin akan patuh begitu saja melihat putraku menyalahkan dirinya sendiri supaya dia disangka sebagai antagonisnya.

"Ian," panggilku.

"Semuanya salahku, Ayah," ujar Dillian dengan suara yang halus, nyaris berbisik.

Apakah aku percaya? Tentu tidak.

"Ian, dengar." Aku sedikit membungkuk, berusaha untuk menyejajarkan wajah kami supaya aku bisa menatap matanya. "Di sini, hanya ada kita berdua. Kamu tidak perlu berbohong untuk menutupi sifat picik Thalitha, kamu bisa mengatakan kebenarannya, dan aku tidak akan marah padamu."

Dillian tampak menggigit bibirnya pelan, dia gelisah, itu karena dia merasa gelisah. "Aku ...."

Aku mengangguk, meminta Dillian untuk melanjutkan.

"Aku dan Nona Muda bertengkar."

Jeda yang Dillian berikan cukup lama sehingga aku mulai tak sabar. "Ya? Lalu, apa?"

"Aku ... Aku menyakiti Nona Muda dan memecahkan guci, aku membuat Nona Muda menangis."

Mataku berkedut. Rupanya, mengurus anak itu sulit.

"Itu kebohongannya, 'kan?"

"Tidak, Ayah, aku mengatakan yang sebenarnya."

Aku menghela napas dan menegakkan tubuhku. Mau dilihat dari mana pun, Dillian enggan mengungkapkan kebenarannya supaya dia dianggap sebagai antagonisnya. Namun, aku sedikit kecewa pada Dillian, aku adalah ayahnya, aku sudah mengatakan secara gamblang bahwa aku menyayanginya sehingga dia tak perlu menyembunyikan kebenarannya demi anak-anak itu, dan aku tidak akan marah. Bahkan jika Dillian rupanya memang tidak bersalah, aku yang akan angkat bicara untuk membelanya.

"Ian. Mengapa kamu membela Thalitha? Jika kamu takut pada Kak Alois, aku berada di pihakmu. Jadi, kumohon, katakan padaku apa yang sebenarnya terjadi."

Dillian menjawab, "Aku sudah mengatakan yang sebenarnya, Ayah."

Aku memijat pelipisku. Oke, anak ini cukup keras kepala rupanya. Dan aku juga sudah menyerah untuk mengulik kebenarannya. Sebab, isi dalam novel paling bisa dipercayai bukan?

"Baiklah, anggap saja bahwa kamu benar-benar bersalah, lalu apa yang akan kamu lakukan selanjutnya?"

Dillian memainkan kuku jemarinya sambil menunduk dalam. "Aku akan bertanggung jawab."

"Ya, lalu pertanggung jawaban apa yang kamu maksud?"

Dillian lagi-lagi menggigit bibirnya. Kemungkinan, Dillian ragu untuk mengungkapkan jawabannya karena pikirannya masih kacau dan berantakan, masih terdapat benang kusut di dalamnya karena dia harus merangkai kata kala benaknya masih kalut.

Suddenly, I Became the Hero's FatherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang