Gadis Puisi.

5 2 0
                                    

Aku gadis pecinta sastra, gadis pecinta puisi Indonesia dan gadis yang hidupnya penuh dengan rautan pensil dan olesan kanvas yang berwarna. Gadis yang tidurnya ditemani musik indie dan berbagai genre menarik.

Katanya, aku dikandung dengan para sajak yang menerpa dari sudut bibir, sedari kecil memang sudah berbeda dan menampilkan bagaimana cara berteman dengan para abjad lalu terbentuk oleh para tulisan, katanya dijelaskan begitu.

Gadis yang mempunyai impian indah agar setiap weekend bisa bertepian di atas teras rumah minimalis modernku ditemani membaca novel, menonton film, membaca komik, meminum teh tanpa gula ataupun mendengar musik indie tanpa pusing lagi isi makanan di dapur untuk sebulan ke depan.

Bisa dikatakan aku juga gadis yang sibuknya hanya berkhayal, gadis pendiam yang tahu kapan ia tertidur pulas dan kapan ia harus merancang episode imajinasinya lagi sebelum tidur.

Berkali kali menonton film studio Ghibli sad ending yang menemani aku setiap hari bersamaan dengan teh hangat di sela jemari tangan kananku, memakai gaun indah ditemani sepoi angin yang tak pernah memilih bermusuhan denganku sekalipun, angin angin itu menyapa lembut menerpa pelan wajahku yang sedikit berkerut serius memperhatikan apa yang aku baca maupun tonton. Aku suka sekali anime studio Ghibli berakhir sedih (sad ending). Cukup hal semacam itu saja yang berujung sedih, asmaraloka milikku jangan sampai begitu, seperti satu mega yang diharapkan bahagia sentuhannya bersama hujan, hujan hujan yang membawa petrichor bumi yang kita tinggali.

Indurasmi sering kali jadi imajinasi utama kala bosan berpikir keras, sebut saja aku dewana dibuatnya. Bicara tentang menulis, hobi ini sudah muncul sejak aku sekolah dasar, hobi paling menyenangkan. Berbagai lukisan terpajang di kertas kertas yang sudah ku buang karena bosan melukis, cat jadi cepat habis dan pewarna jadi cepat dangkal.

Aku mengusap wajahku, jika dipikir tak ada yang mendukung semua hobiku, tak ada yang mendukung jadi seorang pelukis manupun penulis, yang mendukung diriku sendiri adalah aku.

Hembusan nafas selalu terdengar setelah bangun tidur, aku mengusap kembali wajahku yang lelah. Aku ini remaja berhati hati yang ibaratnya miskin sebelum waktunya, esok jika sudah dewasa akan ku buat hati ini muda kembali karena kebahagiaan yang aku punya, akan ku buat perpustakaan buku kecil di rumah minimalis modernku, walau hanya aku yang menyukai itu.

Pernah tidak melihat film Ghibli yang sering ditayangkan di aplikasi movie handphone kalian?, Rasanya indah sekali, tempat berletaknya juga. Pakaiannya indah, wajahnya lucu sekali, lelakinya baik bahkan wanitanya sanggup menjaga sikap. Atau bisa jadi jadi tokoh utama dalam film dengan alur indah macam puisi, andai saja.

Aku ingin jadi salah satu karakter dari mereka, seperti menjaga kalor kalor yang tak mereka pikirkan lalu bertaut entah ke negeri surga yang pernah pujangga rasakan di dalam lagunya. Lalu berdansa bersama alam, bercumbu dengan hujan lalu tenggelam dalam keharmonisan.

Imajinasi otakku selalu terolah lembut saat itu juga, rasanya ingin berlari di tanah lapang yang aku suka bentuknya hingga ragaku ketiduran satu sama lain. Bak gadis kecil bermata indah yang tak diketahui lagi kebahagiaannya, gadis yang tak tersisa lagi jiwa dan keraguan, mungkin jiwanya ketiduran tak bangun lagi.

Tak tersusun lagi apa yang ingin aku ungkapkan, aku sendirian walau banyak orang. Tak ada pertemanan yang menguntungkan, tak ada percintaan, tak ada keluarga yang cemara, tak ada fisik yang indah, tak ada kecerdasan yang melampaui tinggi tubuhku dan tak ada yang mencintaiku.

Aku mengusap wajah, mungkin kehidupan memang lebih baik jika aku tak mengenal siapapun, aku hanya butuh mengenal mamak dan Sekar, dua manusia yang tahu aku seperti apa, tahu bagaimana aku bisa tertawa tanpa lepas lagi, dua manusia yang tahu bahwa aku sejatinya manusia yang parau dan lembut hatinya, dua manusia yang tahu aku banyak kekurangan namun masih memanusiakan. Bukan apa, memang hanya mereka yang selalu ada, dalam kenyataannya aku tak munafik untuk mengakui.

Gadis yang tak mengenal bagaimana indahnya persahabatan yang sebenarnya, tak mengenal bagaimana manusia mengerti akan sikapnya, gadis yang jarang terbuka, jarang mencintai, jarang peduli, jarang tersenyum, jarang tertawa riang dan ia juga gadis yang kerap kali dimaki sebagai gadis yang banyak pendiamnya ketimbang mengungkapkan.

Tiap tidur ia menaja akan manusia yang tak ada susah payahnya menanyakan bagaimana kabar engkau?, Gadis itu hanya bungkam, esok ceria lalu bungkam lagi setelah malam tiba. Dia akui lagi, tak semua manusia mencintai gadis layaknya ia, namun yang menyukai ada saja, katanya.

Hidup pasti punya kesimpulannya, aku sebagai gadis yang cukup berani mengungkapkan apa itu bahagia, tak harus tentang materi atau cantik. Namun, tentang bagaimana mampu bergurau di kala mentari mulai tenggelam. Aku gadis biru tanpa dibirukan dengan siapapun, gadis yang mampu terang tanpa seseorang yang menyinari lalu tenggelam walau sudah tahu caranya berenang. Lalu, melompat lompat ketika kau turun dari kapal mengkilap, rasanya ingin ingin terjun, mengurung diri dengan lautan, demi kau.

Setelah menonton, ingin menggandeng. Bukan pasangan, melainkan buku novel yang terpajang di lemari buku rumahku, di katakan banyak sekali hingga tak tahu ingin membaca yang mana lagi. Cara kerja waktu sudah jelas, mereka berjalan, makin tua dan hobi juga makin melambat. Aku kira, aku wanita yang kau tunggu di penghujung tahun atau acara, ternyata kau pinta aku menjadi ratusan hari untuk berhenti mencintaimu.

Bisa jadi pelarian ku tak pernah sampai dari ujung kelopak mata sayu orang tua. Aku gagal diciptakan dan dibuang di bumi, aku dihempaskan begitu saja jauh dari dunia puisi yang kau pinta lalu menaja akan tanda tanya yang tiada duanya oleh baskara, kau kembali memintaku jadi permaisuri raja. Aku terbatuk, kau salah kataku. Di bola mata kita, terbentang luasnya dunia yang tak tahu lagi kenapa kau tak mengindahkan lagi. Kau mengusap pipi kiri, kau lelah. Usap usap apa yang tak lagi ada di dunia kau hanya tunduk, ini kisah cinta seorang remaja yang indahnya sudah hanyut, hanyut dalam lautan movie dan sudah tidak tahu apa judulnya.

Aku ingin menuntas bagaimana kelaparan tercipta setelah kau tiada, menghempas dari dunia nyata, meninggalkan aku seorang diri dengan segala fana dunia. Kau tinggalkan rajutan kelip dunia, lalu aku tersenyum mengatakan akulah dahaga yang sudah terobati dengan segala puisi dari bibirmu itu.

Dari dampak apa saja yang dikehendaki, kau berani mengatakan dan melempariku dengan bait, kadang kau bilang cukup empat bait saja namun kerasnya aku menolak. Aku tak butuh kau atur, aku sanggup menahan gadisku sendiri dengan puisi milikku, kau tersenyum lalu berkata, "Payah sekali mematahkan puisimu".

Herlin dari Galaksi PuisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang