23. Rahasia Dillian

7.9K 1.1K 64
                                    

Janji mau penuhin komen supaya aku up besok?

***

Kai de Adria bukanlah orang yang suka mengingkari janji. Walau memang, dia dikatakan sebagai tokoh manipulatif yang senang memanfaatkan seseorang hingga mereka tak berdaya, Kai adalah sosok yang lemah dalam kata "janji". Apabila dia mengutarakan sebuah janji, dia pasti akan menepatinya, tak peduli apakah hal itu akan menyulitkannya, Kai tak akan mengingkari sumpah yang dibuat.

Meski memang dalam novel, dia tidak pernah mengatakan janji pada siapa pun kecuali Dillian. Akan tetapi, kini dia berjanji untuk mengeluarkan Dillian dari balik jeruji jika ide mengenai lavender dan mint yang dapat menyelamatkan bahan baku di musim panen nanti diberikan sepenuhnya pada Kai.

Aku sedikit menyayangkan bahwa aku tidak bisa memanfaatkan ide itu lebih jauh lagi, tetapi aku sangat puas ketika esoknya aku bisa melihat sosok Dillian.

Setelah lama tak berjumpa, terlihat ada yang berbeda dari anak itu.

Pertama, kala pintu kamarku diketuk dan Dillian melangkah masuk, setiap jejak yang dia pijak tampak ragu dan takut, samar menunjukkan kegelisahan dalam postur tubuhnya. Kedua, dia tampaknya mengurus. Aku tidak tahu apakah selama aku terbaring tak berdaya di atas ranjang, Dillian yang terjebak di dalam jeruji sudah makan atau belum. Ketiga, dia memiliki sorot pelik di wajahnya, saat melihat sepasang manik kelamnya membuatku langsung merasa hatiku mencelos akibat terdapat sesuatu yang pecah dalam netra itu, hingga kala kami membuat kontak mata, Dillian langsung mengalihkan pandangannya, ke mana pun-kepada kanvas di dinding, bunga segar di dalam vas, puluhan buku dalam rak kayu, bahkan menuju ke balik jendela yang menampilkan angkasa lepas-asalkan tidak padaku.

Melihat betapa berubahnya Dillian hanya dalam beberapa hari membuatku terperangah.

Di mana anak kucingku yang ceria dan riang sambil memanggilku "Ayah"? Ke mana sifat penuh kasih sayang dan kelembutan yang selalu dia tampilkan?

"Ian."

Bahkan kala satu suku kata itu kuucapkan, tubuh Dillian bergetar keras. Kami masih memiliki jarak satuan meter, Dillian berada tepat di depan pintu sementara aku masih duduk di atas ranjang.

"Kemarilah."

Dillian mengepalkan kedua tangannya kuat. Aku khawatir jika dia melakukannya terlalu kuat, telapak tangannya akan terluka.

"Ian, kemarilah," ulangku karena Dillian masih berdiri terpaku di sana sambil menundukkan kepalanya dalam.

Perlahan tetapi pasti, Dillian akhirnya berani megambil langkah maju, pun walau postur kepercayaan dirinya kini telah sepenuhnya lenyap, bagai ditatap oleh sepasang pupil hantu hingga dia ketakutan setengah mati, enggan mengangkat kepala dan menegakkan tubuhnya.

"Duduklah," kataku, menunjuk sofa di samping ranjang yang sudah disiapkan pelayan sebelumnya.

Dillian ragu sejenak sebelum memosisikan dirinya di sana, tetapi masih duduk dengan postur tubuh yang kaku.

Aku mengembuskan napasku, cukup lelah hanya dengan melihat Dillian yang dikuasai oleh emosi negatif seperti itu.

"Sekarang, bicaralah," sambungku. "Aku tidak ingin hanya melihatmu, meski memang melihatmu setelah beberapa hari terakhir membuatku merasa sangat senang dan lega, aku juga ingin mendengar sesuatu darimu."

Melihat sang protagonis berada di ruangan yang sama denganku, masih dalam keadaan hidup, walau tampaknya memiliki beberapa luka gores di leher dan tangannya, aku merasa senang. Setidaknya, sang protagonis novel berhasil bertahan hidup.

Dillian masih bungkam sambil menunduk dalam. Apa dia sedang menyiapkan mental untuk angkat bicara? Yah, jika dia benar-benar berkaca atas apa yang telah dilakukannya, Dillian pasti mengalami beban mental yang besar. Terlebih, dia melukaiku, dia telah melukai orang yang paling dia sayangi.

Suddenly, I Became the Hero's FatherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang