82. Situasi Berbahaya

1.8K 337 80
                                    

"Kamu hanya bisa menyembuhkan lima pasien setiap harinya. Itu adalah batasan tubuhmu dan jika kamu melewati batasan yang dibuat tubuhmu, maka kamu akan langsung mati."

Sambutan yang menyenangkan setelah aku bangun dari masa sekaratku rupanya berasal dari Étoile. Terima kasih banyak atas semangat tidak berguna darimu yang hanya membuatku depresi.

Saat aku bangun, hari sudah sore. Aku kehilangan kesadaran lebih dari delapan jam dan apa yang menantiku setelah aku terbangun adalah suara Étoile yang menjelaskan mengenai batasan tubuhku dalam menyalurkan kekuatan suci.

Aku pun menghela napas berat sambil mengurut dahi. Tiba-tiba saja, kepalaku merasa tambah pusing. Aku memiliki rencana bahwa membersihkan nama putra mahkota hanya akan memakan waktu paling lama satu minggu, dan tidak akan ada pertumpahan darah sama sekali dalam rentang waktu itu. Siapa yang menyangka bahwa darah yang ditumpahkan adalah milikku?

Jika seperti ini terus, tidak hanya menumpahkan darah sendiri, waktu satu minggu pasti akan diperpanjang mengingat ada banyaknya pasien di dalam aula. Dan mengharapkan para pendeta sesat itu untuk membantu adalah hal yang mustahil. Mereka bahkan tidak berniat untuk menyembuhkan para pasien, melainkan untuk membunuh mereka.

Saat aku tenggelam dalam rasa depresi, aku mendengar suara derit pintu yang terbuka. Di baliknya, Dillian muncul dengan wajah terkejut.

"Ayah! Kamu sudah sadar, syukurlah!"

Dillian buru-buru menutup pintu, meletakkan nampan berisi makanan di atas meja, lalu menghampiriku. Kedua tangannya kemudian membungkus kedua tanganku, memberikanku sensasi kehangatan yang nyaman.

"Ayah, apakah ada yang terasa sakit? Apakah kamu merasa pusing, mual, atau sakit di bagian tubuh tertentu? Katakan padaku, aku akan berusaha mengobatinya."

Aku pun tersenyum, dia ini selalu menjadi anak yang manis.

"Ian, aku baik-baik saja sekarang, terima kasih sudah mengkhawatirkanku, dan maafkan aku."

Dillian menatapku dengan tatapan sendu yang sayu, penuh akan syarat kekhawatiran yang bisa aku jelas saksikan. Itu langsung menusuk hatiku dan aku langsung dilanda rasa bersalah. Mengapa aku merasa jika kehidupan Dillian akan lebih bahagia jika dia tidak hidup hanya untuk mengkhawatirkan aku?

"Ayah, kamu melewatkan jam makan siang. Aku membawakanmu makanan."

Dillian melepaskan tautan jemari kami. Dia pun duduk di sisi ranjangku sambil membawa mangkuk makanannya.

Mengapa Dillian yang bertingkah seperti ini malah membuatku makin merasa bersalah? Jelas-jelas, di dalam sorot matanya yang sendu itu, Dillian memiliki ribuan perasan yang hendak dia tumpahkan barusan, tetapi dia sengaja untuk menahannya, menahan segalanya. Seolah ikut campur dalam ruangku adalah hal yang tabu.

"Ayah, aku akan menyuapimu. Buka mulutmu."

"Aku akan makan sendiri."

"Tidak, biarkan aku membantumu dengan caraku sendiri," tegas Dillian.

Aku tidak bisa menolak. Aku pun mengangguk mengerti. Mungkin dengan hal ini, Dillian bisa merasa lebih baik. Aku pun membuka mulutku, Dillian segera menyuapiku.

Kaldu sup yang kaya rasa langsung tercecapi oleh indra perasaku, tetapi mengapa rasanya begitu pahit? Aku menahan perasaan pahit yang melewati kerongkonganku sampai makananku habis.

Air putih ini terasa sangat hambar dibandingkan biasanya. Aku pun menunduk lesu.

"Ayah, aku akan mengembalikan ini ke dapur dan akan lanjut merawat para pasien. Sebaiknya, Ayah kembali beristirahat untuk memulihkan staminamu."

Suddenly, I Became the Hero's FatherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang