49. Ini Sudah Berakhir

3.8K 662 68
                                    

Tubuhku benar-benar semakin terasa membaik setelah memuntahkan darah. Barusan juga, aku mengenali suara siapa itu yang bicara dalam otakku.

"Èto—"

"Sshh! Kelith, bicara dalam hati saja, dan kamu masih harus pura-pura kesakitan parah sekali!"

Aku mengerutkan dahi. "Kenapa?" tanyaku dalam hati.

"Jangan merengek, cepat lakukan saja apa yang kukatakan!"

Siapa yang merengek, dasar aneh. Meski begitu, aku tetap menurut. Aku berusaha sebaik mungkin untuk pura-pura kesakitan. Bahkan aku yang muntah darah juga akan kujadikan sebuah tipu muslihat bahwa saking sakitnya aku, aku muntah darah.

"Sial, ini sakit," gumamku, yang tentunya bohongan. Aku sudah tidak merasa sakit sama sekali, efek racunnya sudah hilang. "Apa yang si brengsek Felix itu lakukan? Aku takut jika seperti ini terus, aku akan kehabisan darah."

"Aktingmu jelek," komentar Étoile.

Aku mengabaikan komentar tak guna itu dan tetap berusaha untuk berakting sebaik mungkin.

"Duri beracun kembali melayang, Kelith. Tebas di sisi kiri saat aku mengomando dan gunakan perisai angin di kepalamu .... Sekarang!"

Aku menurut, dan benar saja saat aku menebas pedang anginku ke sisi kiri, itu mengenai sesuatu. Dan perisai angin yang kubentuk di atas kepala menimbulkan bunyi tabrakan singkat.

"Mengapa Felix bisa menyerangku dengan sangat baik, seolah dia tahu aku berada di mana, padahal situasi ini sangat gelap?" tanyaku membatin, tapi rupanya Étoile bisa mendengar pertanyaanku.

Étoile membalas, "Sayang sekali, dugaanmu salah. Jika menurutmu ini kelihatan gelap, maka berbeda dengan apa yang Felix lihat, dia seolah tengah berada di siang hari yang cerah dibanding malam hari yang gelap sepertimu."

Aku mengerutkan dahi. "Kenapa?"

"Felix menggunakan sihir gelapnya untuk melapisi bola matamu supaya tidak ada cahaya yang memasuki retina sehingga tidak bisa melihat dengan benar. Istilahnya, Felix membuatmu buta sementara."

Si brengsek itu. Jadi di saat aku tak bisa melihat apa pun, Felix malah mendapatkan akses untuk melihatku secara jelas bagaikan kami berada di tengah hari? Dia sangat licik.

Aku menebas duri beracun yang menargetkan kakiku, menggunakan perisai angin untuk bagian depanku, dan menebas satu kali lagi dengan cepat di bagian samping kananku. Ketiga duri beracun yang hampir menusukku kini sudah kublokir.

Étoile-lah yang memberikan komando, lalu memintaku untuk menyerang di sisi yang dia perintahkan. Kami masih berada dalam situasi bertahan tanpa menyerang, tetapi setidaknya aku bisa bertahan dengan selamat berkat Dewa Bintang.

"Kamu masih harus pura-pura sempoyongan. Saat duri beracun hampir menusuk tubuhmu, biarkan itu menggoresmu."

"Kenapa?!" tanyaku sensi. Mana mau aku merasakan sensasi racun yang sama lagi, rasanya seolah benar-benar membuatku hampir mati.

"Kamu akan kelihatan aneh kalau tiba-tiba bisa menangkis setiap serangan. Dan kamu harus tetap pura-pura sakit sangat parah supaya membuat lawanmu lengah."

Oke, aku membuat tubuhku sempoyongan sebisa mungkin.

"Dibandingkan sempoyongan, kamu kelihatan seperti tentakel gurita."

"Tutup mulutmu, Étoile. Aku, 'kan, bukan aktor!"

"Tebas di sisi kananmu dan biarkan perisai angin salah memperkirakan, buat itu di kakimu. Bergeserlah sedikit ke samping kiri supaya duri itu hanya menggores tubuhmu hingga tidak menimbulkan luka fatal."

Suddenly, I Became the Hero's FatherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang